GTB 2: Pemilik Hati

Diandra

MAU dibilang berapa kali pun, Diandra akan tetap mengatakan bahwa belajar merupakan hal yang membuatnya lelah. Otak Diandra memang tidak seencer sahabatnya, Krystal, bahkan ia harus membaca beberapa kali baru bisa memahami suatu materi.

Belum lagi di semester depan yang hanya beberapa minggu tersisa, Diandra harus mencari perusahaan untuk praktik kerja lapangannya. Memikirkannya saja membuat Diandra khawatir dan takut. Kendati demikian, ia selalu berusaha menjadi mahasiswi teladan meskipun bisa dibilang semua nilai semesternya jauh dari kata sempurna.

Diandra memeriksa smartphone-nya setelah mendengar bunyi pesan masuk. Dengan malas ia membaca isinya setelah mengetahui si pengirim.

RAnsell Liandra

Udah pulang, Di?

Masih di kampus, kenapa?

Masih ada kelas?

Ini kelas terakhir.

Mau dijemput?

Emang bisa?

Buat jemput kamu mah bisa diatur :D

Terserah.

Terserah apa nih?

Ya kalau mau jemput, terserah.

Oke, otw ke kampus kamu ya.

Diandra mengunci layar smartphone-nya lalu kembali menyimak materi yang disampaikan oleh dosen Akuntansi Manajemen. Ia harus fokus supaya bisa memahaminya, meski sesekali rasa kantuk kian melanda.

Diandra kira, masuk jurusan Akuntansi itu enak tapi ternyata sama saja. Bahkan ia harus berpusing-pusing ria dengan tabel jurnal berisi data keuangan. Tapi Diandra sudah telanjur masuk ke jurusan ini, mau berbalik arah pun tidak mungkin.

Satu-satunya jalan ya Diandra harus terus menyemangati dirinya agar tetap konsisten dengan jalan yang sudah ia pilih. Diandra ingat kata-kata Krystal ketika menasihatinya, "Semua jurusan menurutku butuh pemikiran khusus nggak cuma Akuntansi aja, Di. Lagi pula yang namanya orang kuliah ya pasti mikir. Pokoknya kamu harus tetap semangat. Jangan menyerah, belajar yang rajin supaya dapat nilai yang bagus."

Diandra harus bersyukur karena sudah mempunyai sahabat seperti Krystal. Sahabatnya itu tidak pernah lelah menyemangati Diandra ketika ia memang sedang membutuhkannya.

Diandra sudah bilang kalau ia ingin langsung pulang, tapi Ansell malah membawanya ke rumah makan. Yah, lelaki itu beralasan kalau sedang kelaparan. Jadi, sebagai penumpang yang baik Diandra menurut saja. Walaupun ia juga tidak minta dijemput. Ansell memang terbilang sering sekali menjemputnya, padahal yang Diandra tahu lelaki itu punya pekerjaan.

"Aldric gimana kabarnya, Sel?" tanya Diandra setelah menghabiskan pecel ayamnya, lalu ia mencelupkan tangannya ke mangkuk berisi air dan jeruk nipis.

"Lagi sibuk ngurusin klien." Ansell menyesap minumannya hingga tandas.

"Kapan ya, dia bisa peka sama perasaanku." Wajah Diandra berubah sendu, ia memang selalu begitu tiap memikirkan lelaki yang disukainya.

"Eh Di, katanya kamu lagi nyari perusahaan buat tempat magang. Gimana, udah dapet?"

"Aku udah apply ke dua perusahaan sih tapi belum ada panggilan."

"Kenapa nggak coba minta ke Melvin aja!"

"Melvin?" Diandra melihat Ansell mengangguk.

"Nanti skripsi kamu mau bahas tentang apaan?"

"Audit sih."

"Nah, coba nanti aku bantuin ngomong ke Melvin. Kali aja kamu boleh bantu-bantu Widhy."

"Memang Widhy ngurusin apaan?"

"Legal."

"Ya beda dong, Ransell. Gimana sih? udah nggak apa-apa nanti aku cari sendiri. Lagian aku barengan sama temen-temen kampus kok apply-nya."

"Serius?"

"Serius lah."

"Oke, tetep semangat ya, Di." Diandra merasakan Ansell mengacak rambutnya setelah memberinya semangat. Namun tidak berhenti di sana, Ansell kembali melarikan kedua tangannya untuk mencubit pipi Diandra.

"Kamu kebiasaan ih, udah ah pulang yuk! Aku masih banyak tugas nih." Diandra beralasan sementara Ansell menyengir lebar. Tidak lama setelah itu, Diandra melihat Ansell berjalan menuju meja kasir.

Diandra akui, Ansell teman yang baik. Lelaki itu selalu membantunya sejak ia masih SMA. Awalnya Diandra selalu kesal tiap kali Ansell mengajaknya bicara. Tapi seiring mengenalnya, Diandra sadar kalau Ansell adalah lelaki yang baik.

Diandra jadi ingat saat pertama kali bertemu dengan Ansell di bikini bottom. Ah, tidak hanya Ansell tapi juga personil Walkman lainnya. Saat itu, mengingatkan Diandra pada seseorang. Awal mula ia merasakan lebih dari sekadar suka kepada seorang lelaki. Waktu semakin berlalu dan sudah dua tahun juga hatinya masih mengharapkan satu nama.

Nama itu adalah Aldric yang suka dengan cokelat. Setiap kali mengunjungi Aldric di bikini bottom, Diandra tidak pernah lupa membawa makanan kesukaan lelaki itu. Meskipun Diandra tahu, hati Aldric masih saja belum bisa ia luluhkan.

Selepas kepergian Ansell, Diandra buru-buru mandi dan rapi-rapi. Ia berencana ke tempat seseorang. Diandra baru tahu belum lama ini, kalau ternyata Aldric tinggal di kawasan kompleks tempat tinggalnya. Diandra dan keluarganya memang baru dua minggu pindah ke sini. Itu karena papanya dipindahkan ke kantor cabang lainnya. Jadi, orang tua Diandra memilih tempat tinggal yang dekat dengan area kantor papanya.

Pertemuannya dengan Aldric terbilang mainstream. Kala itu Diandra sedang pergi ke mini market diminta mamanya membeli keperluan mandi, lalu ia melihat Aldric di depan mini market yang sedang merapikan belanjaannya. Tentu saja Diandra tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia tidak mau kehilangan jejak Aldric. Diandra langsung menyelesaikan pembayaran setelah memilih produk yang hendak ia beli.

Diandra berhasil mengikuti Aldric, dan dari sanalah ia tahu tempat tinggal lelaki itu. Dan ia sangat bahagia mengetahui rumah mereka masih satu wilayah.

Saat ini, Diandra tengah berdiri di depan rumah bergaya kontemporer. Diandra pernah masuk ke rumah Aldric hanya satu kali, itu juga karena ia beralasan ingin memberikan makanan sebagai bentuk mereka bertetangga. Diandra sengaja meminta mamanya memasak soto betawi dengan alasan sedang ingin makan masakan itu. Setelah matang ia membaginya kepada Aldric.

Begitu masuk ke rumah Aldric, nuansa hangat dan dingin sangat terasa dalam waktu yang sama. Hal itu terlihat dari pilihan warna dinding yaitu krem, belum lagi perabot yang dipilih dominan warna gelap, kalau tidak hitam ya cokelat. Rumahnya benar-benar bersih, Diandra hampir jarang menemukan pernak-pernik di dalam ruangan tersebut. Sepertinya keluarga Aldric sangat suka model rumah yang simple dan tidak banyak sentuhan hiasan di dalamnya.

Setelah mengetuk beberapa kali, pintu rumah terbuka disusul sosok lelaki yang mengenakan sweat shirt lengan panjang berwarna abu-abu. Diandra bisa merasakan lelaki itu terkejut mengetahui kehadirannya di sini.

Mengetahui hal itu, Diandra tersenyum lalu menyapanya, "Hai!"

"Kamu ngapain ke sini?" tanya Aldric dengan nada dingin.

"Bawa ini," cicit Diandra seraya menyerahkan stoples kecil berisi cokelat berbentuk bulat-bulat. Lelaki itu membuang napas panjang melihat benda yang masih belum mau ia terima.

"Ini ambil! Aku beli di mini market depan tadi sebelum jalan ke sini." Aldric masih bergeming, sorot matanya memancarkan rasa tidak suka. Diandra selalu kesulitan mendeskripsikan apa yang sedang Aldric pikirkan.

"Kamu pulang aja!"

"Iya, nanti aku pulang setelah kamu ambil ini." Diandra masih bersikeras.

"Pulang sekarang atau aku nggak akan mau ketemu kamu lagi!" Kali ini Diandra bisa melihat kilatan kemarahan dari lelaki di depannya.

Kenapa?

Kenapa Aldric selalu menolaknya dengan cara seperti ini?

"Kamu memang nggak punya perasaan, ya. Paling nggak, kamu ambil pemberian dariku terus bilang makasih. Bukan malah marah-marah dan nolak aku begini. Sesulit itu kah bilang kayak gitu, huh?" Aldric masih bergeming. Kini, mata bulat Diandra sudah berkaca-kaca sembari memeluk stoples cokelat yang ditolak pemilik hatinya.

Karena terus diabaikan seperti ini, Diandra memilih pulang. Ia meninggalkan Aldric tanpa pamit lalu menghampiri motornya dan memakai helm. Dengan gerakan buru-buru Diandra memasukkan kunci lalu menyalakan starter, tetapi motor itu tak kunjung menyala. Diandra bingung, ia hanya bisa naik motor tanpa paham dengan kondisi mesinnya. Tanpa diduga, detik berikutnya Aldric menghampirinya.

"Kenapa?" Diandra hanya menggeleng. Aldric mulai memeriksa kondisi motor, lalu ia kembali menyalakan starter.

"Ini kamu udah berapa lama nggak isi bensin?" Tanpa menunggu jawaban Diandra, Aldric kembali melakukan starter dan setelah lima kali, motor baru bisa menyala.

Diandra mengembuskan napas lega, akhirnya mesin motornya kembali hidup, dan ia lumayan bingung ketika Aldric masuk ke dalam rumah dengan setengah berlari.

Apa Diandra akan diabaikan lagi?

Namun, tidak lama kemudian Aldric kembali dengan helm yang sudah terpasang di kepalanya. Belum sempat Diandra memahami situasi ini, Aldric sudah naik ke atas motornya dan meminta gadis itu untuk ikut naik.

"Aku anter ke pom bensin dulu, takut di jalan tiba-tiba mati lagi." Diandra masih bergeming antara kaget dan senang. "Ayo, nanti keburu tutup!"

Seolah baru bangun dari lamunannya, Diandra bergegas naik ke atas motor. Hati-hati ia duduk di belakang Aldric, takut lelaki itu tidak mau dekat-dekat dengannya.

"Pegangan!" pinta Aldric setelah motor menyala.

"Yah?"

"Pegangan, aku mau agak ngebut! Takut keburu mati lagi mesinnya."

"Oh." Dengan ragu Diandra memegang pinggiran sweat shirt milik lelaki yang sedang memboncengnya itu.

Kalau sikap Aldric bisa tiba-tiba sebegini manisnya, bolehkah Diandra terus berharap?


Kali ini cerita akan terasa berbeda, karena setiap tokoh ada porsinya di tiap chapter. Kalian akan merasakannya seiring dengan berjalannya cerita. Doakan aku supaya bisa konsisten😂

28 April 2020

Follow IG @Sulizlovable

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top