Lima
KANTOR dr. Petra Gunawan berbeda dengan ruang praktik psikiater standar di rumah sakit pemerintah yang kerap Yashica lihat. Mungkin karena dia bekerja di rumah sakit swasta terkenal di Jakarta sehingga fasilitas yang disediakan untuknya terkesan wah.
Desain interior kantornya didominasi warna krem yang memancarkan kehangatan. Ruangan ini lebih terkesan sebagai ruang tengah mungil sebuah rumah daripada praktik dokter. Selain kursi besar yang bisa digunakan untuk merebahkan punggung, ada juga sofa empuk yang dilengkapi bantal-bantal kecil yang bisa dipegang, diremas, atau diletakkan di pangkuan untuk membantu mengalihkan perhatian demi meredakan ketegangan.
Ruangan ini jelas sengaja didesain untuk membuat pasiennya merasa nyaman. Bagaimanapun juga, kenyamanan adalah hal yang paling dibutuhkan oleh pasien kejiwaan. Untuk membuka diri dan menceritakan berbagai masalah yang mengganggu pikirannya, seorang pasien harus merasa nyaman dulu.
Yashica tidak datang ke sini untuk membohongi dr. Petra dengan masalah kejiwaan palsu. Itu tidak etis. Dia punya rencana lain yang akan menghubungkan dirinya dengan Sakti Prawira Wardoyo. Rencana itu akan berjalan kalau Yashica datang ke sini, karena itu berarti dia mengikuti perintah Sakti untuk datang ke psikiater.
Yashica sempat mendengar percakapan antara Meiske dan manajer produksi saat mereka akan mengikuti rapat. Katanya, Bos besar alias Pak Resmawan Jati Wardoyo yang terhormat sedang berada di luar negeri. Untuk sementara waktu, wewenangnya dilimpahkan kepada adiknya, Bathra Wardoyo. Tidak jelas apa yang dilakukan oleh sang bos di luar negeri, tapi itu berarti Yashica mungkin saja belum bisa bertemu dengannya dalam waktu dekat.
Berita itu membuat Yashica harus beralih pada rencana B, yang dadakan dibuatnya, karena sebelumnya dia tidak punya back up plan sama sekali. Dia tidak mengira bertemu dengan bos besar perusahaan tempatnya bekerja akan sesulit ini.
Rencana B itu adalah mengalihkan sasaran pada Sakti Wardoyo. Tujuan Yashica tidak berubah. Dia hanya berbelok sedikit, dari yang awalnya membidik garis lurus pada Resmawan Jati Wardoyo. Dia mengerem dan mampir pada titik Sakti Prawira sejenak sebelum mantap menghadapi sasaran tembak utamanya. Bukanlah cara termudah untuk mendekati seorang ayah adalah melalui anaknya? Itu rumus pakem yang semua orang tahu. Old fashion way yang juga akan dilakukan Yashica.
Tentu saja Yashica tidak akan serta merta menemui Sakti dan bersikap sok akrab padanya. Tidak ada direktur pemasaran yang akan menanggapi basa basi seorang office girl. Cara itu terlalu kasar. Sakti mungkin saja bukan tipe yang bersimpati pada dongeng Cinderella. Laki-laki zaman sekarang kebanyakan punya pikiran logis. Kenapa harus menghamburkan uang untuk seorang pengeruk harta dari kalangan rakyat jelata kalau bisa menjalin hubungan dengan seorang perempuan cantik yang selevel dengannya? Karena apalagi alasan seorang office girl mendekati atasannya kalau tidak bermaksud untuk memperbaiki nasib dengan memanjat status sosial?
Satu hal lagi, meskipun hati Yashica dipenuhi kemarahan, dia tidak akan membabi buta dan menghalalkan segala cara untuk membalas perlakuan bandot tua bejat itu. Yashica tidak akan menggunakan ranjau asmara untuk menjerat Sakti Wardoyo. Meskipun tidak ingin Yashica akui, laki-laki itu punya hubungan darah dengannya. Dia dendam, tapi tidak gila. Jadi dia tidak akan melakukan hal-hal tabu demi memuaskan ego.
Yashica memikirkan cara lain yang lebih halus. Sakti yang mendekatinya karena penasaran, bersimpati, dan ingin menolong. Tidak akan sulit karena Sakti tampaknya adalah tipe orang yang sok tahu dan suka mencapuri urusan orang lain. Yashica akan memanfaatkan itu.
Datang ke tempat praktik dr. Petra adalah langkah awal untuk memancing Sakti. Yashica percaya diri cara ini akan berhasil. Kalaupun akhirnya gagal, dia akan beralih ke rencana C. Entah apa itu, karena Yashica belum memikirkannya.
"Saya tidak punya keluhan apa-apa, Dok," jawab Yashica kalem ketika dr. Petra memulai dengan pertanyaan inti setelah berbasa basi sejenak. Yashica mempertahankan eskpresi datarnya. Dia tidak akan membiarkan dr. Petra membaca pikirannya lewat sorot mata ataupun air mukanya. "Saya datang ke sini karena Pak Sakti meminta saya datang. Beliau atasan saya, jadi saya nggak enak mengabaikan perintah beliau. Saya tahu beliau melakukannya karena peduli pada bawahannya, meskipun sebenarnya itu tidak perlu."
Petra mengawasi perempuan di depannya dengan saksama. Seperti kebanyakan pasiennya yang datang karena paksaan, bukan keinginan sendiri mencari pertolongan, perempuan ini tidak langsung mengakui kalau dia punya masalah. Biasanya butuh waktu untuk membuat mereka terbuka.
"Sakti bilang Mbak berniat melompat dari atap gedung kantor." Seperti kata Sakti, perempuan ini masih muda, jadi Petra lebih memilih kata 'Mbak' ketimbang 'Ibu' untuk menyebutnya. "Tidak ada orang yang tiba-tiba ingin lompat dari atap gedung tinggi kalau tidak ada pemicunya. Apa yang waktu itu Mbak pikirkan?"
Yashica sengaja tidak menjawab pertanyaan itu. Dia tidak ingin berbohong, tetapi juga tidak mau mengatakan hal sebenarnya. Dia akan kehilangan kesempatan untuk mendekati Sakti Wardoyo kalau laki-laki itu tahu bahwa Yashica tidak berniat bunuh diri. Yashica ingin Sakti Wardoyo tetap menganggapnya punya masalah dan perlu ditolong.
"Apakah akhir-akhir ini Mbak kehilangan nafsu makan sehingga berat badan Mbak turun?" Petra mengubah pertanyaannya saat perempuan di depannya diam saja. Walaupun tampak sehat, tapi perempuan ini cenderung kurus. Kebanyakan pasien dengan ansietas atau depresi mengalami penurunan berat badan karena kehilangan nafsu makan. Memang ada yang sebaliknya, yang memiliki keinginan untuk terus-menerus makan sehingga berat badannya naik, tapi pasien kiriman Sakti ini jelas tidak termasuk kategori itu.
Yashica tidak langsung merespons. Benar kalau dia akhir-akhir ini kehilangan nafsu makan. Siapa juga yang bisa makan lahap dengan pikiran yang penuh teori tentang cara membalas sakit hati? Apalagi dia sudah sangat dekat dengan tujuannya, bukan hanya angan-angan semata seperti ketika dia masih tidak bisa menelusuri jejak garis darahnya. Tapi yang menyebabkan hilangnya nafsu makan itu bukanlah karena dia mengalami masalah kejiwaan.
Petra melanjutkan pertanyaan ketika perempuan di depannya masih terus diam. "Kamu susah tidur, atau malah pengin tidur terus-terusan?"
Itu juga pertanyaan yang sulit dijawab Yashica. Ada saat-saat dia melewatkan jam tidur ketika larut dalam pikiran saat membayangkan berhadapan dengan laki-laki pengecut yang meninggalkan ibunya. Mereka akan saling menatap saat Yashica mengatakan siapa dirinya dan menumpahkan segala sakit hati. Di dalam angan Yashica, laki-laki itu akan terpukul dan meminta pengampunannya. Ketika membayangkan semua itu, adrenalin Yashica memuncak. Bagaimana mungkin dia bisa tidur ketika otaknya terjaga sempurna?
Petra berusaha tidak mendesah. Perempuan di depannya tampak sangat memikirkan kata-kata yang hendak dikeluarkannya. Dia bahkan tidak menjawab pertanyaan yang sangat sederhana sekalipun. Dia kembali mencoba, "Mbak mengalami mood swing? Maksud saya, apakah suasana hati Mbak gampang berubah?" Petra memilih kata-kata yang lebih sederhana. "Apakah Mbak sering merasa sedih tanpa penyebab pasti? Tiba-tiba saja pengin menangis, frustrasi, dan merasa putus asa padahal nggak ada kejadian yang bikin Mbak harus merasa begitu?"
Kali ini Yashica menggeleng. Suasana hatinya memang bisa berubah dengan mudah, tapi penyebabnya pasti. "Tidak, Dok."
"Semua orang punya masalah serta kecemasan," kata Petra. Dia terus mengawasi Yashica, mengamati setiap perubahan ekspresi perempuan itu. Tapi tidak banyak yang bisa ditangkap. "Kadang kala mereka merasa kalau masalahnya itu terlalu berat untuk ditanggung sendiri. Ada yang merasa plong setelah berbagi dengan orang lain, tapi ada juga yang tidak nyaman membicarakan masalahnya dan akhirnya memendamnya sendiri. Tidak masalah kalau dia akhirnya bisa mengatasi kecemasan yang mengganggunya. Itu artinya, kecemasan yang dia rasakan masih normal. Tapi ada yang tidak bisa mengatasi masalah dan kecemasannya. Perasaan itu akhirnya sampai pada tahap yang mengganggu aktivitas sehingga orang itu jadi tertekan dan kehilangan antusiasme pada hidup. Ada perasaan tak berharga yang tak bisa dihilangkan. Ada keinginan untuk mengakhiri hidup. Untuk mengatasi masalah seperti itu, butuh bantuan psikiater seperti saya. Obat juga diperlukan untuk menjaga keseimbangan senyawa kimia di otak. Jenis obat itu tidak dijual bebas karena dosisnya hanya bisa ditentukan oleh dokter berdasarkan hasil pemeriksaan seperti sekarang. Jadi akan sangat membantu kalau Mbak Yashica bisa terbuka sama saya."
**
Untuk yang mau baca cepet sampai tamat, bisa ke Karyakarsa ya. Tengkiuuu....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top