Tiga Puluh Delapan

YASHICA terbangun oleh deringan telepon dari Sakti pada pukul setengah satu tengah malam. Tidak biasanya Sakti menghubunginya di waktu seperti ini.

"Aku diare," kata Sakti saat Yashica menjawab teleponnya. "Aku nggak bisa ngitung udah berapa kali bolak-balik ke kamar mandi. Awalnya, kotoran yang keluar masih bertekstur, tapi sekarang yang keluar hanya air aja, ngucur gitu. Petra lagi ikut kongres di Semarang, jadi nggak bisa ke apartemenku. Maaf ngerepotin, Sayang, tapi kamu bisa ke sini, kan? Perutku rasanya mulas banget."

"Aku ke situ sekarang." Yashica buru-buru menggosok gigi dan mencuci muka sebelum menyambar tas. Tensimeter dan stetoskop yang ikut bersamanya dari Surabaya ada di mobil. Sengaja disimpan di sana karena dia mungkin saja membutuhkannya secara mendadak, di mana saja. Sekarang, untuk pertama kalinya sejak tiba di Jakarta beberapa bulan lalu, dia akan menggunakan alat itu.

Sakti meringis sambil memegang perut saat membuka pintu untuk Yashica. "Maaf ya aku bangunin kamu jam segini. Tadi aku kepikiran mau ke IGD rumah sakit yang dekat sini, cuman males bolak-balik ke kamar mandinya. Aku lebih suka di sini aja. Kamu bisa kasih obat antidiare, kan? Aku capek ke kamar mandi terus. Perutku juga rasanya nggak nyaman banget."

Ini pertama kalinya Yashica datang ke apartemen Sakti. Biasanya dia menolak secara halus ketika Sakti mengajaknya. Dia merasa lebih memegang kendali ketika berada di wilayah teritorialnya. Ternyata dia akhirnya masuk ke wilayah pribadi Sakti juga. Tapi karena kehadirannya karena alasan darurat, kedatangannya kali ini tidak bisa dihitung sebagai kunjungan seorang pacar.

"Aku periksa dulu ya."

"Di kamar aja. Dekat dari kamar mandi." Sakti berjalan menuju kamarnya. Dia menurut ketika disuruh berbaring.

Yashica memeriksa memeriksa tanda-tanda vital Sakti setelah laki-laki itu berbaring di tempat tidur. Tensi, denyut nadi, dan pernapasan Sakti masih dalam batas normal, walaupun suhu tubuhnya sedikit di atas normal. Bising ususnya terdengar meningkat. Pantas saja perutnya terasa tidak nyaman. Aktivitas ususnya jauh di atas normal.

"Mas makan apa sih kemarin?" Yashica melepas stetoskop dari telinga. Diare biasanya disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.

"Perutku udah nggak nyaman dari kemarin pagi sih, cuman frekuensi ke kamar mandi belum mengganggu. Kemarin siang dan malam kita makan bareng. Aku makan apa yang kamu juga makan. Selain kopi, aku nggak makan apa-apa lagi. Masa sih ususku lebih sensitif sama kuman daripada kamu?" Sakti menggerutu tidak terima. "Rasanya lemes banget. Kamu bawa obat, kan?"

Yashica menggeleng. "Aku langsung ke sini, nggak mampir ke apotek dulu." Dia menarik kaus Sakti turun untuk menutupi perutnya yang tadi dia periksa. "Kalau kehilangan banyak cairan, memang lemas sih. Mas mau aku antar ke rumah sakit biar diinfus di sana? Sekalian periksa kadar elektrolit."

"Aku nggak mau ke rumah sakit," tolak Sakti cepat. "Di sana malah repot. Kamu rawat aku di sini aja ya?" bujuknya. "Aku juga nggak mau diinfus. Aku nggak suka ditusuk jarum. Kasih obat aja."

Yashica tersenyum melihat Sakti merajuk seperti anak kecil. "Mas harus diinfus supaya nggak makin dehidrasi."

"Aku akan minum yang banyak biar nggak dehidrasi, Sayang," Sakti berkeras menolak. "Beneran. Janji."

"Kalau diinfus, cairannya langsung masuk ke pembuluh darah dan elektrolit yang hilang langsung terganti. Kalau minum kan airnya masuk ke lambung dulu. Obatnya juga lebih cepat bekerja kalau lewat pembuluh darah daripada diminum. Jadi lebih cepat sembuh." Yashica bangkit dari tepi ranjang Sakti. "Aku ke apotek dulu ya. Cari peralatan untuk infus, cairan, dan obat."

Sakti meraih tangan Yashica dan menggenggamnya. "Maaf ya, Sayang, aku beneran jadi ngerepotin kamu. Kamu jadi harus keluar rumah dan keliling nyari apotek 24 jam gara-gara aku."

"Nggak apa-apa. Kamu sekarang jadi pasienku. Udah tugas dokter untuk ngurus pasiennya."

Sakti tersenyum. Dia mengecup punggung tangan Yashica. "Pasien pribadi. Aku belum pernah sebersyukur ini punya pacar dokter."

Yashica melepaskan tangannya dari genggaman Sakti. Dia tidak tahu apakah nada sanjungan Sakti atau telapak tangan hangat laki-laki yang mengirim sinyal debar. Yang pasti, detak jantungnya yang beberapa hari ini semakin sering berulah ketika mereka terlibat kontak fisik kembali terasa. "Aku ke apotek dulu ya." Yashica merasa suaranya terdengar lebih lembut daripada yang diinginkannya. Dia mengembuskan napas panjang. Entah mengapa, itu terasa seperti pertanda buruk.

"Hati-hati ya, Sayang." Sakti ikut bangkit dari tempat tidur. "Sial, aku pengin ke kamar mandi lagi!"

Yashica menunggu pintu kamar mandi menutup sebelum keluar dari kamar Sakti. Dia lantas menepuk dahi. Kenapa dia merasa harus memastikan kalau Sakti baik-baik saja? Yashica lantas mengambil langkah panjang-panjang meninggalkan unit Sakti. Dalam perjalanan menuju lobi, dia membuka ponsel untuk mencari apotek terdekat yang buka selama 24 jam. Dia berusaha menyibukkan diri dengan mesin pencarian internet supaya tidak memikirkan Sakti lagi.

Jakarta yang biasanya bising dan penuh hiruk-pikuk tampak lengang saat dini hari. Pemandangannya sangat berbeda dengan siang hari. Perjalanan pergi ke apotek dan pulang kembali ke apartemen Sakti tidak membutuhkan waktu lama.

Diare yang diderita tampaknya cukup berat karena Yashica harus menunggu cukup lama di depan pintu sebelum akhirnya Sakti muncul sambil meringis.

"Sori, Sayang. Aku baru dari kamar mandi lagi. Kayaknya udah puluhan kali deh. Jadi capek dan lemas banget." Sakti lantas menyebutkan deretan angka. "Itu password pintu aku. Hafalin ya, supaya kamu bisa masuk kapan pun tanpa perlu nunggu aku bukain pintu."

Yashica hanya tersenyum. Dia tidak butuh kode pintu Sakti karena tidak akan datang di sini seorang diri. Kedatangannya kali ini mungkin saja menjadi yang pertama dan terakhir kali karena sangat gampang memersuasi Sakti untuk mengikuti keinginannya supaya mereka menghabiskan waktu di tempat lain daripada apartemen ini.

Yashica memasang sarung tangan steril sebelum mulai memasang abocath di punggung tangan Sakti. Merawat pasien adalah zona nyaman yang sudah ditinggalkannya beberapa bulan ini. Kegiatan itu digantikan dengan mengerjakan tugas seorang office girl.

Di rumah sakit, penanganan pasien adalah kerja sama tim sesuai dengan kompetensi masing-masing profesi yang terlibat. Tapi ketika merawat pasien di rumah seperti ini, semuanya dikerjakan sendiri.

"Ternyata standing hanger bisa multifungsi juga ya?" Sakti menunjuk benda yang dijadikan Yashica sebagai tiang untuk menggantung botol cairan infus.

"Kalau Mas mau dibawa ke rumah sakit, botolnya nggak akan digantung sembarangan." Yashica mengumpulkan sampah dari peralatan medis yang tadi dipakainya dan memasukkannya ke kantung plastik.

"Enakan dirawat di rumah sama pacar sendiri daripada harus ke rumah sakit. Suasananya nggak nyaman, bikin nggak betah. Oh ya, kalau kamu ngantuk, kamu bisa tidur di kamar sebelah. Ini masih subuh banget. Aku bisa ke kamar mandi sendiri kok."

"Aku udah tidur cukup lama kok." Yashica menarik kursi dan duduk di dekat ranjang Sakti. "Mas aja yang coba tidur. Pasti semalaman nggak bisa tidur karena bolak-balik ke kamar mandi."

"Aku belum ngantuk." Sakti menepuk sisi ranjangnya yang kosong dengan tangannya yang tidak diinfus. "Duduk tegak gitu nggak enak, Sayang. Rebahan di sini aja. Jangan takut, meskipun ini ranjang, tapi kamu aman kok. Aku terlalu lemas buat ngapa-ngapain kamu meskipun kepengin banget," katanya bercanda. "Apalagi sebelah tanganku ditusuk jarum gini."

Yashica memelotot galak. "Dokter nggak tidur seranjang sama pasien yang dirawatnya."

"Itu kalau pasiennya orang asing. Kalau pacar sendiri, itu bagian dari terapi. Perasaan bahagia pasti bisa bikin proses kesembuhan jadi lebih cepat karena akan meningkatkan imunitas."

Yashica tidak bisa menahan senyum. "Mungkin aku nggak serajin yang aku pikir karena belum pernah baca jurnal tentang terapi tidur seranjang dengan pasangan bisa mempercepat proses penyembuhan penyakit diare."

Sakti tertawa. "Tapi aku beneran merasa jauh enakan setelah ada kamu di sini, Sayang. Tadi itu rasanya nggak enak banget. Sendirian saat lagi sakit itu bikin down. Jadi aku berani bilang bahwa kehadiran orang yang kita cintai ketika kita sakit sangat memengaruhi kondisi psikis. Nggak perlu ada jurnal untuk membuktikannya secara ilmiah. Toh perasaan bukan sesuatu yang bisa dihitung dengan statistik."

Yashica tidak suka topik percakapan yang terlalu intim itu, jadi dia berdiri. "Aku bikin oralit untuk Mas ya. Tadi aku beli oralit juga. Untuk sekarang, mendingan minum oralit dulu, daripada air putih."

**

Yang pengin baca cepet bisa ke Karyakarsa ya. JANGAN nagih update-an di sini. Di Karyakarsa udah lama tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top