GTB 11: Sebuah Euforia
Aldric
Potongan roti lapis berisi selai kacang meleleh di mulut Aldric sedikit demi sedikit hingga akhirnya lelaki itu mampu menghabiskan tiga porsi. Melvin sampai misuh-misuh, karena satu potong jatahnya direbut lelaki itu. Mereka memang bisa berubah layaknya anak kecil ketika berhadapan dengan makanan.
"Enak, Al?" Aldric hanya mangut-mangut, karena mulutnya masih sibuk mengunyah menu sarapan paginya.
Lewat Krystal, Aldric dan Melvin mendapat kiriman roti lapis dari Tante Olla. Aldric akui, apa pun yang dibuat tangan milik Mama Viona selalu berhasil membuat mulutnya kehabisan kata-kata untuk memuji. Ditambah, perutnya tentu saja tidak akan terus berteriak. Ia jadi berpikir, betapa beruntungnya Viona memiliki orangtua yang pandai memasak dan merawat anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang. Hal itu membuat Aldric jadi berandai-andai dirawat oleh seseorang yang mengaku sudah melahirkannya.
Usai menumpang sarapan di ruangan Melvin, Aldric kembali ke ruangannya. Jam 10 nanti ia ada rapat bersama timnya. Banyak hal yang perlu dibahas dengan rekan kerjanya seputar pengembangan pemasaran Black Velvet. Aldric membaca laporan bulan lalu untuk bahan rapatnya nanti demi kemudahan membandingkan sejauh mana insight yang Black Velvet dapatkan bulan ini.
Getaran di atas meja membuat Aldric mengalihkan pandang dari layar laptop ke ponselnya. Ia bisa melihat pengirim pesan dari pop-up yang muncul, tetapi belum berniat untuk membukanya karena masih menyimak lembar demi lembar di layar laptop.
Menit demi menit berlalu, Aldric melirik jam di tangan kirinya kemudian menghentikan aktivitasnya. Aldric berjalan menuju ruang meeting dengan menenteng laptop dan beberapa berkas yang menunjang pembahasan mereka pagi ini.
Saat masuk ke ruang meeting, baru ada dua orang stafnya yang hadir. Anggi dan Ressa. Rapat kali ini akan membicarakan persoalan tentang peningkatan pemasaran yang selama ini timnya kerjakan. Aldric sangat menikmati perannya sebagai kepala tim di departemennya. Meskipun harus bekerja dikejar deadline, tak membuatnya pelik. Justru hal itu makin membuatnya makin bersemangat mencapai tujuan bersama timnya.
"Tim Sosmed, bagaimana? Persentase insight naik berapa?"
Kalau dari pengikut Black Velvet sendiri sekitar 94%, Pak. Dan untuk yang non followers mencapai 70%." Aldric mengangguk-angguk sambil berpikir untuk kembali bertanya pada Ressa. "Untuk jam ramainya ada di antara siang dan sore," tambah Ressa.
"Oh ya, Pak, untuk promo ulang tahun masih akan dilanjut, Pak?" Kali ini pertanyaan dari staf bernama Anggi. Perempuan itu menunggu jawaban Aldric memperhatikan gerakan atasannya yang sedang membaca dokumen di tangannya.
"Masih, tapi khusus untuk yang ambil wedding package saja, ya. Untuk event lainnya kasih minimum payment baru bisa dapat potongan 10%. Oh ya, bukannya Twin Two itu mitranya Black Velvet juga?" Aldric masih membaca berkas di tangannya.
"Benar, Pak."
"Mereka kan, pakai sistem poin ya, untuk setiap pelanggan yang mengisi pulsa atau paket internet."
"Iya, Pak. Sistem poinnya juga diakumulasi setiap tahun."
"Sepertinya kita bisa kolab di bagian poin itu. Misalnya, pelanggan bisa tukar 20 poin untuk dapat 2% potongan setiap ambil event package tertentu. Coba nanti tolong kamu tanyakan sama pihak Twin Two ya, Gi. Soalnya, awal tahun kemarin poin Twin Two saya tiba-tiba habis, padahal belum saya pakai. Itu artinya, poin itu ada masa expired-nya."
"Baik, Pak."
"Untuk review, bagaimana feedback-nya, Res?"
"Di aplikasi mendapat 4,2 dari 5 bintang, Pak. Kebanyakan keluhan adalah dari pelanggan yang ambil Outing Event atau Meeting Gathering package. Mereka menyebut kalau game show kita kurang beragam dan bikin bosan."
"Bukannya mereka diperbolehkan memilih konsep yang kita punya?"
"Iya, Pak, tapi sebagian dari mereka masih bilang acaranya kurang bervariasi. Contohnya seperti acara Meeting Gathering di Bandung pada waktu itu. Ada perusahaan yang pakai konsep thematic. Kita munculkan permainan angklung dan mengajak peserta untuk ikut main juga. Tapi justru mereka yang memberikan komentar merasa acara tersebut membuat ngantuk, Pak."
Memang tidak semua orang menyukai pertunjukkan musikal. Lagi pula, pilihan konsep sepenuhnya dilakukan oleh mereka yang punya acara, bukan pihak EO yang memutuskan. Seharusnya penanggungjawab dari mereka bisa berdiskusi lebih dulu dengan peserta masing-masing perihal konsep yang akan dipilih. Lagi pula, kalaupun ada peserta yang tidak menyukainya, Aldric rasa itu hanya sekadar masalah selera.
Selesai rapat, Aldric kembali memeriksa ponselnya. Ia baru ingat, Diandra mengirim pesan untuknya. Ketika sedang memikirkan jawaban pesan untuk Diandra, sebuah panggilan masuk mengalihkan perhatiannya.
Aldric menghentikan aktivitas mencuci tangannya sebentar, ia lalu meraih tisu untuk mengeringkan tangan.
"Kenapa, Vi?"
"Pulang kerja lo ada waktu atau enggak? Gue mau minta anter ke suatu tempat. Krystal sama Dhisti lagi enggak bisa soalnya."
"Ya udah, mau ketemuan di mana?"
"Nanti gue ke kantor lo."
"Oke."
Sekarang nama Viona sudah tidak asing lagi bagi Aldric. Mereka berdua bahkan sudah sering bertukar pesan. Tentu saja Viona yang lebih dulu beraksi, karena Aldric jarang punya bahan untuk diobrolkan.
Aldric bukan tipe lelaki yang mudah bertukar obrolan dengan mudah terutama kepada orang baru. Namun setelah mengenal sosok Viona, bertukar cerita ternyata tidak sesulit itu. Perlahan ia mulai senang membagi kisahnya kepada Viona walaupun masih hal-hal yang umum.
"Belanjaan lo udah sebanyak ini, Viona. Apa lo mau borong semua isi toko ini?" Aldric mengingatkan sambil memperhatikan keranjang belanja di tangannya. Keranjang tersebut sudah penuh, dan semua itu bukan milik Aldric tentu saja.
"Ya, enggak begitu juga konsepnya, Al." Viona memperhatikan isi keranjang yang dibawa lelaki itu dengan saksama, ia bahkan meraih benda berwarna merah itu lalu berjongkok di depannya. "Alat makan buat makan kue, udah. Balon warna hijau muda, emas dan putih, udah juga. Balon huruf, ada. Confetti, udah. Apa lagi, ya?" Viona memindahkan pandangannya dari isi keranjang ke kertas di tangannya.
"Topi udah belum?"
"Nah, bener banget. Topi. Hampir aja gue kelupaan." Adric hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Viona. Lagi pula, memang Viona mau memberi kejutan pada anak TK? Bukankah Ansell sudah dewasa seperti mereka berdua. Seharusnya kue saja sudah cukup, batin Aldric. "Kita perlu pakai kaos kembaran gitu atau enggak sih, Al? Tapi acaranya Sabtu ini, ya. Enggak mungkin cukup waktunya kalau bikin kaus banyak."
"Ini aja udah lebih dari cukup kok, Vi. Gue yakin Ansell bakalan seneng sama acara yang lo siapkan ini."
"Doain juga, semoga abis ini Ansell kelepek-kelepek sama gue," cengir Viona sambil berlari menuju rak topi.
"Jadi, lo ngelakuin ini ada pamrihnya?" todong Aldric sambil masih berjalan di belakang gadis itu.
"Iyalah." Aldric tertegun saat Viona malah tertawa sambil menengok ke arahnya. "Gue enggak mau munafik, Al. Semua yang gue lakukan ini selain memang pengin bikin Ansell seneng, gue juga mau dia ngeliat gue sebagai cewek. Seenggaknya, gue mengharapkan dia mikirin gue walaupun cuma sedikit."
Aldric pikir, agaknya Viona terlalu menggampangkan perasaannya, tapi juga punya tekad yang kuat. Namun, daripada mengkritik polah Viona, Aldric lebih memilih diam. Ia hanya tidak ingin mengganggu euforia gadis itu dalam menyiapkan kejutan ulang tahun untuk sahabatnya.
Semoga saja Ansell mampu memberikan respons sesuai dengan kerja keras gadis itu.
28 Juli 2023
Kalian lebih senang liat interaksi Viona sama Aldric atau Ansell sih, atau sama aku? 😂
Curcol dikit:
Btw, aku nulis GTB agak lelah, karena bikin masing-masing POV keempatnya bukan hal yang mudah. Aku harus tau banget mereka maunya apa.
Dan yang paling sulit menurutku adalah karakter Diandra. I don't know why😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top