GTB 4: Wonder Woman
Viona
VIONA dan Krystal baru saja keluar dari ruang serbaguna setelah mengikuti rapat bersama teman organisasinya. Setelah ini keduanya berniat mengunjungi perpustakaan untuk mencari bahan tugas yang harus dikumpulkan besok siang, lalu detik berikutnya netra Viona menangkap sosok sahabatnya yang beberapa hari ini jarang dilihatnya.
"Dhisti!" Viona memanggil, suaranya lantang hingga beberapa orang di sekitar sempat melarikan pandangan ke arahnya. Namun Viona cuek saja toh ia belum ada di perpustakaan. "Ya ampun, Dhisti kangen." Tubuhnya langsung berhambur memeluk Dhisti, tanpa sadar cekalan yang dilarikan pada leher sahabatnya lumayan erat.
"Duh, Vi. Kamu kangen atau mau bunuh aku sih? Oalah, aku ndak bisa napas iki, lepasin dong!" Viona lalu melepaskan diri setelah Dhisti menepuk-nepuk punggungnya.
Kali ini Viona melihat Krystal cekikikan di tempatnya berdiri, pasti gadis itu menertawakan polahnya barusan. Tidak masalah, Viona sudah terbiasa membuat orang lain tertawa. Viona memang terbiasa mengungkapkan rasa sayangnya terang-terangan meski terkadang caranya salah, sebaliknya sikap Dhisti justru selalu terlihat cuek meski aslinya penuh perhatian.
"Sorry-sorry, habisnya kangen tau," ujar Viona sembari bibirnya dibuat cemberut namun tak lama kemudian ia kembali tersenyum. "Lo kurusan, Dhis? Si Harimau nggak ngebiarin lo makan ya?" tanya Viona heboh sembari memutar-mutar tubuh Dhisti seolah memeriksanya dengan saksama.
Belum sempat Dhisti menjawab, sebuah suara mengintervensi obrolan mereka.
"Si Harimau?" tanya lelaki itu dengan lirikan tajam. "Siapa?"
Viona menggigit bibir bawahnya, jantungnya tiba-tiba berdetak tidak beraturan. Namun Viona bisa bernapas lega setelah itu saat Krystal mengambil alih jawaban.
"Si Harimau itu julukan cowok di drama yang kita tonton beberapa waktu lalu," sahut Krystal sedikit terbata.
"Oh," balas Widhy singkat. "Krys, kamu ditanyain Melvin tuh. Tadi dia nelpon, katanya kenapa kamu nggak bisa dihubungi?"
"Eh, iya ponselku mati. Rencananya ini mau ke perpus sambil ngisi baterai ponsel." Viona melihat Krystal tersenyum rikuh.
"Ya udah, nanti kabarin Melvin ya. Tau sendiri 'kan kalau sampai dia nggak dapat info tentang kamu, bisa-bisa datang ke sini tuh anak." Viona bisa merasakan kalau Widhy alias cowok yang disebutnya harimau itu sedang kesal.
"Maaf ya, Wid, kalau ngerepotin kamu. Makasih juga infonya."
"Iya," kata lelaki itu singkat. Lalu netra Widhy melirik ke arah Dhisti. "Adhistia, kamu masih ada kelas?"
"Nggak ada, Pak."
"Tungguin saya, bisa?"
Viona dan Krystal memberikan waktu berbicara untuk Dhisti dan Widhy. Keduanya memang sedang dekat. Dekat sebagai partner. Selain sebagai asdos di mata kuliah yang sedang Dhisti ambil, Widhy pun menjabat sebagai atasannya di kantor tempat Dhisti bekerja.
Setelah mendapatkan jawaban dari Dhisti, Widhy pamit untuk kembali mengajar.
Viona dan Krystal kembali mendekat lalu berujar, "Ya udah, Dhis. Sambil nunggu Widhy, kamu ikut kita ke perpus aja!"
"Nah ide bagus itu," sambar Viona. "Sekalian, lo lanjutin cerita yang tadi!"
"Cerita yang mana?" Dhisti mendadak amnesia.
"Lo yang kurusan," kata Viona yang masih berusaha mencari tahu informasi tentang Dhisti selama ini.
"Udah yuk, ceritanya sambil jalan ke perpus aja!" ajak Krystal mulai berjalan di baris depan. Viona kesal karena Dhisti ikut berjalan di sisi Krystal dan mengabaikan permintaannya.
"Dhisti! Ih ditanyain juga, pokoknya lo banyak utang cerita sama gue ya?"
Ucapan Viona lagi-lagi tidak ditanggapi oleh Dhisti, justru gadis itu berlari untuk menghindari celotehan sahabatnya. Viona benar-benar tidak suka karena Dhisti tidak mau bercerita, ia juga rindu dengan obrolan mereka seperti biasanya.
Viona merasa, semenjak Dhisti bekerja, ia seperti kehilangan teman curhat. Memang ada Krystal, tapi gadis itu lebih sering menghabiskan waktu dengan Melvin. Lagi pula Dhisti masih jomlo seperti dirinya, seharusnya mereka bisa lebih sering bertemu.
Setelah itu Viona dan Dhsiti melakukan aksi kejar-kejaran sepanjang perjalanan menuju perpustakaan.
Viona menghempaskan tubuhnya di atas kasur, membuang napas berat berkali-kali. Matanya yang lelah menatap langit-langit di kamarnya, sementara ingatannya terbang ke kejadian beberapa hari lalu saat dirinya datang ke Hutan Kota.
"Vi, iki bener tho tempatnya?" Dhisti bertanya saat keduanya mulai memasuki kawasan hutan.
"Bener, Dhis. Udah deh nggak usah bawel!" Viona merasa kesal saat Dhisti terus saja bertanya, padahal ia juga sedang fokus pada subjek yang menjadi targetnya.
"Kamu ndak ada kerjaan banget sih, ngikutin Ansell sampai ke sini? Ini aku cuma izin satu jam aja lho Vi, nanti Pak Widhy nyariin aku."
"Lo nggak tau ya, Dhis? Ini tuh namanya memperjuangkan cinta sejati." Netra Viona masih memandang lurus mencari sosok yang diharapkannya.
"Cinta sendiri," Dhisti mengoreksi sementara Viona memberengut namun tidak mendebat lagi.
Tepat di sebuah bangku dekat pohon beringin, Viona bisa melihat Ansell duduk dengan seseorang dan ia tersenyum hangat kepada lawan bicaranya.
Ansell sedang bersama gadis lain. Lalu bagaimana dengan hatinya?
Viona tahu yang dilakukannya adalah hal yang membuang waktu, namun hati kecilnya meminta agar ia tetap sabar menanti. Lalu, haruskan Viona mengikuti kata hatinya?
"Vio, ayo makan, udah ditungguin sama nyokap bokap!" Suara Vion menyeru dari balik pintu kamarnya. Lantas Viona segera bangkit guna memenuhi panggilan saudara kembarnya.
Viona membuka pintu kamar, dan Vion masih ada di sana sembari memandang wajahnya dengan penuh tanya namun lelaki itu masih diam.
Lalu keduanya berjalan beriringan menuju meja makan. Sampai akhirnya, Vion kembali mendekatkan wajahnya ke arah Viona seolah meneliti sesuatu.
"Kusut banget muka lo?"
"Masa iya?" Viona langsung menyentuh bagian wajahnya dengan sedikit panik.
Keduanya sudah hampir dekat area meja makan lalu Vion kembali bertanya, "Masalah kuliah? Ah, tapi lo mah kuliah juga nggak pakai otak, apa juga yang mau dipikirin!" ledek Vion lalu bergegas mengambil tempat duduk di depan mamanya.
"Sial banget lo, dasar kampret!"
Sungguh Viona tidak bisa menahan diri untuk mengumpat kepada Vion, sampai ia tidak sadar kalau mama dan papannya ada di sana. Namun sudah kepalang tanggung, pasti Viona akan diberi wejangan setelah ini.
"Viona! Kalau ngomong sama Abang kamu itu yang sopan dong!" Mamanya memberi peringatan.
"Habisnya Vion tuh ngatain melulu, Ma."
"Panggil Abang, Vio!" perintah sang papa kini sampai ke telinganya.
Viona paling malas kalau diminta orang tuanya memanggil Vion dengan sebutan abang. Sebab Vion hanya lahir sepuluh menit lebih dulu darinya, lagi pula kelakuannya tidak bisa disebut seorang abang yang selalu menyayangi adiknya. Vion lebih sering membuat Viona kesal, marah bahkan sampai menangis.
Viona dan Vion adalah anak kembar fraternal atau kembar tidak identik. Teman-teman Viona tidak banyak yang tahu kalau gadis itu memiliki saudara kembar, hanya teman dekatnya saja yang kebetulan pernah main dan tahu tentang abangnya itu, seperti Dhisti.
Lagi pula untuk apa ia bercerita pada teman-temannya? Kalau sampai mereka jadi naksir, bisa semakin besar kepala Vion.
Di tempat duduknya Viona bisa melihat Vion tersenyum seolah puas karena berhasil membuatnya kesal.
"Kamu juga jangan ngeledekin Viona gitu ah, Bang!" Akhirnya Viona bisa tersenyum puas karena mendapatkan pembelaan dari sang mama.
Sebenarnya orang tua Viona tidak pernah membeda-bedakan perlakuan dan pembagian kasih sayang kepada mereka berdua, dan itu yang ia suka dan syukuri berada di keluarga ini.
Kalau sampai orang tuanya pilih kasih, Viona mau kabur saja dari rumah. Atau ia bisa menumpang di kosan Dhisti. Lagi pula Viona sudah cukup menderita karena punya cinta sepihak, masa harus ditambah juga dengan kelakuan Vion yang sering membuatnya kesal.
Sepertinya Viona perlu berdoa supaya berubah menjadi Wonder Woman yang punya kekuatan super. Maksud Viona, ia tidak ingin menjadi lemah hanya karena berstatus perempuan. Kalau sampai ada yang membuatnya kesal, ia hanya tinggal mengeluarkan pedang dan gelang pembangkit energi lalu mengarahkan ke orang yang macam-macam kepadanya.
Apa Ansell pengecualian?
Tentu saja tidak. Walau Viona terkesan menjadi budak cinta Ansell, tapi ia masih punya harga diri dan tidak suka membohongi diri sendiri. Kalau cinta bilang cinta. Kalau benci bilang benci. Apa susahnya bicara jujur?
Ah, kenapa juga Viona harus mengingat tentang Ansell saat makan malam seperti ini? Membuat nafsu makannya hilang saja.
"Vio udah kenyang. Vio ke kamar lagi ya, Ma, Pa, Abang." Viona langsung meninggalkan meja makan dengan wajah sendu, diikuti rasa penasaran dari ketiganya. Meski begitu, Viona tidak peduli dan terus berjalan menuju kamarnya.
Happy Reading
Maaf karena lapak ini kelamaan dianggurin 😓
Terima kasih untuk kalian yang setia menanti 🙏
10 Juni 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top