Tiga Puluh Sembilan

SUARA yang lamat-lamat masuk dalam telinga Yashica membuatnya perlahan terjaga. Dia ingat masih berada di apartemen Sakti. Saat Sakti akhirnya tertidur, Yashica meninggalkan kamar laki-laki itu untuk rebahan di sofa ruang tengah. Dia tidak bermaksud tidur, tetapi akhirnya tetap terlelap.

"... ssssttt... ngobrolnya jangan keras-keras dong. Kasihan kalau Yashica terbangun. Dia pasti capek merawat Sakti. Biarkan dia istirahat."

"Ini udah pelan banget, Bu. Calon menantu kesayangan Ibu nggak mungkin terbangun karena suara kami."

Yashica mengenali suara itu sebagai suara ibu dan adik-adik Sakti. Sejak kapan mereka berada di sini? Perlahan, dia membuka mata dan bangkit untuk duduk. Saat itu Yashica menyadari jika sebagian tubuhnya tertutup selimut. Pantas saja dia tidak terlalu kedinginan, padahal, sebelum tidur dia sedikit terganggu oleh suhu AC yang terlalu rendah untuk ukurannya. Yashica bertanya-tanya, siapa yang menyampirkan selimut itu, Sakti atau ibunya? Kemungkinan besar ibu atau adik-adik Sakti karena gerakan laki-laki itu terbatas dengan tangan yang masih diinfus.

Memakaikan selimut hanyalah satu usaha kecil yang tidak butuh banyak tenaga. Tapi hal itu jelas menunjukkan perhatian, dan Yashica tidak suka menerima kepedulian seperti itu dari anggota keluarga Resmawan Jati.

"Apaan nggak ganggu, tuh Yashica udah terbangun," gerutu ibu Sakti kesal saat melihat Yashica duduk.

"Sori, Mbak!" seru Greesa dan Hashi yang duduk melantai di atas karpet, di depan sofa yang ditempati Yashica tidur. Ringisan mereka menunjukkan penyesalan.

"Saya terbangun bukan karena terganggu kok, Bu," sambut Yashica cepat. "Memang udah waktunya aja. Saya terbiasa bangun subuh, ini udah siang." Cahaya lampu sudah digantikan oleh sinar matahari yang masuk dari sebagian gorden yang sudah terbuka. Sepertinya sebagian sengaja dibiarkan tetap tertutup untuk menjaga supaya Yashica tidak silau karena sisi yang tertutup berada di tentangan tubuhnya. Itu salah satu bentuk perhatian lain yang membuat Yashica semakin tidak nyaman.

"Iya, kalau waktu tidur kamu normal. Sakti bilang kamu datang ke sini tengah malam saat dia menghubungi kamu. Terus sibuk ke apotek dan merawat dia." Ibu Sakti yang tadinya duduk di sofa tunggal berpindah ke sisi Yashica. Dia menggenggam tangan Yashica. "Terima kasih banyak ya."

Yashica segera melepaskan tautan tangan itu dan pura-pura sibuk memperbaiki ikatan rambutnya yang mengendur karena tertindis saat tertidur. "Saya lihat Mas Sakti dulu, Bu." Dia bergegas bangkit menuju kamar Sakti.

Sakti duduk bersandar di kepala ranjang saat Yashica masuk. Tapi dia tidak sendiri di situ. Resmawan Jati duduk di kursi yang tadi ditempati Yashica saat menunggui Sakti. Dia tampak seperti ayah berdedikasi yang menjaga anaknya yang sedang sakit. Padahal dia hanyalah ayah tiri Sakti. Dia pasti menunjukkan perhatian yang lebih saat Greesa atau Hashi yang sakit, pikir Yashica.

Yashica menghela dan mengembuskan napas panjang-panjang, berusaha menyugesti dirinya supaya tidak menunjukkan emosi. "Gimana perut Mas, masih mulas banget?" Dia menarik sudut bibir sekadarnya untuk membalas senyum Sakti yang semringah.

"Udah mendingan kok. Obat yang kamu kasih manjur banget."

"Terima kasih sudah merawat Sakti." Resmawan Jati mengulangi kalimat yang diucapkan istrinya beberapa menit lalu.

Yashica kembali mengulas senyum basa basi, tak menjawab. Dia memilih melihat Sakti. "Saya cuci muka dulu, Mas."

"Di kamar sebelah ya. Tadi aku minta Greesa sekalian bawa peralatan mandi untuk kamu. Punyaku aromanya terlalu maskulin, kamu pasti nggak suka."

Yashica mengangguk. Masih terlalu pagi untuk terlibat percakapan dengan Resmawan Jati. Ketika berhadapan dengan laki-laki itu, Yashica memerlukan pikiran yang jernih sehingga terhindar dari kemungkinan memberikan jawaban yang akan bertolak belakang dengan informasi yang sudah dia bagi sebelumnya.

Ibu dan adik-adik Sakti sudah berpindah ke meja bar dapur sehingga Yashica bisa langsung ke kamar mandi di kamar yang dimaksud Sakti tanpa harus berbasa basi terlebih dahulu. Greesa tampaknya adalah orang yang sangat detail karena ketika Yashica masuk kamar mandi, yang ada di sana bukan hanya pasta dan sikat gigi serta sabun dan sampo saja. Ada skincare lain seperti micellar water, facial wash, toner, serum, krim pelembab wajah, sunscreen, dan body lotion.

Sekarang Yashica menyesal tidak memaksa Sakti supaya dirawat di rumah sakit. Tadi dia tidak memikirkan kemungkinan bahwa semua anggota keluarga Resmawan Jati yang harmonis akan berkumpul seperti ini. Apalagi sekarang hari Sabtu. Kalau Sakti di rumah sakit, Yashica bisa pamit pulang kapan saja karena kewajiban merawat laki-laki itu menjadi tugas dokter dan perawat di sana. Di sini, Yashica tidak bisa main pulang begitu saja dan meninggalkan Sakti yang masih diinfus. Kesannya sangat tidak bertanggung jawab.

Yashica menyikat gigi dan mencuci muka sebelum keluar kamar. Mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus bergabung dengan ibu dan adik-adik Sakti. Pilihannya hanya itu karena dia tidak ingin kembali ke kamar Sakti. Nanti saja, ketika dia harus memasukkan obat dan mengganti botol cairan infus.

"Ini teh kamu!" seru ibu Sakti saat Yashica mendekat. "Duduk aja, nggak usah bantuin. Toast-nya udah hampir siap kok. Sakti bilang kamu nyuruh dia makan makanan yang rendah serat dulu supaya ususnya nggak kerja keras. Jadi Ibu bawa semua jenis makanan yang kamu sebutin. Pisang, bubur, apel, dan roti untuk di-toast. Toast-nya sekalian untuk sarapan kita. Makan siang nanti diantar dari rumah."

Greesa terkekeh. "Hari ini kita piknik, Mbak, tapi lokasinya nggak di alam bebas, melainkan di apartemen Mas Sakti."

"Hussst... kakaknya sakit malah dijadiin becandaan," omel ibu Sakti.

"Diare kalo udah diinfus nggak bahaya, Bu. Nggak usah didramatisir gitu . Lagian Mas Sakti nggak menderita amat. Dia dirawat pacarnya. Aku yakin, begitu sembuh, dia pasti langsung minta nikah karena Mbak Yashica terbukti kompeten dan berdedikasi. Mas Sakti nggak mungkin bisa dapat yang lebih baik."

"Wah, semoga aja begitu!" ibu Sakti tampak senang dengan apa yang dikatakan Hashi.

Yashica duduk canggung di sebelah Hashi. Dia menarik tatakan cangkir tehnya mendekat. Aroma chamomile terhidu kuat.

"Ibu bawa beberapa topping untuk toast." Ibu Sakti menunjuk beberapa stoples di meja bar. "Ibu nggak tahu kamu suka rasa apa, jadi Ibu bawa aja semua yang ada di rumah. Untuk Sakti polos tanpa topping, kan?"

"Iya, Bu." Yashica menyesap tehnya, supaya tidak perlu berkomentar lebih panjang. Dia memilih menjadi pengamat dan pendengar saja, karena tampaknya dia tidak butuh usaha apa pun untuk lebih menarik simpati keluarga Sakti. Yashica sudah sangat diterima. Penerimaan mereka malah terlalu berlebihan. Semoga saja calon istri Sakti yang sebenarnya kelak akan mendapatkan perlakuan yang sama sehingga ketulusan keluarga Resmawan Jati tidak berbalas kepalsuan.

Supaya lebih terlihat sibuk, Yashica meraih selembar roti panggang dan mengolesnya dengan selai cokelat. Setelah itu dia mulai mengunyah sambil memperhatikan interaksi ibu dan adik-adik Sakti.

Jadi seperti inilah keluarga normal yang harmonis. Kalimat candaan yang saling berbalas; omelan di bibir, tapi sorot mata menunjukkan rasa sayang tak terbatas; tidak ada kata celaan yang meruntuhkan mental.

Yashica tidak pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya. Ibunya menyayanginya, tapi Yashica bisa merasakan jika ibunya tidak pernah terlihat benar-benar bahagia. Saat kecil, kakek yang memberinya banyak harta membuat Yashica sering menyesali diri karena tidak terlahir sebagai anak laki-laki yang bisa dibanggakan sebagai menerus trah Sudargo.

"Yashica, nanti siang, kamu mau makan lauk apa, Nak? Nanti biar disiapin. Takutnya apa yang diantar nggak sesuai selera kamu."

Yashica menelan potongan terakhir rotinya. "Saya makan apa aja kok, Bu."

Resmawan Jati muncul dan duduk di sebelah Yashica. "Kalau sampai lusa Sakti masih harus istirahat dan belum bisa masuk kantor, kamu juga nggak usah ke kantor. Apa urusan kamu ngerjain konten itu belum selesai?" tanpa menunggu jawaban Yashica, dia melanjutkan, "Untuk riset, harusnya nggak perlu berbulan-bulan, kan? Kalau sudah beres, harusnya kamu resign aja. Kasihan sama waktu kamu yang habis sia-sia hanya untuk mengerjakan hal remeh, padahal pekerjaan kamu sebagai dokter jauh lebih bermanfaat." Resmawan Jati ternyata memang tidak suka basa basi.

"Konten kreator itu bukan pekerjaan remeh, Yah," sergah Greesa. "Untuk yang udah stabil, penghasilan mereka jauh lebih besar daripada pekerja kantoran yang duduk di belakang meja dari pagi sampai sore. Ayah kuno sih, jadi nggak bisa lihat kalau pekerjaan kreatif itu mulai menjadi incaran anak muda karena lebih fleksibel ngatur waktunya."

"Yashica ngerjain itu hanya untuk selingan sambil nunggu tes sekolah spesialis," ibu Sakti ikut membela Yashica. "Kalau ngomong jangan langsung main skak gitu dong. Kalau Yashica punya penilaian jelek sama kita sebagai orangtua Sakti, anak kita juga yang rugi. Status masih pacaran aja, udah kita atur-atur."

"Saya memang akan segera resign, Bu," Yashica menyela perdebatan itu. Dia buru-buru menghabiskan tehnya. "Saya lihat Mas Sakti dulu." Dia turun dari kursinya.

"Ayah sih. Nggak bisa baca situasi banget," gerutu Hashi pelan, tapi masih bisa didengar Yashica. "Kita udah biasa sama sikap Ayah yang kaku dan blak-blakan, tapi Mbak Yashica kan masih orang luar, jangan dibikin ilfil dong. Sa...." Suaranya menghilang setelah Yashica menjauh.

Yashica bisa merasakan jika hari ini akan terasa sangat panjang. Sebelum mencapai kamar Sakti, dia menghentikan langkah. Atau bisa dibikin pendek. Sangat pendek, malah. Bukankah sekarang adalah saat yang tepat untuk menjatuhkan bomnya? Semua keluarga Resmawan Jati sedang berkumpul, dan mereka akan menjadi saksi ketika Yashica menguliti dosa masa lalu laki-laki kebanggaan mereka. Ini pasti akan menjadi klimaks yang jauh lebih memuaskan daripada yang pernah dibayangkan Yashica.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top