Empat Puluh

YASHICA tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Ini pertama kalinya dia tidur di rumah seorang laki-laki. Ikram tidak bisa dihitung karena dia saudara. Posisinya berbeda dengan Sakti.

Kemarin subuh, Yashica memang sempat tertidur si sofa Sakti, tapi kondisinya berbeda dengan saat ini. Hari ini, dia seharian berada di apartemen Sakti dan berinteraksi dengan orang yang paling dia benci beserta keluarganya.

Tadi pagi, tekad Yashica sudah bulat saat memutuskan hendak membongkar kedok Resmawan Jati di depan keluarganya. Dia bahkan sudah membalikkan tubuh, bermaksud kembali ke meja bar dapur, di mana laki-laki itu berkumpul bersama istri dan kedua anaknya. Tapi sebelum Yashica hendak melangkah, Hashi tiba-tiba saja sudah berada di dekatnya dan memeluknya lengannya erat.

"Ucapan Ayah jangan diambil hati ya, Mbak," katanya dengan nada membujuk yang kental. "Dia memang orangnya blak-blakan dan to the point kalau ngomong. Ayah baik kok, cuman ya, love language-nya memang bukan words of affirmation. Jadi kesannya serius dan kaku banget."

Bukan kata-kata Hashi yang membuat Yashica terpaku, tapi sentuhannnya. Lengannya terasa hangat di kulit Yashica. Anehnya, kehangatan itu bukannya mengobarkan kemarahan, tetapi malah meredam emosinya yang tadi memuncak. Yashica hanya menurut ketika Hashi menggandengnya memasuki kamar Sakti.

Sekarang, belasan jam kemudian, Hashi kembali memeluk Yashica, walaupun dia melakukannya tanpa sadar. Tadi, saat hendak tidur setelah memastikan keadaan Sakti baik-baik saja, Yashica terkejut ketika Hashi mengekorinya ketimbang bergabung dengan Greesa yang tidur di kamar yang lain. Resmawan Jati dan istrinya sudah pulang dan mengatakan akan kembali lagi besok.

Hashi yang sedang menyelesaikan tahap akhir preklinik, antuasias bertanya tentang tahap klinik dan internsipyang akan menjadi tujuan berikutnya sebelum mendapatkan gelar dokter dan bisa berpraktik mandiri. Yashica menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sampai akhirnya Hashi tertidur.

Yashica juga sudah memejamkan mata, bersiap dijemput mimpi, tapi kantuknya sontak menghilang ketika Hashi lebih memilih memeluknya daripada mendekap guling. Rasanya aneh. Setelah ibunya meninggal, Yashica tidak terbiasa tidur bersama seseorang yang memeluknya. Ketika dia hendak melepaskan lengan Hashi yang melingkar di pinggangnya, adik Sakti itu malah semakin mengeratkan pelukan.

Yashica lantas mengawasi wajah yang terlelap dalam damai di sisinya itu. Hashi sangat cantik. Wajar, karena dia mewarisi gen terbaik dari orangtuanya. Dari wajah, tatapan Yashica turun pada lengan Hashi. Jadi begini rasanya memiliki seorang adik. Kalau saja Resmawan Jati tidak memilih meninggalkan ibunya, Yashica pasti sudah merasakan kemewahan pelukan seperti ini sejak kecil.

Yashica tahu kalau dirinya kerap tidak bisa menunjukkan emosi terang-terangan karena terbiasa tertutup, tapi dia bisa membayangkan dirinya menjadi seorang kakak yang baik. Mungkin tidak akan sebaik Sakti yang supel, bisa dengan mudah mengutarakan isi hati dan candaan, serta senang memberikan perhatian melalui sentuhan-sentuhan kecil, tapi Yashica tahu dia akan menjadi kakak yang bisa diandalkan. Sama seperti Sakti, dia akan melakukan apa pun untuk melindungi adik-adiknya.

Sayangnya Yashica tidak pernah memiliki kesempatan untuk membuktikan diri menjadi tempat sandaran adik-adiknya karena si keparat Resmawan Jati menghilang, dan ibunya terlalu mabuk kepayang pada laki-laki itu sehingga menolak memberi kesempatan pada cinta lain untuk hadir dalam hidupnya. Padahal cinta yang baru membuka kesempatan bagi Yashica untuk memiliki adik.

Yashica tidak ingat pukul berapa dia akhirnya jatuh tertidur, tapi dia yakin sudah lewat tengah malam. Ketika terjaga, dia menyadari jika tangan dan kakinya bertumpu pada tubuh Hashi, membalas pelukannya.

Yashica seketika memisahkan diri. Kali ini Hashi yang tenggelam dalam tidur yang dalam tidak bereaksi. Yashica menggunakan kesempatan itu untuk bangun dan menuju kamar mandi. Masih terlalu pagi karena dia pasti hanya tidur beberapa jam, tapi kedekatan dengan Hashi agak menakutkan Yashica. Dia tidak ingin terikat dengan adik Sakti, walaupun Yashica tidak bisa bilang bahwa dia tidak merasa nyaman. Justru rasa nyaman itu yang membuatnya ketar-ketir.

Sakti masih tertidur ketika Yashica mengintip ke kamarnya. Kondisinya sudah sangat membaik. Bising ususnya sudah normal. Yashica bermaksud melepas infusnya pagi ini setelah memasukkan obat, lalu pamit pulang sebelum Resmawan Jati dan istrinya kembali.

Dari kamar Sakti, Yashica menuju dapur. Kemarin apartemen Sakti adalah tempat yang asing, tapi sekarang terasa familier. Yashica sudah tahu harus membuka rak dan laci yang mana untuk menemukan cangkir, teh, dan gula untuk membuat minuman panas yang akan membantu menghangatkan tubuh.

Dia sudah duduk di depan meja bar menghadapi cangkir tehnya ketika mendengar langkah kaki mendekat. Yashica menoleh.

"Mbak nggak tidur ya?" Greesa yang muncul dengan tampang mengantuk langsung menuju kulkas untuk mengeluarkan sebotol air. Dia kemudian mengambil tempat di sebelah Yashica. "Harusnya Mbak istirahat juga, biar nggak kecapean. Dokter kan manusia juga. Kalau cape bisa sakit. Kalau Mbak yang sakit, Mas Sakti nggak akan bisa setelaten Mbak ngerawat dia. Yang ada dia malah panik dan bujukin Mbak supaya masuk rumah sakit aja, biar ditanganin sama dokter. Ditungguin di rumah sakit kan nggak ada romatis-romantisnya."

"Aku udah bangun kok."

"Emang biasa bangun subuh banget ya, Mbak?" tanya Greesa lagi.

"Kalau di rumah sendiri sih enggak. Tapi kalau lagi jaga malam di IGD rumah sakit, seringnya malah nggak tidur karena sibuk melayani pasien." Yashica tersenyum. "Kamu juga bangun subuh."

Greesa cengengesan. "Tadi niatnya mau bangun minum doang. Tapi karena lihat Mbak di sini, ngantuknya malah hilang. Oh ya, Mas Sakti gimana, Mbak?"

"Setelah aku masukin obat dan cairannya habis, infusnya akan aku lepas kok. Dia udah baikan. Masih belum sepenuhnya fit karena harus istirahat dulu sih, tapi dia udah sembuh kok."

Greesa mengembuskan napas lega. "Syukurlah. Untung ada Mbak. Kalau pacar dia bukan dokter, kami pasti nginap di rumah sakit yang nggak akan senyaman di tempat sendiri kayak gini." Dia mengerling jenaka. "Mas Sakti dan Mbak adalah pasangan yang cocok. Sama kayak Ibu dan Ayah. Bedanya, Mas Sakti mirip Ibu, sedangkan vibe Mbak lebih ke Ayah, yang tenang dan agak pendiam gitu."

Yashica hanya bisa meringis masam. Dia tidak suka dianggap mirip dengan Resmawan Jati., tapi tidak bisa menolak penilaian Greesa.

"Ini masih subuh banget sih, kamu bisa tidur lagi," katanya pada Greesa untuk menghindari percakapan yang lebih panjang.

"Kalau Ayah terkesan galak karena jarang tertawa dan suka ngasih perintah, itu bukan dia nggak suka sama orang, tapi karena pembawaannya memang gitu." Gressa mengulang pembelaan yang sudah Yashica dengar dari Hashi. Tampaknya kedua anak perempuan Resmawan Jati bahu-membahu untuk memperbaiki citra ayah mereka di depan Yashica. "Mbak jangan terintimidasi dan merasa nggak diterima ya."

Sayangnya usaha Greesa dan Hashi tidak akan membuahkan hasil, karena citra ayah mereka sudah telanjur rusak di mata Yashica jauh sebelum hari ini.

Greesa menggenggam tangan Yashica. "Aku senang Mas Sakti dapat pasangan yang tenang dan nggak julid. Dia adalah kakak terbaik, dan pantas mendapatkan yang terbaik juga. Semoga Mbak juga bisa menerima kami sebagai keluarga Mbak."

Yashica mengawasi tangan Gressa. Keluarga ini benar-benar suka menyentuh orang lain sebagai tanda perhatian. Kecuali Resmawan Jati, tentu saja.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top