Tiga
Yashica memasuki lobi dengan menenteng beberapa paper bag Starbucks di kedua belah tangannya. Tadi, Meiske, salah seorang staf di divisi tempatnya bertugas tampak skeptis saat Yashica tidak mencatat pesanan yang banyak itu.
Kebanyakan orang memang pasti memilih mencatat pesanan yang akan dibelinya kalau sudah di atas empat item dengan jenis yang berbeda. Tapi Yashica bukan orang-orang itu. Dia sudah terbiasa dengan hafalan yang bikin telinga orang awam akan keriting saat mendengarnya. Apa susahnya menghafal 3 Frappuccino Nebula Cosmic berukuran 1 grande, 2 venti; 1 Asian Dolce Latte ukuran grande; 2 Macchiato Caramel ukuran 1grande, 1 venti; 1 Ice Caffe Mocha; 2 Vanilla Sweet Cream Cold Brew berukuran 2 grande, 1 venti, dan 1 Tavana Chamomile. Tambah 3 buah panini dan 2 potong cinnamon chocolate marble cake.
Sangat mudah menyumpalkan pesanan itu di kepala Yashica yang sudah terbiasa dengan hafalan. Tapi dia tidak mungkin mengatakannya pada Meiske dan orang-orang yang tampaknya tidak sabar melihatnya gagal membawa pesanan dengan benar saat tahu Yashica tidak mencatat.
Yashica mendaftar sebagai sebagai OG dengan ijazah SMA, dan dia berusaha se-low profile mungkin supaya tingkat pendidikannya tidak dicurigai. Karena itulah selama ini dia tidak akan bicara kalau tidak ditanya. Dia tidak datang ke tempat ini untuk ngobrol dan mencari teman. Dia tidak perlu teman di tempat yang hanya menjadi persinggahannya. Kelak, bagian hidupnya yang melibatkan tempat ini akan masuk dalam kotak ingatan yang akan dikubur dalam-dalam, lalu terlupakan.
"Hei... tunggu...!"
Yashica menghentikan langkah setelah seruan itu terdengar dua kali dan semakin mendekatinya. Mungkin saja salah seorang staf yang tadi memesan kopi kebetulan turun di lobi dan ingin mengambil kopinya sekarang.
Yashica tertegun saat melihat orang yang bergegas menghampirinya. Itu adalah orang yang ditemuinya di atap tempo hari. Orang yang salah paham dan mengira Yashica akan bunuh diri. Orang yang sok tahu.
Yashica tahu jika orang itu bekerja di gedung ini juga karena punya akses ke atap. Tapi karena pegawai di gedung ini sangat banyak, dan fokus Yashica hanya pada satu orang yang terkesan sebagai hantu karena punya nama dan jabatan paling tinggi, tetapi belum pernah dilihatnya, Yashica tidak terlalu orang lain di kantor ini. Dia malah sudah melupakan laki-laki ini kalau mereka tidak bertemu lagi sekarang. Yashica tidak berminat dan enggan membuang waktu untuk mengamati orang yang bukan sasarannya.
"Ehm...." Sakti mengusap dahi saat sudah berdiri di depan OG yang dipanggilnya. Sekarang dia merasa bodoh. Bagaimana caranya menyampaikan apa yang tadi dipikirkannya saat melihat OG ini? Apalagi saat melihat ekspresi dingin perempuan di depannya. Tampaknya dia tidak mengenali orang yang sedang bicara dengannya. Itu aneh. Bukannya bermaksud sombong, tapi Sakti merasa orang-orang di kantor ini seharusnya mengenalnya. Sebagai direktur pemasaran, dan atau sebagai anak ayahnya. OG ini pasti orang baru. "Bisa bicara sebentar?" Sakti menunjuk ke arah dinding lobi, tempat sofa yang kosong. Sekarang ini mereka berdiri di tengah-tengah lobi, di mana orang lalu lalang tak henti. Bukan tempat nyaman untuk mengutarakan maksudnya.
Yashica mengangkat kedua tangannya yang penuh, memberi isyarat kalau dia sibuk dengan pesanan yang akan diantarkannya.
Sakti membaca nama yang melekat di seragam perempuan itu. Yashica. Dari nama, Sakti lantas mengamati wajahnya. Penerangan di atap waktu itu tidak cukup untuk melihatnya dengan jelas. Apalagi Sakti hanya melihatnya sekejap. Yang membuat perempuan ini tidak gampang dilupakan adalah karena pertemuan mereka kondisinya khusus, serta ekspresinya yang dingin dan muram.
Sekarang, saat melihatnya dengan cahaya yang terang dan dari jarak yang sangat dekat, Sakti bisa melihat jika perempuan ini cantik. Kulit wajahnya putih bersih walaupun tidak dipulas makeup. Alisnya rapi. Bulu matanya yang lentik mengingatkan Sakti pada bulu mata adiknya yang dibentuk di salon. Lipstiknya sewarna bibir. Samar saja. Dia tampak berusaha tidak menonjol karena akan sulit untuk tidak menarik perhatian kalau dia berdandan dengan layak seperti karyawan perempuan lain.
Sakti tahu kalau seorang office girl pun bisa merawat diri dengan baik, tapi ada yang terasa janggal, walaupun dia tidak tahu apa. Masalah hidup apa yang membuat perempuan semuda dan secantik ini hendak mengakhiri hidup?
"Ikut saya sebentar," ujar Sakti lebih tegas. Dia bergerak menuju tembok lobi. Dia menarik napas lega saat melihat perempuan itu tidak membantah. Dia ikut di belakang Sakti, masih mempertahankan kebisuannya.
Setelah mereka menjauh dari tengah ruangan, Sakti mengeluarkan dompet dan menarik kantu nama Petra dari dalam. Dia memperlihatkan kartu itu pada Yashica.
"Ini adalah kartu nama psikiater kenalan saya. Kamu bisa ke sini untuk bicara sama dia. Jangan khawatir soal bayaran, karena nggak akan ditagihkan sama kamu. Saya juga nggak akan menceritakan kondisi kamu pada siapa pun di kantor ini. Kamu bisa percaya sama saya."
Mata Yashica melebar menatap laki-laki di depannya. Orang ini bukan hanya sok tahu, tapi juga suka ikut campur urusan orang lain.
"Orang yang bertemu psikiater itu belum tentu gila," Sakti buru-buru menambahkan saat melihat ekspresi perempuan itu. "Masalah kesehatan mental banyak jenisnya, dan nggak berarti semua yang mengalaminya akan gila. Kamu mungkin nggak sadar, tapi keinginan untuk bunuh diri itu juga termasuk dalam masalah kesehatan mental. Bertemu psikiater adalah solusi terbaik untuk memecahkan masalah kamu." Sakti menyelipkan kartu nama itu di dalam salah satu paper bag yang dipegang Yashica. "Datanglah ke situ. Lakukan untuk diri kamu dan keluarga yang sayang sama kamu. Mereka akan menyalahkan diri sendiri kalau kamu sampai beneran bunuh diri." Kemudian dia berbalik dan pergi.
Yashica menatap punggung itu tak percaya. Dasar sinting! Kalau ada yang membutuhkan jasa psikolog atau psikiater, orang itu sendirilah yang perlu. Yashica menggeleng-geleng sebal. Dia lantas melanjutkan langkah menuju lift untuk mengantarkan pesanan orang-orang yang sedang menunggunya.
Setelah Yashica membagikan minuman dan camilan sesuai pesanan para staf, tanpa menghiraukan decakan kagum Meiske karena dia berhasil membawa pesanan dengan tepat tanpa mencatat, Yashica mengambil kartu nama yang disodorkan laki-laki di lobi tadi lalu membuangnya ke tempat sampah.
Kalaupun suatu saat nanti dia butuh psikiater, Yashica punya referensi sendiri, dan tentu saja bukan di Jakarta. Kota ini hanya rumah singgah untuknya. Dia tidak akan tinggal secara permanen di sini.
Yashica sedang berada di pantri saat Iska, salah seorang karyawan masuk. Dia tersenyum ramah yang dibalas Yashica dengan anggukan tipis. Tanpa mengatakan apa-apa, Yashica mengulurkan tangan, meminta gelas kotor yang dipegang Iska.
"Oh ya, tadi ngomongin apa sama Pak Sakti?" tanya Iska dengan nada menyelidik. "Tadi, saya lihat kalian ngobrol."
Alis Yashica terangkat. Dahinya berkerut.
"Itu, yang tadi siang di lobi," lanjut Iska. "Kelihatannya serius banget."
Ooh..., jadi nama laki-laki itu Sakti? Kenapa Iska tampak penasaran? Selama bekerja di tempat ini, menurut Yashica, Iska bukanlah orang paling kepo di antara semua karyawan yang dilayaninya. Pertanyaan seperti itu lebih cocok diajukan oleh Meiske atau Kinar yang tampak bersemangat menjodoh-jodohkan Yashica dengan dua orang staf bujangan sejak hari-hari pertama dia masuk bekerja di kantor ini.
"Astaga, jangan bilang kamu nggak tahu siapa Pak Sakti!" Iska melongo. Matanya memelotot saat Yashica menggeleng. "Kamu beneran nggak tahu?" pekiknya nyaring. "Dia itu bukan hanya direktur marketing, tapi juga anak Pak Resmawan Wardoyo, bos besar kita!"
Kalimat terakhir itu terasa seperti petir di telinga Yashica. Tidak mungkin! Laki-laki tadi tidak mungkin menjadi anak Resmawan Jati Wardoyo.
Yashica tidak tahu berapa tepatnya umur laki-laki tadi, tapi dia tidak mungkin lebih muda daripada dirinya. Iska bilang dia adalah direktur marketing, jadi meskipun dia anak bos, pengalaman kerjanya harusnya sudah beberapa tahun sebelum mencapai tahap itu.
Saat teringat sesuatu, Yashica buru-buru membilas gelas Iska. Setelah itu dia memelesat keluar pantri. Semoga saja tempat sampah belum dikosongkan karena dia membutuhkan kartu nama yang tadi dibuangnya!
**
Kalau pengin baca cepat, bisa ke Karyakarsa ya. Tengkiu....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top