Lima Belas

YASHICA menghabiskan waktu hampir dua jam bersama Aldrin, anak Bu Cellia. Mulai dari berkenalan sampai membahas soal matematika yang belum dipahami anak itu. Ketika Bu Cellia mengatakan Aldrin kurang bisa matematika, Yashica mengira dia akan kesulitan menjelaskan cara penyelesaian soal. Tetapi Aldrin ternyata cepat menangkap maksudnya.

"Guru di sekolah ngajarnya cepet banget, jadi aku biasanya kurang nangkap. Seringnya nggak bisa fokus karena mendengarkan sambil mencatat," keluh Aldrin. "Kalau dijelasin pelan-pelan kayak gini, aku langsung ngerti kok."

Yashica mengerti kesulitan Aldrin. Di sekolah, guru memang mengajar untuk puluhan anak yang penangkapannya beda-beda. Ada yang cepat paham dan ada yang perlu pengulangan beberapa kali untuk mengerti. Sayangnya guru dikejar target untuk menyelesaikan silabus tepat waktu sehingga tidak mungkin mengakomodir kebutuhan murid yang kurang bisa menangkap pelajaran matematika hanya dengan penjelasan sepintas. Apalagi pelajaran matematika itu berkesinambungan dan semakin lama tingkat kesulitan pelajaran itu semakin meningkat. Kalau sudah tidak paham di awal, memang sulit untuk mengejar ketinggalan.

"Seneng deh diajar sama Kakak," kata Aldrin setelah menutup bukunya. "Besok lagi, kan?"

Yashica tersenyum. Mungkin senyum paling tulus yang pernah diberikannya pada seseorang selama berada di jakarta. "Iya, besok lagi. Tapi Kakak hanya akan nemenin kamu belajar sampai Bu Cellia dapat guru les yang lebih bagus." Yashica ikut menyebut dirinya dengan "kakak" seperti cara Aldrin menyapanya.

"Kenapa bukan Kakak aja yang ngajar aku?" protes Aldrin. "Aku gampang ngerti kok kalau diajar Kakak. Tadi, latihannya cuman salah satu aja, kan? Itu pun karena aku kurang teliti aja pas baca soal ceritanya. Harusnya aku jumlahin, tapi malah aku kurangin."

Tampang Aldrin yang cemberut menghangatkan hati Yashica. Keterikatan seperti inilah yang dihindarinya. Rasa bersalah karena melibatkan anak itu dalam rencananya kembali menyergap Yashica. Tubuh Aldrin termasuk jangkung untuk anak seumurannya, tetapi raut wajahnya masih kekanakan. Dia sangat mirip Bu Cellia.

"Karena Kakak bukan guru matematika. Nanti, pelajaran kamu akan makin sulit, dan Kakak juga udah nggak bisa ngerjain. Jadi kamu lebih baik diajar sama guru matematika beneran."

"Ooh...." Aldrin mengangguk-angguk. "Semoga nanti gurunya asyik kayak Kakak. Ngajarnya nggak cepet-cepet kayak Pak Guru di sekolah."

"Pasti asyik dong," Yashica menyakinkan. "Mama kamu pasti akan cari guru yang asyik dan cocok sama kamu."

Ekspresi sebal Aldrin menghilang.

Cellia yang beberapa kali masuk ke kamar Aldrin untuk memantau les pertama anaknya lantas mengajak Yashica pindah ke ruang tengah. Tidak lama mereka duduk, seorang ART datang membawa minuman dan camilan.

"Ayo, diminum." Cellia mempersilakan. "Kuenya saya bikin sendiri lho. Saya suka baking, walaupun udah mulai membatasi makanan yang tinggi kalori dan gula. Tapi ada Aldrin yang ngabisin."

Album foto yang ada di bawah meja lebih menarik perhatian Yashica ketimbang aroma teh dan bolu yang wangi. "Boleh saya lihat album fotonya, Bu?"

"Silakan. Tapi itu foto-foto yang udah lama banget sih. Sebagian udah buram dimakan waktu. Foto-foto baru kebanyakan saya simpan di laptop aja. Lebih awet. Walaupun kadang-kadang ada yang dicetak dan dibingkai untuk pajangan. Terutama foto Aldrin, biar bisa lihat pertumbuhan dan perkembangan dia dari bayi sampai sekarang."

Yashica meraih dan meletakkan dua buah album foto berukuran besar yang tebal dan berat itu di atas pangkuan. Seperti kata Bu Cellia. Sebagian foto-foto itu sudah berumur. Tampak jelas dari gaya busana dan dandanan orang-orangnya.

"Itu foto ibu saya dan sepupu-sepupunya." Cellia yang ikut melihat album yang dibuka Yashica mengomentari sambil tertawa. "Kata Ibu, di tahun 80-an dan awal 90-an, gaya rambut bervolume gini hits banget lho. Semua artis di zaman itu model rambutnya kayak gitu. Tren yang kemudian diadopsi kebanyakan orang, tanpa peduli apakah model itu cocok untuk bentuk wajah mereka atau tidak."

Di lembaran bagian tengah album, Yashica menatap foto yang melekat di situ lebih lama. Orang yang ada di foto itu sama persis dengan orang dalam bingkai yang dipandangi ibunya setiap hari semasa hidup. Foto yang kemudian ditumpuk dalam kotak dan Yashica simpan di gudang setelah ibunya meninggal. Dia pernah bermaksud membakarnya habis, tapi dia kemudian teringat ibunya. Bagaimanapun, foto itu adalah barang berharga untuk ibunya dan Yashica tidak berhak memusnahkannya. Jadi Yashica mengambil jalan tengah dengan menyingkirkan semua wajah itu dari dinding dan bufet supaya tidak perlu melihatnya lagi.

"Itu Pak Resmawan dan Pak Bathra," kata Cellia menjelaskan. "Mereka ganteng banget waktu masih muda, kan?"

Kegantengan yang membuat ibunya mabuk kepayang dan tetap gagal move on meskipun ditinggalkan belasan tahun. Yashica kembali membalik lembar album. Gambar yang tampak di situ lebih mencengangkan. Tanpa diinginkannya, tangannya bergetar. Untunglah ibunya tidak melihat foto ini.

"Oh... ini diambil waktu resepsi pernikahan Pak Resmawan dan Mbak Savita. Waduh, nggak terasa udah puluhan tahun aja." Cellia menunjuk sosok anak perempuan di depan pengantin. "Ini saya. Waktu itu saya berumur 10 atau 11 tahun. Senang banget karena didandanin kayak pengantin juga." Telunjuk Cellia lalu bergerak pada anak lelaki yang lebih kecil, yang memakai jas di sebelahnya. Tawanya kembali meledak. "Ini Sakti. Astaga, dia imut banget dulu. Waktu itu dia masih 5 atau 6 tahun. Saya nggak ingat persis."

Yashica menunduk lebih dalam untuk mengamati. Sakti menghadiri pernikahan orangtuanya sendiri? Itu aneh. Dalam situasi normal, tidak ada anak kandung yang menghadiri pernikahan orangtuanya. Itu bisa terjadi hanya jika orangtuanya pernah berpisah dan rujuk kembali. Tetapi resepsi dalam foto itu tidak tampak seperti acara rujuk yang seharusnya lebih sederhana.

"Pak Sakti sudah berumur 5 atau 6 tahun saat orangtuanya menikah?" Yashica merasa harus melontarkan pertanyaan itu meskipun terkesan nyinyir.

Pertanyaan Yashica membuat Cellia tersenyum rikuh, salah tingkah. "Waduh, saya malah keceplosan. Seharusnya saya nggak ngomongin ini sih." Dia berdeham. "Sakti sebenarnya bukan anak kandung Pak Resmawan. Mbak Savita sudah pernah menikah sebelumnya. Sayangnya nggak sampai setahun karena suaminya meninggal saat dia sedang hamil Sakti. Tapi Pak Resmawan sayang banget kok sama Sakti. Dia sudah menganggap Sakti seperti anak kandungnya sendiri. Nggak banyak orang yang tahu cerita ini selain keluarga. Jadi, tolong jangan bilang sama Sakti saya ngasih tahu soal silsilah keluarganya ya," pinta Cellia.

"Tentu saja tidak, Bu," jawab Yashica menenangkan. Dia terus mengamati foto pernikahan itu sambil mengumpat dalam hati. Resmawan Jati benar-benar laki-laki luar biasa. Dia bisa menganggap anak tirinya sebagai anak kandung, tetapi menelantarkan anak kandungnya sendiri. Meninggalkan istrinya tanpa kepastian demi perempuan lain. Sama saja dengan menjandakan istri untuk menikahi janda. Benar-benar hebat!

"Saya belum pernah bertemu Pak Resmawan selama bekerja di kantor beliau." Yashica merasa jika mendapatkan informasi dari Bu Cellia jauh lebih mudah ketimbang mengoreknya dari Sakti. Perempuan memang memiliki kecenderungan senang berbagi informasi.

"Ooh... Pak Resmawan lagi istrirahat setelah operasi. Tapi dia udah sehat banget kok. Nggak lama lagi pasti udah balik ke kantor. Dia tipe pekerja keras yang nggak bisa lama-lama ninggalin pekerjaan."

Tentu saja, pikir Yashica sinis. Semua hal berada di urutan teratas daftar prioritas Resmawan Jati, kecuali ibunya. Ibunya tidak masuk daftar, bahkan tidak di posisi terbawah sekalipun. Ibunya hanyalah benda yang lantas terlupa ketika tidak dibutuhkan lagi. Rasa panas terasa membakar dada Yashica. Dia marah untuk ibunya. Belum pernah dia berusaha sekuat itu menahan emosi supaya tidak meledak di depan Bu Cellia. Mempertahankan ekspresi supaya tetap terlihat tenang tidak pernah sesulit dan semelelahkan ini.

Dari rumah Bu Cellia, Yashica tidak langsung pulang. Dia mampir ke apartemen Ikram. Dia perlu menumpahkan unek-unek yang menggayuti dadanya yang kini terasa sesak dan berat. Kadang-kadang Yashica merasa kasihan pada Ikram yang harus ikut terbebani dengan masa lalunya padahal dia tidak punya kaitan. Tapi Ikram tidak punya pilihan selain mendengarkan karena Yashica tidak punya orang lain yang bisa diajak bicara.

**

Untuk yang pengin baca cepet, di Karyakarsa Edah lama tamat ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top