Tiga Puluh Tujuh

CELLIA yang baru keluar dari kantor Resmawan Jati melambai pada Yashica yang sedang merapikan dokumen yang baru selesai dia kopi. Hari ini Cellia menggantikan sekretaris Resmawan Jati yang sedang cuti karena kebetulan Sakti sedang ada meeting di luar.

"Kamu disuruh menghadap Bapak," kata Cellia ketika Yashica sudah berada di depannya. "Sekarang!"

"Pak Resmawan?" Yashica memperjelas. Rasanya aneh saja. Kalau benar, ini kejadian luar biasa. Biasanya, di kantor ini, Yashica hanya melihat laki-laki itu saat pagi dan sore saja. Atau sesekali ketika dia bergegas keluar ruangannya jika ada pertemuan di luar kantor. Pertemuan intens mereka justru selalu terjadi di luar kantor, seperti kejadian dua hari lalu di apartemennya, misalnya.

"Iya, Pak Resmawan!" gerutu Cellia memutar bola mata. "Masa aku nyebut Sakti dengan kata "Bapak" di depan kamu, padahal dia pacar kamu. Lagian, kamu pasti tahu Sakti lagi keluar karena dia nggak mungkin pergi kalau nggak laporan dulu sama kamu. Orang pacaran kan harus selalu lapor jadwal. Cepetan menghadap, mungkin aja penting."

Yashica menarik dan mengmbuskan napas sebelum mengetuk pintu kantor Resmawan Jati. Dia menunggu sampai ada jawaban yang menyuruhnya masuk sebelum menguak daun pintu. Dia berjalan pelan menuju meja Resmawan Jati yang masih menekuri dokumen.

Laki-laki itu mengangkat kepala ketika Yashica sudah berdiri di depan mejanya. "Duduk," katanya.

Yashica menurut. Dia duduk dengan sopan.

"Kamu tahu Alice Restaurant, kan?" tanya Resmawan Jati tanpa intro.

Yashica mengangguk. Sakti pernah mengajaknya ke sana. Camilannya enak. "Iya, saya tahu, Pak."

"Kita ketemu di sana jam setengah lima. Kamu datang sendiri aja, jangan ajak Sakti. Sebaiknya jangan bilang kalau kamu mau ketemu saya, karena kalau tahu, Sakti pasti akan memaksa ikut. Ada yang ingin saya bicarakan sama kamu tanpa sepengetahuan dia."

"Baik, Pak." Dada Yashica mendadak berdebar mendengar perintah itu. Ya, Resmawan Jati terdengar seperti sedang memberikan perintah, bukan mengajaknya bertemu.

Benak Yashica penuh dengan berbagai dugaan tentang apa yang ingin dibicarakan Resmawan Jati yang tidak boleh diketahui Sakti. Dugaan yang paling tidak diinginkannya terjadi adalah bahwa Resmawan Jati sudah tahu siapa diri Yashica sebenarnya. Laki-laki itu masih hafal pohon generasi keluarga ibunya sehingga tahu bahwa ibu Yashica tidak punya sepupu perempuan. Dia mungkin sudah menyuruh orang untuk menyelidiki dan akhirnya tahu bahwa Yashica adalah anak Irene. Tidak pernah ada sepupu Irene. Itu hanya bualan Yashica untuk mengaburkan fakta.

Dugaan itu membuat Yashica gusar. Kalau itu benar, dia kehilangan klimaks yang diinginkannya, karena menilik sikapnya tadi, Resmawan Jati tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan. Ekspresinya datar saja. Mungkin saja alasannya pergi adalah karena dia memang sudah kehilangan rasa pada ibu Yashica, seperti yang selama ini Yashica pikir. Dan di pertemuan nanti dia akan meminta Yashica untuk merahasiakan siapa dia sebenarnya karena keluarga Resmawan Jati yang sekarang tidak boleh tahu cacat masa lalu kepala keluarga mereka.

Nada notifikasi membuayarkan lamunan Yashica. Dia merohoh saku untuk membawa pesan.

Kayaknya aku bakal di luar sampai sore banget. Nggak apa-apa pulang sendiri, kan, Sayang?

Yashica mengetik balasan. Nggak apa-apa, Mas.

Dari tempat meeting, aku langsung ke apartemen kamu. Mau makan apa biar aku bawain? Balasan Sakti datang beberapa detik kemudian.

Nggak usah, Mas. Dari kantor aku mau mampir ke mal. Mau cari buku, jadi sekalian makan.

Kali ini ponsel Yashica berdering.

"Mau ke mal mana, Sayang? Nanti aku susulin ke sana ya."

"Nanti aku kabarin, Mas. Mungkin aja aku udah balik ke apartemen saat Mas selesai meeeting."

"Oke deh. Hati-hati ya. Love you."

Yashica tidak membalas ucapan itu. Dia kembali mengantongi ponselnya. Pikirannya kembali tertuju pada Resmawan Jati.

**

Resmawan Jati sudah berada di Alice ketika Yashica tiba di sana. Di hadapannya sudah ada cangkir yang mengepul. Yashica mendekat dan duduk ketika Resmawan Jati memberi isyarat.

"Silakan kalau mau pesan makanan."

Yashica menggeleng. Dia terlalu tegang untuk memakan sesuatu. "Nggak usah, Pak. Saya belum lapar."

"Kalau gitu, pesan minum aja." Resmawan Jati mengangkat jari, mengode pelayan yang lantas menghampiri meja mereka.

Yashica menurut. Dia lalu memesan teh chamomile.

Resmawan Jati berdeham. "Kenapa kamu memilih kantor saya untuk meriset tentang apa pun yang sedang kamu kerjakan sekarang? Saya yakin kamu bisa melakukannya di Malang atau Surabaya." Dia tidak memerlukan basa basi panjang, dan langsung menanyakan apa yang ingin dia ketahui.

Dari pertanyaan seperti itu, Yashica belum bisa membaca sejauh apa pengetahuan Resmawan Jati tentang jati dirinya. "Maaf, Pak, saya nggak ngerti maksud Bapak."

"Dengan persentase saham yang kamu miliki, kamu bisa bermain sesuka hati dan jadi apa pun yang kamu inginkan di kantor Citratama Paint. Mereka nggak akan menolak walaupun apa yang kamu lakukan terdengar aneh. Jadi kenapa harus di Jakarta dan kantor saya? Saya yakin kamu punya alasan bagus. Saya ingin dengar itu."

Masih abu-abu. Yashica tidak bisa membaca ekspresi Resmawan Jati yang datar, tapi Yashica tahu dia tidak bisa mengelak dari pertanyaan itu.

"Setelah memutuskan resign supaya bisa fokus belajar persiapan masuk spesialis, saya ke Jakarta. Awalnya sekadar mau ganti suasana aja, Pak. Teman saya kemudian mengajak saya ikut proyeknya. Menurutnya, latar belakang saya cocok untuk peran itu. Saya mau ikutan karena memang waktu saya cukup luang. Toh saya nggak belajar seharian dari pagi sampai sore. Kami lalu mencari perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan untuk posisi office girl, dan kebetulan menemukan iklan rekrutmen perusahaan Bapak. Kami ingin membuat proyek ini senyata mungkin, jadi kami mengikuti semua prosedur normal. Saya nggak mungkin masuk Citratama Paint karena kenal beberapa orang di sana. Walaupun saya bisa meminta mereka untuk merahasiakan identitas saya, tapi saya yakin mereka tetap akan berusaha membuat semuanya mudah untuk saya. Lagi pula, saya sudah di Jakarta, Pak, masa saya harus kembali ke Surabaya untuk menjalankan proyek teman saya?" Yashica merasa jawabannya cukup bagus ketika Resmawan Jati tidak langsung memborbardirnya dengan pertanyaan lain. "Kenapa Bapak merasa saya sengaja menargetkan perusahaan Bapak sebagai tempat melakukan proyek?" Saatnya untuk menyerang balik.

Resmawan Jati menelengkan kepala dan menyipitkan mata menatap Yashica tajam. "Apakah kamu benar-benar tidak mengenal saya? Mungkin bukan kenal secara personal, tapi bisa saja kamu pernah mendengar tentang saya."

Yashica menggeleng pelan, menampilkan ekspresi bingung. "Saya memang punya saham yang lumayan besar di Citratama Paint, tapi itu adalah warisan. Saya juga berinvestasi di beberapa tempat lain, tapi saya nggak melakukannya sendiri. Ada perusahaan sekuritas yang mewakili saya. Mereka mengirimkan perkembangan investasi yang saya lakukan. Sejujurnya, saya nggak terlalu tertarik pada dunia bisnis jadi nggak berusaha mengenal para pengusaha yang sahamnya mereka dibeli untuk saya. Jadi, saya nggak tahu siapa Bapak sebelum bergabung di kantor Bapak. Kalau kantor Bapak nggak membuka lowongan kerja, saya nggak mungkin bekerja di sana."

"Maksud saya bukan dari kenal saya sebagai seorang pengusaha." Resmawan Jati kembali berdeham. "Kamu tinggal bersama Haditama Sudargo dan anaknya Irene. Mungkin saja kamu pernah mendengar mereka membicarakan saya."

"Kakek Hadi orangnya menyeramkan, Pak. Dia nggak suka anak-anak, jadi saya biasanya nggak berani dekat-dekat beliau. Saya hanya dekat sama Tante Irene karena dia baik banget sama saya." Yashica mengawasi Resmawan Jati saat menyebut nama ibunya.

Ekspresi laki-laki itu memang berubah. Dia bergerak gelisah dan mengubah posisi duduk seolah kursinya terasa tidak nyaman. "Irene sakit apa sebelum meninggal?"

"Saya nggak terlalu tahu, Pak." Yashica menghindari memberi jawaban spesifik yang bisa mengundang kecurigaan Resmawan Jati. "Waktu itu saya dianggap belum cukup umur untuk diajak bicara tentang penyakit Tante Irene. Yang saya ingat, Tante Irene sering banget dirawat di rumah sakit. Mungkin karena merasa umurnya memang nggak akan panjang, makanya dia membuat surat wasiat tentang hartanya."

"Irene tinggal di Surabaya. Kalau kamu dan ibu kamu tinggal bersama dia, seharusnya kalian juga tinggal di Surabaya, kan?"

"Kami memang tinggal di Surabaya, Pak," jawab Yashica cepat. "Kami baru pindah ke Malang setelah Tante Irene meninggal." Yang sebenarnya, Yashica pindah ke rumah Tante Ilona setelah ibunya berpulang. Dia tidak ingin tetap bertahan di rumah yang penuh kenangan tentang kakek yang membencinya dan ibunya yang diselimuti aura kesedihan. Rumah kakeknya dikontrakkan, kemudian akhirnya dijual.

Yashica membeli rumah lain setelah Tante Ilona meninggal ketika keluarga sahabat ibunya itu ribut berebut rumah tersebut karena menganggap diri merekalah yang lebih berhak menjadi ahli waris. Yashica tidak ingin terlibat pertikaian itu dan mengajak Ikram pindah bersamanya. Pengacara ibunya yang membantu Yashica mengurus semua hal yang berkaitan dengan dokumen. Pengacara yang memang ditunjuk untuk membantu Yashica membuat keputusan untuk banyak hal karena dia masih terlalu muda waktu itu.

"Ooh...."

"Apa hubungan Bapak dengan Kakek Hadi dan Tante Irene?" Yashica melempar pertanyaan berani itu untuk melihat apa Resmawan Jati akan memberikan jawaban jujur.

"Saya teman kuliah Irene." Ekspresi Resmawan jati sudah kembali normal. "Pantas saja kamu sangat mirip dengan Irene. Ternyata kalian memang punya hubungan keluarga."

Yashica mencibir dalam hati. Tentu saja Resmawan Jati tidak akan mengakui pernah menikahi ibunya di depan pacar anaknya. Reputasi sempurnanya bisa terccoreng.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana udah lama tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top