GTB 3: Melawan Kata Hati

Aldric

SEJAK kecil Aldric dididik tanpa kasih sayang seorang mama. Sebaliknya, ia terbiasa dengan kehadiran sang papa. Bukan. Bukan karena mamanya sudah dipanggil Tuhan, melainkan pergi dengan suami orang atau bahasa umumnya selingkuh. Oleh karena itu, papanya mendidik Aldric dengan cara berbeda.

Papanya selalu menanamkan bahwa semua wanita semuanya sama saja, tukang mempermainkan hati lelaki. Setelah berhasil membuat lelaki jatuh hati, lalu dengan mudahnya mereka meninggalkan. Kaum estrogen itu harus dihindari, kalau bisa jangan pernah berurusan dengan mereka. Begitulah papanya memberi wejangan kepada anak lelaki satu-satunya itu. Maka, yang Aldric pahami dari papanya adalah kisah cinta abadi hanya ada di dalam dongeng ataupun novel romansa saja. Tidak mungkin ada di dunia nyata.

Pesona Aldric sejak di bangku sekolah memang tidak pernah membuat lawan jenisnya memalingkan wajah. Matanya yang tajam seolah mampu menyeret siapa saja yang sedang berbicara dengannya. Wajah memesona yang dimiliki lelaki penyuka cokelat itu, mampu membuat orang lain betah berlama-lama menatapnya. Dan tak lupa, di balik senyum manisnya seolah menyimpan banyak rahasia. Dan hal itu justru membuat para gadis penasaran dengan sosoknya.

Kendati demikian, Aldric tidak mau dipusingkan dengan hal-hal berbau romansa bersama wanita. Setiap kali ada yang mendekat, Aldric selalu bersikap cuek dan terkesan ketus. Semua itu ia lakukan sampai sekarang, dengan usia yang sudah menginjak seperempat abad.

Sampai akhirnya, datanglah sosok gadis periang nan cerewet ke dalam hidupnya. Aldric masih berusaha tak acuh, apalagi ketika gadis itu memberikan cokelat kesukaannya, tapi ternyata hal itu tidak gratis. Aldric tahu, kebaikan Diandra selama ini hanyalah pura-pura agar ia mau takluk kepada gadis itu.

Benar kata papanya, makhluk wanita memang mudah memperdaya kaum lelaki dengan segala bujuk rayunya. Dan Aldric tidak akan percaya dengan mudahnya. Namun di sisi lain Aldric juga bingung, karena tampaknya Diandra tidak lelah mengejarnya.

"Cie yang kemarin abis naik motor berduaan sama Diandra," cicit Melvin saat masuk ke bikini bottom. Aldric lumayan bingung dan masih diam di depan keyboard. "Lo, Al." Melvin kembali menegaskan tentang siapa yang ia maksud.

"Siapa yang abis jalan sama Diandra?" Widhy ikut penasaran.

"Itu si Aldric," jawab Melvin mengambil alih.

Seperti biasa, rahasia apa pun akan dengan mudah bocor kalau sudah diberitahu kepada Melvin. Alih-alih menyimpannya dengan rapat, sahabatnya yang satu itu memang senang bercerita meski cerita tersebut bukan untuk dinikmati khalayak umum.

Sejujurnya Aldric hanya tidak ingin menciptakan kesalahpahaman antarteman, pasalnya ia merasa kalau Ansell menyukai Diandra. Aldric tidak tahu, apa perasaan yang dimiliki Ansell itu serius atau tidak. Karena tentu saja tabiat Ansell yang sering tebar pesona ke banyak gadis membuatnya ragu, bahwa Ansell benar-benar menyukai Diandra. Namun yang pasti, sebagai seorang lelaki dan sahabat, Aldric paham gerak-gerik orang yang memiliki perasaan khusus.

"Cerita dari Krystal ya, Vin?" Melvin mengangguk sembari meraih gitar merahnya. "Gue cuma nganterin dia isi bensin, kemarin motornya mogok. Gue udah cerita 'kan, kalau gue sama Diandra tinggal di kompleks yang sama?"

"Latihan, yuk! Gue ada janji nih nanti malem," Ansell berseru di tengah Aldric menjelaskan kepada para sahabatnya. Aldric yang melihat itu hanya bisa mengembuskan napas berat, pasti Ansell berpikiran macam-macam kepadanya.

"Apa hubungannya latihan sama janjian?" tanya Melvin melihat ke arah Ansell.

"Ya, kalau lo pada ngobrol terus, kita nggak bisa latihan dengan baik. Alhasil pertunjukan kita bisa-bisa nggak maksimal, dan pihak kafe bisa aja minta briefing dadakan, nyuruh kita lebih kerja keras lagi. Dan dampaknya adalah rencana gue berantakan." Kalimat Ansell terdengar menggebu-gebu.

"Pikiran lo ke mana-mana, Sel," ujar Melvin yang sepertinya tidak paham dengan jalan pikiran Ansell.

"Ya udah, yuk fokus latihan!" Widhy seolah menutup perdebatan antara keduanya. Aldric paham, karakter Melvin dan Ansell. Kedua sahabatnya itu memang senang berdebat ketika bertemu, membuat suasana tegang tapi juga ramai. Dan dengan kehadiran mereka berdua, Walkman semakin hidup dan penuh warna.

Lalu mereka berempat mulai memainkan alat musik secara bersamaan. Irama musik yang dimainkan seolah mampu melepas segala perasaan Aldric.

Sejak SD kelas 6, Aldric sudah menyukai musik, dan alat musik yang pertama kali ia mainkan adalah piano. Namun sejak bergabung dengan Walkman pada awal masa kuliah, Aldric memilih keyboard. Kendati Piano dan keyboard terlihat serupa dari segi bentuk dan suara, namun sebenarnya ada perbedaan yang sangat jelas.

Mulai dari ukuran instrumen dan juga biaya, keduanya berbeda secara signifikan. Keyboard mudah dibawa dan tidak mengambil ruang banyak layaknya piano, dan memindahkan keyboard pun hampir tidak sesulit memindahkan piano dari kamar ke kamar atau ke suatu lokasi. Keyboard juga tidak harus disetel, seperti halnya piano.

Bagi Aldric, hidup itu seperti piano yang ketika diberi tekanan harus berani menghadapinya dan mampu untuk bangkit lagi. Layaknya pula sebuah pegas, bila dijatuhi beban maka ia akan memantulkan kembali benda tersebut sambil merenggangkan dirinya, dan semakin berat beban yang diterima, semakin tinggilah renggangan yang diberikan.

Aldric pikir, kehilangan satu tuts pada piano tidak jadi masalah sebab beberapa tuts bisa berperan untuk menggantikan peran lainnya tergantung pada kondisi dan situasi yang tepat. Beberapa tuts memang ada yang berperan dominan, dan ada juga yang kurang berperan. Tapi Aldric lupa, bahwa tuts dari piano pun sama seperti manusia. Mereka tidak bisa hidup sendiri, harus saling bergantung satu sama lain untuk menghasilkan instrumen yang sempurna.

Malamnya, Walkman manggung di kafe Uptown. Sebenarnya formasi mereka tidak lengkap karena Keanu masih harus menyelesaikan studinya di negara tetangga. Namun karena anak-anak Walkman sudah sangat rindu performance di atas panggung, akhirnya mereka menerima tawaran manggung.

Aldric cukup terkejut saat mengetahui Diandra ada di antara para pengunjung kafe. Meski ia tahu, mungkin saja yang mengajaknya datang adalah Krystal karena gadis itu memang selalu menemani Melvin manggung. Yang Aldric tahu, Diandra sedang sibuk kuliah dan ini momen yang jarang sekali ia lihat. Terakhir kali Aldric melihat Diandra menonton pertunjukan Walkman adalah ketika Metro mengadakan pentas seni, dan itu sudah beberapa tahun yang lalu.

Aldric kembali fokus menekan tuts di hadapannya saat melihat Ansell menoleh ke arahnya, karena sepertinya ia sempat salah memainkan tangga nada. Ah, kenapa juga Aldric harus repot-repot memikirkan kehadiran Diandra? Memangnya kehadiran Diandra sebegitu berpengaruh untuknya? Tidak juga 'kan?

Riuh tepuk tangan penonton terdengar saat Melvin mengucapkan terima kasih di balik stand sebagai penutup penampilan mereka. Walkman kembali ke ruang istirahat yang dimiliki oleh kafe Uptown, hanya untuk sekadar merapikan alat musik mereka sebelum pulang. Aldric melihat Ansell buru-buru ke luar ruangan setelah pamit kepada teman-teman Walkman yang lain, tak terkecuali dirinya.

Sampai di parkiran, Aldric melihat Ansell dengan seorang gadis di atas motornya. Apa janji yang dimaksud Ansell adalah mengantar Diandra? Jadi, kehadiran Diandra ke sini hanya untuk melihat penampilan Ansell.

Aldric melihat Diandra dan Ansell menyadari kehadirannya, ketika ia sampai di antara motornya dan motor Ansell yang terparkir bersebelahan. Diandra hanya diam tanpa senyum, berbanding terbalik seperti kemarin saat ia datang memberikan cokelat ke rumahnya.

"Gue duluan, Al!" kata Ansell ketika siap menancap gas.

"Iya, hati-hati lo!" Setelah itu keduanya hilang dari pandangan Aldric.

Aldric merasa ada yang aneh dengan hatinya saat menyadari hal itu, tetapi seperti biasa ia berusaha abai. Sekali lagi ia mengingatkan diri sendiri, bahwa hidupnya akan tetap tenang tanpa hadirnya sosok wanita.

Happy Reading
20 Mei 2020

Follow IG @Sulizlovable

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top