GTB 5: Sahabat atau Gebetan?
Ansell
ADA yang bilang, kalau sudah jatuh cinta maka kita harus siap juga untuk patah hati. Menurut Ansell, pernyataan itu tidak sepenuhnya salah. Kendati ia tahu, melabuhkan hatinya pada sosok Diandra sama saja dengan berharap memeluk Taylor Swift. Ya, walaupun penyanyi yang satu itu memang terlalu hiperbola untuk dijadikan perumpamaan. Namun, itulah kenyataanya.
Ansell percaya satu hal, jika manusia mau berusaha dan berdoa, Tuhan akan mengabulkan permintaan hambanya. Jika Tuhan sudah berkehendak, apa pun bisa terjadi, bukan? Namun masalahnya, kapan Tuhan menghendaki Diandra jatuh cinta kepadanya?
Besok? Minggu depan? Bulan depan? Atau tahun depan?
Ah, mana Ansell tahu. Ia sih berharap sesegera mungkin. Ya, secepatnya supaya perasaannya bisa tenang dari biasnya harapan.
“Sel, baju klien premium bulan ini udah jadi atau belum?” Melvin bertanya saat keduanya baru keluar dari toilet.
“Yang nikahnya di Lombok itu?”
“Iya, itu udah belum?”
“Tinggal finishing. Besok gue minta dia datang buat fitting supaya ketahuan kurangnya di bagian mana aja.”
“Sip deh, thank you.” Melvin menepuk-nepuk pelan bahu sahabatnya lalu kembali berkata, “Nanti malam lo mau bareng atau enggak ke Uptown?”
“Bukannya kita enggak ada jadwal manggung?”
“Jangan bilang kalau lo lupa?” Ansell mengerutkan keningnya dalam-dalam, sementara Melvin masih menunggunya bicara. Namun ingatan Ansell sangatlah pendek hingga membuat lelaki di sebelahnya tidak sabar lalu berujar, "Ultah Aldric. Wah, parah lo!"
Ah, Ansell melupakan satu hal penting itu. Ia melemparkan cengiran yang dihadiahi cibiran dan pukulan pelan di dada oleh Melvin.
Pantas saja minggu kemarin Diandra minta ditemani mencari barang-barang lucu. Entahlah, makna lucu yang seperti apa, Ansell tidak tahu. Namun pada akhirnya, gadis itu tidak jadi membeli apa pun setelah berkeliling selama satu jam. Padahal tinggal pilih satu barang saja, tetapi malah memperumit diri.
Bicara soal ulang tahun Aldric, itu artinya ada kemungkinan nanti malam Diandra akan datang ke Uptown. Ansell buru-buru merogoh sakunya untuk menghubungi gadis itu, tetapi baru ingat kalau ponselnya ia tinggal di meja kerja. Lantas Ansell segera berlari menuju ruangannya dan mengabaikan Melvin yang masih berbicara dengannya, lebih tepatnya masih mengomel karena sudah melupakan hari lahir sahabat mereka.
“Sel, mau ke mana? Oy, ini kita enggak jadi makan siang?”
“Tunggu di lobi, gue ngambil ponsel dulu.” Lelaki itu berbelok ke kiri lalu berlari menuju tempat di mana ruangannya berada.
Sesuai jadwal yakni jam 7 malam, semua personil Walkman sudah berkumpul, didampingi Krystal. Semuanya tampak ceria menantikan acara potong kue dan berswa foto layaknya ritual mereka ketika ada yang berulang tahun atau merayakan suatu acara tertentu. Namun berbeda dengan Ansell. Lelaki berkaus hitam yang ditumpuk jaket jin itu tak luput dari rasa cemas. Ia ingin sekali pergi dari tempat ini untuk segera menemui Diandra.
Gadis itu mengatakan tidak bisa datang ke acara kejutan ulang tahun Aldric, karena sedang terserang flu dan demam. Sementara itu, orangtuanya sedang berada di Purwokerto untuk menghadiri acara sunatan anak saudara mereka.
Maka, usai tiup lilin dan potong kue, Ansell pamit dan meninggalkan para sahabatnya. Ia bukan tidak peduli dengan acara penambahan usia Aldric. Masalahnya, Ansell begitu khawatir terhadap keadaan Diandra. Ansell sudah siap dimaki-maki Melvin besok, karena ia lebih memilih menemui gebetannya dibandingkan acara sahabat mereka.
Ansell naik ke atas motor seraya memakai helm. Gas diinjak, dan ban roda kendaraan duanya segera bergerak cepat menembus jalanan ibukota di tengah malam yang dingin, karena hujan baru reda sepuluh menit yang lalu.
Sesampainya di rumah Diandra, Ansell melihat ke sekitar. Lampu rumah-rumah lain begitu terang benderang. Tidak ada masalah dengan pencahayaan mereka. Lantas, kenapa hanya rumah Diandra saja yang terlihat gelap gulita. Apa ada masalah dengan aliran listrik di rumahnya?
“Di!” Ansell mengetuk-etuk pintu rumah Diandra dengan pelan, walau bagaimana pun ia tidak ingin mengganggu ketenangan pemilik rumah lainnya. Diandra pernah bercerita, bahwa tetangganya lumayan sensitif terhadap suara atau bunyi-bunyian yang terdengar menganggu. Apalagi ini sudah malam, yang pastinya mereka sedang istirahat di rumah masing-masing.
"Ransel! Kok lama sih?" tanya gadis itu saat pintu rumah sudah terbuka.
Ansell mengabaikan pertanyaan gadis itu dan memilih bertanya balik, “Ini kenapa rumah kamu gelap sendiri? Rumah yang lain baik-baik aja kayaknya.”
“Aku enggak ngerti,” jawab gadis itu polos.
“Udah manggil mekanik listriknya?” Diandra menggeleng cepat.
“Kamu ini, ya. Makanya jadi anak gadis jangan terlalu mengandalkan orangtua. Kamu pasti tahu dong ke mana harus menghubungi kalau lagi situasi kayak begini? Kamu kelewat santai!”
“Kamu ke sini cuma mau ngomelin aku?"
Ansell menyengir. “Salah satunya." Diandra memberengut lalu Ansell kembali berkata, "Bercanda, ih!” Lelaki itu langsung melarikan jemari tangannya untuk mencubit pipi Diandra. Tidak peduli gadis itu sudah meringis dan berniat membalas.
Usai menghubungi pihak keamanan perumahan lalu dilanjutkan memanggil mekanik listrik, semuanya kembali aman. Butuh limabelas menit bagi mereka menunggu sampai akhirnya rumah Diandra kembali mendapatkan cahaya.
Ansell membawa nasi goreng yang baru saja dibelinya di gang depan, lalu menyerahkan bungkusan itu kepada Diandra.
"Buruan dimakan, selagi masih anget!"
"Kamu?"
"Aku udah makan kue tadi."
Gadis itu lalu mengambil dua piring dan sendok dari rak di dapur. "Memangnya kenyang? Bagi dua aja, ya. Ini banyak banget, aku enggak bakal habis sendirian." Ansell akhirnya setuju. Seperti yang dikatakan Diandra, ia belum cukup kenyang hanya dengan satu suap kue ulang tahun Aldric.
Mereka makan diiringi obrolan ringan. Ansell tidak henti mengingatkan gadis itu untuk meminum obat supaya flu dan demam yang melanda Diandra segera membaik.
Diandra kemudian bertanya soal acara ulang tahun Aldric dan ia sangat menyesal karena tidak turut serta di sana. Padahal gadis itu bercerita sudah menyiapkan hadiah khusus untuk pujaan hatinya.
"Jadi, kamu minta aku ke sini cuma buat nodong cerita?"
"Kurang lebih begitu," jawab Diandra usai meneguk air dalam gelasnya.
"Kalau begitu, cerita yang tadi enggak gratis."
"Aku bikinin teh hangat, mau?" Ansell menggeleng. "Aku traktir mi ayam depan kampus besok deh." Lelaki itu kembali menggeleng.
"Weekend kosongin jadwal kamu!"
"Mau ke mana?"
"Rahasia."
"Kalau gitu aku enggak mau."
"Kalau begitu, aku juga enggak bakal mau ngasih info lagi."
"Ransel, ih!" Gadis itu mencoba menggoyang-goyangkan bahu Ansell demi meminta keringanan. Ansell tidak peduli. Lagi pula, informasi tentang Aldric harus sepadan dengan imbalan yang ia terima.
Rasanya hati Ansell selalu lemah setiap kali Diandra membutuhkannya. Maksudnya, ia tidak keberatan sama sekali ketika gadis itu meminta bantuan. Namun, yang membuat hatinya meringis adalah gadis itu lagi-lagi membahas tentang sahabatnya. Bohong kalau Ansell tidak cemburu. Bohong kalau Ansell tidak baik-baik saja. Hatinya perih luar biasa, tetapi mau bagaimana lagi. Ia tidak bisa memaksakan perasaan Diandra agar menempatkan pada hatinya.
Apa kali ini Ansell harus menyerah? Tidak, tentu saja. Ia tidak akan menyerah sekarang, setidaknya belum.
Apa Ansell perlu bertanya kepada Aldric tentang perasaannya terhadap Diandra? Ansell perlu tahu perasaan Aldric. Kalau sahabatnya memang benar-benar tidak menyimpan perasaan untuk Diandra, ia akan makin mengencangkan ikat pinggang demi mendapatkan impiannya.
Tunggu dulu! Sepertinya, itu juga terdengar aneh dan akan menimbulkan kecanggungan di antara mereka berdua. Lalu Ansell harus bagaimana?
16 Maret 2022
Iya, iya, ini udah kelamaan😂
Buat yang masih save GTB di library-nya, maaf ya, kayaknya kalian mesti baca ulang dari awal 😂🙏🙈
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top