Tiga Puluh Enam
PERLAHAN, Yashica mendekat ke tempat Resmawan Jati dan Sakti duduk. Dia tidak ingin terlihat gentar jika berdiri, jadi dia ikut duduk di sofa tunggal. Sejujurnya, dia belum siap untuk babak akhir permainan. Yashica memang sudah merencanakan adegan penutup dramatis dalam waktu dekat, tapi bukan sekarang. Dia butuh sedikit waktu lagi untuk meyakinkan bahwa semua berlangsung seperti rencananya. Tidak ada yang meleset.
Saat ini, kemampuan Yashica berimprovisasi sangat diuji. Dia sudah berusaha meminimalisir dusta supaya dia tidak perlu terjebak karena lupa pada hal bohong yang sudah dikatakannya, tapi ternyata sulit untuk melakukannya.
"Berapa banyak saham kamu di Citratama Paint?" Resmawan Jati mengulang pertanyaannya. Nadanya terdengar lebih tajam. "Hanya orang yang memiliki saham cukup besar yang diundang untuk menghadiri RUPS."
Yashica menghela napas panjang. "Saya memiliki 30 persen saham di Citratama Paint, Pak." Di bagian ini, dia memilih jujur.
"Tiga puluh persen?" Sakti terlonjak dari duduknya. "Kamu keluarga Hendryawan Sukamto?" Dia menyebutkan nama pemilik Citratama Paint, orang yang dipercaya kakek Yashica berinvestasi ketika membuka pabrik cat untuk pertama kalinya.
Yashica paham bahwa sangat riskan berbohong tentang asal muasal persentase sahamnya yang besar. Resmawan Jati bisa mencari tahu tentang hal itu kalau dia merasa penasaran. Lebih baik memberikan sedikit bocoran untuk menambal rasa ingin tahu laki-laki itu supaya tidak perlu mencari informasi di luar sana. Mungkin juga ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menarik perhatian Resmawan Jati. Semoga saja permainannya tidak akan berakhir saat ini, karena itu akan menjadi antiklimaks yang sangat buruk.
"Bukan, Mas," jawab Yashica. Saatnya memelintir cerita untuk menjauhkannya dari kecurigaan Resmawan Jati. Yashica berharap laki-laki itu tidak hafal pohon keluarga ibunya. Ataupun kalau pernah tahu, waktu sudah menggerus ingatannya. Orang pasti sulit mengingat sesuatu yang berasal dari masa lalu yang sengaja ditinggalkannya. Apalagi setelah jeda waktu nyaris 30 tahun. "Saham itu adalah warisan dari sepupu kakek saya. Dia mewariskan saham itu kepada anak tunggalnya, tante saya. Tante saya kemudian mewariskan saham itu kepada Ibu saya. Ibu tinggal bersama bersama tante saya sejak ibu sedang mengandung saya setelah ditinggal ayah saya. Hubungan mereka sangat dekat. Setelah ibu saya kemudian meninggal, saham itu jaatuh ke tangan saya. Saham itu adalah warisan yang diwariskan, Mas."
Penjelasan itu terdengar membingungkan di telinga Yashica sendiri. Improvisasi mendadak memang tidak gampang. Dia berharap informasi itu tidak bertentangan dengan cerita yang sudah dia kisahkan sebelumnya kepada Sakti dan orangtuanya ketika mereka makan malam bersama tempo hari, karena kalau terjadi perbedaan, habislah dia!
"Siapa nama sepupu kakek kamu itu?" Kali ini bukan hanya nada, tapi tatapan Resmawan Jati sama menyelidik saat mengawasi Yashica.
Yashica tidak menghindar. Dia mengamati ekspresi Resmawan Jati saat menyebut nama kakeknya, "Haditama Sudargo, Pak."
Yashica bisa melihat perubahan air muka Resmawan Jati. Dia tampak pias, alisnya terangkat, dan matanya sedikit membelalak. Butuh beberapa waktu sebelum dia kembali bersuara.
"Saya kenal Haditama Sudargo. Kamu bilang anaknya mewariskan sahamnya untuk ibu kamu, kenapa?"
Yashica mempertahankan ekspresinya supaya emosi yang menggelegak di dalam dadanya tidak terlontar keluar. Kedua tangan yang berada di pangkuannya bertaut dan mengepal kuat. "Tante Irene membuat surat wasiat tentang warisannya saat dia sakit parah, Pak. Jadi ketika Tante Irene akhirnya meninggal dunia, semua hartanya jatuh kepada ibu saya." Yashica mengembuskan napas pelan dan panjang melalui mulut. Tidak, dia tidak akan menangis sekarang. "Tante Irene baik banget. Tampaknya dia sudah menduga kalau saya akan menjadi yatim piatu di usia muda, sehingga dia sengaja mewariskan semua hartanya kepada ibu saya."
Resmawan Jati tampak lebih pucat saat Yahica menyebut nama ibunya daripada saat mendengar nama kakeknya. Ada kepuasan tersendiri yang dirasakan Yashica saat melihat laki-laki itu terdiam dan tidak mengeluarkan kata-kata apa pun sampai akhirnya ibu Sakti pamit dan mereka meninggalkan apartemen Yashica.
"Sekarang aku mengerti kenapa kamu santai saja resign dari pekerjaan dan fokus mendekati ayahmu karena dengan kekayaan yang kamu punya, kamu nggak perlu bekerja seumur hidup, seboros apa pun kamu membelanjakan uangmu," ujar Sakti melanjutkan membahas tentang investasi Yashica setelah kedua orangtuanya pergi. "Kamu beneran ngerjain aku waktu bilang bahwa kamu baru belajar tentang investasi. Ternyata kamu investor kelas kakap. Citratama Paint itu besar banget. Mereka juga udah melebarkan sayap di industri makanan dan makeup. Kenapa kamu nggak cerita tentang investasi kamu? Kamu takut kalau aku akan mendekati kamu karena kamu kaya raya?"
"Uang itu adalah warisan, bukan hasil kerja kerasku," elak Yashica. "Aku nggak terlalu suka membicarakannya. Dan, Mas nggak akan mendekatiku karena uang. Kekayaan Mas pasti lebih besar daripada aku."
"Tante kamu yang mewariskan hartanya itu nggak punya suami atau anak?"
Yashica merasa pertanyaan itu lebih sulit dijawab daripada menjelaskan tentang sumber saham yang dimilikinya karena seperti mengingkari keberadaannya sendiri. Dia menghela dan mengembuskan panjang. "Tante Irene kurang beruntung. Dia bercerai dengan suaminya nggak lama setelah menikah. Dia nggak menikah lagi sampai akhirnya meninggal dunia." Yashica menghindari menyebut anak.
"Memang nggak ada yang sempurna dalam hidup. Orang yang dikarunia dengan materi, nggak beruntung dengan kehidupan rumah tangga. Yang memiliki keluarga lengkap diuji dengan hidup yang serba kekurangan, atau masalah lain."
Yashica mengangguk setuju. "Iya, setiap orang punya masalah dan perjuangan sendiri. Tapi ada kok orang yang hidupnya selalu diberkati dengan keberuntungan. Mas contohnya. Mas lahir dari keluarga yang berkecukupan. Mas punya orangtua yang mencintai dan akan selalu ada di sisi Mas ketika dibutuhkan. Mas punya adik-adik yang suportif dan menyenangkan. Terus terang, aku iri. Aku memang punya uang, tapi aku nggak punya hal lain yang Mas miliki. Kasih sayang keluarga. Padahal, menurutku, itu jauh lebih penting daripada uang."
Sakti merangkul Yashica. "Nggak perlu iri. Toh keluarga aku akan segera jadi keluarga kamu juga, Sayang."
Yashica tidak ingin membantah. Biar saja Sakti percaya pada pikirannya sendiri. "Tentu saja. Ternyata aku ditakdirkan untuk beruntung dan akhirnya menemukan kasih sayang keluarga setelah dewasa. Mungkin aku memang nggak sesial yang selama ini kupikir. Mungkin aku hanya mendramatisir keadaanku setiap kali melihat keluarga orang lain yang utuh dan harmonis."
"Kamu nggak mendramatisir. Membuat perbandingan itu wajar, apalagi saat masih kecil. Dulu, aku selalu menginginkan apa temanku punya. Mobil-mobilan dan robot mereka selalu kelihatan lebih bagus daripada milikku. Aku ingat pernah mengamuk guling-guling dan nangis di toko karena Ibu menolak membelikan robot seperti punya temanku. Alasannya adalah karena aku sudah punya banyak robot dan aku harus belajar puas dengan apa yang aku miliki." Sakti tertawa kecil. "Itu nasihat yang bagus, tapi belum bisa dicerna oleh anak TK. Yang bisa kutangkap waktu itu adalah Ibu nggak selalu baik hati. Dia kadang-kadang pelit karena menolak membelikan mainan yang kuinginkan."
Yashica selalu mendapatkan keinginannya tanpa harus menangis karena ibunya menganggap anaknya sangat berharga. Yashica adalah satu-satunya peninggalan Resmawan Jati yang harus dijaga sebaik mungkin. "Ibu Mas bijak banget."
"Ibu akan segera jadi ibu kamu juga." Sakti mengerling jenaka. "Dia nggak hanya bijak, tapi juga cerewet. Nanti kamu akan terbiasa dengan sikap Ibu itu. Dia beruntung mendapatkan Ayah yang nggak banyak tuntutan. Ayah itu rolemodel aku banget."
Yashica tersenyum kecut. "Tentu saja."
**
Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana Udah lama tamat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top