Sepuluh
SAAT kembali dari makan siang, Sakti melihat Yashica berjalan menuju meja sekretaris direktur keuangan sambil membawa dokumen. Seperti perintahnya, Yashica sudah dipindahkan ke lantai ini. Dengan begitu, Sakti akan lebih mudah mendekati dan mengawasi pergerakannya. Akhirnya dia punya kesempatan merasakan sensasi menjadi seorang detektif. Hanya membayangkannya saja, letupan adrenalin membuatnya awas.
Sakti memikirkan beberapa alasan yang membuat Yashica menyamar menjadi OG di kantor ini. Penyusup yang dikirim perusahaan pesaing, seperti yang pernah dikatakannya kepada Petra, termasuk di dalamnya. Alasan lain adalah Yashica sedang membuat eksperimen sosial. Dia ingin merasakan kehidupan sebagai seorang OG. Yashica berkeliling kantor ini dengan menggunakan kamera tersembunyi yang dipasang di pakaiannya. Pengalaman itu kemudian akan dia unggah ke media sosial. Eksperimen tukar nasib seperti itu punya lumayan banyak penonton. Alasan lain yang juga terpikirkan oleh Sakti adalah Yashica mau berada di posisi yang pasti tidak nyaman itu untuk mengamati seseorang di gedung ini, entah siapa.
Hanya saja, semua kemungkinan-kemungkinan dalam skenario itu sangat mudah terpatahkan. Sakti sulit membayangkan perusahaan pupuk skala kecil mau repot-repot mengirim seorang penyusup ke kantor ini. Untuk apa? Kantor ini hanya mengurusi administrasi saja karena pabrik mereka berada di Pangkal Pinang. Divisi penelitian dan pengembangan juga berkantor di sana. Rasanya berlebihan jika seorang penyusup dari perusahaan saingan hanya berniat mencuri data produksi dan jumlah penjualan.
Dugaan eksperimen sosial juga tidak terlalu kuat karena biasanya eksperimen sosial seperti tukar nasib tidak dilakukan dalam jangka waktu cukup lama. Biasanya hanya dilakukan selama 24 jam, atau kalau memang orang yang melakukan eksperimen itu ingin merasakan pengalaman hidup susah lebih lama, dia bisa melakukannya selama seminggu. Tidak ada yang berniat menyiksa diri cukup lama demi konten sekalipun. Sedangkan Yashica sudah berada di kantor ini lebih dari sebulan.
Dugaan terakhir tentang mengamati seseorang di gedung ini juga nyaris tidak masuk akal. Yashica tidak tampak menyembunyikan diri. Karena itulah yang akan dilakukan seseorang yang mengamati seseorang secara diam-diam, kan? Berusaha untuk tidak terlihat. Yashica tidak menggunakan masker untuk menyembunyikan wajahnya supaya tidak dikenali. Dia mondar-mandir di lobi tanpa proteksi, padahal di tempat itulah dia akan gampang berpapasan dengan orang yang ingin diamatinya. Kecuali kalau dia melakukan pengamatan itu untuk orang lain, dan orang yang diawasinya tidak mengenalnya.
Tapi teori itu itu juga gampang didebat. Untuk mengamati seseorang yang tidak dikenalnya, Yashica tidak perlu bekerja di sini. Dia bisa nongkrong di lobi setiap hari dan berlagak layaknya tamu. Supaya tidak dikenali atau dicurigai resepsionis, sangat gampang berganti penampilan. Bukankah perempuan memang diberkati dengan kemampuan memanipulasi wajah dengan makeup?
Ada satu hal lagi yang sangat sulit dijelaskan tentang kemungkinan-kemungkinan di atas ketika dihubungkan dengan niat Yashica untuk bunuh diri. Dan, Sakti yakin dia tidak salah menduga tentang hal itu. Dia yakin Yashica memang hendak mengakhiri hidup. Dia bisa melihat gestur perempuan itu ketika berada di atas tembok pembatas. Bagian depan kaki Yashica melewati ujung tembok tempatnya berpijak. Hanya setengah kakinya yang menjejak tembok. Pandangannya lurus ke bawah. Tubuhnya limbung dan bersiap melompat ketika Sakti menegurnya.
Sakti menghentikan berbagai skenario dan kontradiksi yang bermain di benaknya ketika sekretarisnya masuk dan membawa tumpukan berkas yang harus dia periksa dan tanda tangani. Bermain detektif adalah kegiatan sampingan yang tidak boleh mengganggu pekerjaan utamanya.
**
Yashica meletakkan kantung plastik berisi makanan yang dipesan Bu Cellia, sekretaris Sakti, di atas meja perempuan yang masih sibuk bicara di telepon itu.
"... iya, Mama minta maaf karena belum dapat guru les matematika untuk kamu, Sayang," nada Bu Cellia terdengar memelas. "Sabar ya. Nanti Mama tanyain sama teman-teman Mama, mungkin aja ada yang kenal orang yang bisa ngasih les privat." Bu Cellia diam sejenak mendengarkan orang yang diajaknya ngobrol di telepon. Menurut perkiraan Yashica, orang itu pasti anak Bu Cellia. Yashica masih ingat ibunya juga selalu menggunakan nada memelas itu untuk membujuknya ketika Yashica kecil ngambek. "Iya, Mama sudah lihat soal yang kamu kirim, tapi Mama nggak ngerti gimana cara ngerjainnya." Bu Cellia menghela napas panjang berulang kali sebelum akhirnya menutup telepon.
"Makanannya, Bu." Yashica mendorong kantung kertas itu mendekat ke depan Mbak Cellia.
"Makasih ya." Cellia menolak kembalian yang disodorkan Yashica. "Untuk kamu aja."
Yashica tidak membutuhkan recehan, tapi pasti terlihat aneh kalau dia menolak, jadi dia memasukkan lembaran lima ribuan itu ke dalam saku rok. "Terima kasih, Bu." Dia tidak langsung pergi. Biasanya dia tidak suka mencampuri urusan orang lain, tapi raut cemas Bu Cellia mengingatkan Yashica pada ibunya. "Maaf kalau saya ikut campur, tapi yang barusan menelepon itu anak Ibu?"
Cellia mengangguk pasrah. "Ada PR matematika yang nggak bisa dia kerjain, tapi saya juga nggak bisa. Mana saya belum dapat guru les untuk dia."
"Boleh saya lihat soalnya, Bu?" Matematika adalah mata pelajaran favorit Yashica. Dari SD sampai SMA, dia konsisten memenangkan lomba olimpiade Matematika tingkat nasional. Dia pernah membawa nama Indonesia mengikuti olimpiade internasional, walaupun hanya berhasil membawa medali perak pulang ke tanah air bersamanya.
Cellia langsung bersemangat. "Kasih nomor kamu, biar pesan WA Aldrin saya teruskan ya. Dia kelas VI, dan pelajaran matematikanya udah terlalu sulit untuk saya. Saya nggak pernah suka matematika."
Yashica hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menyelesaikan tugas anak Bu Cellia. Dia lalu menyerahkan kertas yang dipakainya untuk menguraikan jawaban soal-soal matematika itu.
"Makasih ya." Cellia langsung mengeluarkan ponsel, memotret jawaban itu, dan mengirimkannya kepada anaknya.
Kelegaan yang terpancar dari wajahnya kembali mengingatkan Yashica pada ibunya ketika berhasil membuatnya tersenyum setelah merajuk. Sepertinya, anak memang merupakan kelemahan semua ibu di dunia.
Yashica sering mengalami dejavu ketika melihat kedekatan seorang ibu dengan anaknya. Profesi aslinya membuat Yashica sering menjadi saksi air mata ibu yang mengucur deras ketika melihat penderitaan anaknya. Atau saat ibu itu telah kehabisan air mata, pelukannya tetap menawarkan kehangatan yang akan menenangkan anak paling rewel sekalipun.
Kalau tidak merasakan dejavu itu, Yashica tidak mungkin menawarkan bantuan pada Bu Cellia. Selama berada di kantor ini, dia nyaris tidak pernah membuka percakapan lebih dulu dengan siapa pun.
Dari meja Bu Cellia, Yashica masuk ke pantri. Pekerjaan di pos baru ini tidak sebanyak di tempat tugas Yashica sebelumnya. Terutama karena di hari pertamanya ini, hanya direktur pemasaran dan direktur keuangan yang berkantor. Direktur lain, termasuk direktur utama dan pelaksana dirut sedang tidak ada di tempat.
Ini adalah hari tersantai Yashica selama bekerja di kantor ini. Terlebih lagi karena koordinator OB yang bertugas di tempat ini tidak segalak Mbak Erta.
Direktur pemasaran masih berada di ruangannya ketika Yashica melihat Bu Cellia sudah meletakkan tas di atas meja. Dia melambai ketika melihat Yashica.
"Pak Sakti nyuruh saya pulang duluan," katanya semringah. "Jangan jauh-jauh dari sini ya, mungkin saja dia butuh sesuatu."
Yashica mengangguk takzim. "Baik, Bu."
Tentu saja dia dan OB yang bertugas tidak akan meninggalkan kantor sebelum jam kerja mereka berakhir. Jam kerja OB tidak sama dengan pegawai lain. Mereka datang lebih awal dan pulang paling akhir. Salah satu waktu tersibuk seorang OB adalah ketika pegawai lain sudah pulang, saat mereka harus membereskan ruangan yang menjadi tanggung jawabnya. Kantor harus ditinggalkan dalam keadaan bersih dan rapi
**
Untuk yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana udah lama tamat. Tengkiuuu....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top