Dua Puluh Tujuh
YASHICA butuh waktu untuk merasa rileks dan menghilangkan ketegangan ketika telah duduk berhadapan dengan keluarga Sakti. Sebenarnya bukan dengan semua anggota keluarga Sakti, karena hanya satu orang saja yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Tidak banyak orang yang bisa membuat emosi Yashica naik turun seperti roller coaster saat berhadapan seperti sekarang. Jumlah jari sebelah tangannya bahkan terlalu banyak untuk dipakai menghitung orang-orang tersebut. Orang yang paling sering dihindari Yashica saat masih kecil adalah kakek yang selalu menemukan cela untuk mengkritiknya. Sesopan dan sediam apa pun Yashica di depan kakeknya, dia tetap akan mendengar kalimat yang mengutarakan kekecewaan, seolah Yashica adalah noda dalam keluarga karena terlahir sebagai perempuan.
Berusaha tak terlihat oleh kakeknya bukan hal mudah karena mereka tinggal serumah. Yashica selalu senang ketika kakeknya berada di perkebunan dan tinggal lama di sana. Yashica merasa bersalah ketika dia tidak merasa sesedih yang seharusnya ketika kakeknya meninggal dunia. Hubungan darah mereka sangat kental, tapi secara emosi, Yashica tidak merasa terhubung. Baginya, Kakek jauh menakutkan daripada semua monster yang ada di dalam buku dongengnya.
Dulu, Yashica selalu iri pada Ikram dan Nenna yang memiliki kakek penuh kehangatan dan sangat penyayang. Mungkin karena kakek mereka tidak punya usaha besar yang butuh pewaris sehingga bisa memberikan cinta pada cucunya tanpa pamrih. Tanpa peduli jenis kelamin cucunya. Yashica sudah belajar menerima kekecewaan sejak kecil. Ternyata tidak semua harapan bisa terwujud menjadi kenyataan.
"Mas Sakti bilang, Mbak sekarang lagi ada proyek bantuin teman Mbak yang jadi konten kreator. Jadi beneran berhenti praktiknya?" tanya Hashi, adik bungsu Sakti.
"Hanya sementara kok." Yashica sudah menduga akan mendapatkan pertanyaan itu saat Sakti mengatakan bahwa dia sudah menceritakan skenario yang telah mereka sepakati pada keluarganya. "Kebetulan saya baru resign untuk mempersiapkan diri untuk ujian spesialis. Ikut proyek teman itu jadi selingan menyenangkan biar nggak bosan belajar terus."
"Mbak mau ngambil spesialis apa?" Hashi tampak antusias. Perasaan senang karena Sakti mendapatkan pacar seorang dokter dia tunjukkan dengan jelas.
"Rencananya obgyn," jawab Yashica jujur. Kalau dia memutuskan benar-benar melanjutkan pendidikan setelah meninggalkan Jakarta, Yashica akan memilih obgyn karena seorang dokter obgyn akan sangat dibutuhkan di daerah terpencil, tempat konflik, atau bencana. Di tempat seperti itu, ibu hamil nyaris tidak bisa mendapat bantuan dan dukungan yang mereka butuhkan, padahal mereka membawa makhluk hidup lain dalam tubuhnya.
"Apa nggak sulit bekerja sebagai office girl, padahal biasanya jadi dokter?" Gressa ikut bertanya penasaran. "Maksudku, kalau dokter kan biasanya dihormati rekan kerja, tapi OG kan biasanya disuruh-suruh. Dari yang biasanya ngasih perintah jadi orang yang diperintah kan nggak gampang."
"Hari-hari pertama sih memang sulit sih." Yashica mengusahakan senyum yang tulus. Sebisa mungkin dia menghindari tatapan Resmawan Jati agar emosinya teredam. Sulit karena Yashica ingin menumpahkan fokus pada laki-laki itu, membakarnya dengan api kemarahan yang berkobar menggila. Tapi Yashica tahu jika dia tidak boleh kehilangan kendali pada pertemuan pertama. "Yang sulit itu bukan pekerjaannya, tapi menghadapi orang yang ngasih perintah, karena nggak semua bisa bersabar atau tahu berterima kasih. Berada di posisi itu, bikin saya jadi lebih bisa menghargai orang lain. Status sosial orang bisa berbeda, tapi semua orang punya perasaan dan harga diri yang harus dijaga."
"Itu alasan kenapa Ibu selalu menekankan supaya kalian selalu sopan dan ramah pada orang lain sejak kalian kecil." Ibu Sakti bergabung dalam percakapan. "Karena kalaupun kita nggak bisa ngasih apa-apa sama orang lain, tersenyum dan berterima kasih untuk pelayanan yang mereka berikan akan membuat mereka merasa dihargai."
Itu juga yang selalu diajarkan ibunya kepada Yashica. Dia dibiasakan menggunakan kata "tolong" ketika meminta bantuan para ART di rumahnya, dan diakhiri dengan ucapan "terima kasih" setelah mendapatkan apa yang diinginkannya. Dia juga diajarkan untuk meminta maaf saat melakukan kesalahan. Ibunya selalu berpesan supaya Yashica tidak menyakiti perasaan orang lain karena sakit hati yang dirasakan orang lain bisa kembali pada diri kita sendiri.
Sayangnya Yashica harus melanggar pesan itu untuk pertama kalinya karena sekarang dia sedang merencanakan menyakiti perasaan banyak orang demi membalas kemarahan pada seseorang. Tapi tak mengapa, dia toh manusia. Tidak ada manusia yang sempurna dan tidak pernah menyakiti orang lain. Dosa yang diterimanya sesuai dengan kepuasan yang akan dirasakannya kelak.
"Kamu tinggal di mana?" Suara berat Resmawan Jati terdengar untuk pertama kalinya.
Yashica tidak punya pilihan selain menoleh pada laki-laki yang melemparkan pertanyaan itu. Resmawan Jati menatapnya penuh selidik. Yashica merasa dirinya seperti ular yang mendesis dan mengeluarkan lidah bercabangnya ketika mengulas senyum pada manusia berengsek itu. "Saya tinggal di Setiabudi, Pak." Dia tidak menyebut tempat secara spesifik.
"Mbak dulu kuliah di mana?" pertanyaan Hashi membuat Yashica lega karena dia tidak harus menatap Resmawan Jati lagi.
"Di Unair," jawab Yashica jujur.
"Wah, jadi Mbak udah ngerasain gimana rasanya merantau juga ya? Nggak kayak Mas Sakti dan Mbak Greesa, aku nggak pernah ngerasain tinggal di luar rumah kalau bukan liburan," kata Hashi berbau curhat. "Kenapa nggak kuliah di Jakarta aja?"
"Yashica orang Malang," jawab Sakti sebelum Yashica membuka mulut. "Malah jauh banget kalau harus kuliah di Jakarta."
"Orangtua kamu asli Malang?" Nada penasaran Resmawan Jati yang kental, tidak bisa disembunyikan.
Yashica jadi bertanya dalam hati, apakah Resmawan Jati langsung menghubungkan dirinya dengan ibunya karena kemiripan wajah?
"Iya, Pak, orangtua saya berasal dari Malang," jawab Yashica. Berbohong pada Resmawan Jati sangat mudah. Semudah laki-laki itu membohongi ibunya saat pergi. Apa pun alasannya waktu itu, kata-katanya pasti sangat manis karena ibunya menghabiskan sisa hidupnya untuk menunggu.
"Mereka masih tinggal di Malang?" tanya Resmawan Jati lagi.
"Mereka sudah nggak ada lagi. Ibu saya meninggal dunia saat saya masih SMP." Yashica sengaja hanya menyebut ibunya saja.
"Ayah kamu?" kali ini ibu Sakti yang bertanya.
"Dia sudah nggak ada sejak sejak ibu saya hamil, Bu." Yashica memilih kata "nggak ada" ketimbang "meninggal dunia".
"Jadi, kamu tinggal bersama kakek-nenek kamu setelah orangtuamu meninggal?" tatapan ibu Sakti tampak prihatin.
"Kakek dan nenek saya lebih dulu meninggal daripada ibu saya, Bu."
"Jadi, kamu tinggal sama siapa setelah ibumu meninggal? Waktu itu kamu masih muda banget, kan?"
"Saya tinggal bersama tante saya, Bu. Tapi dia juga sudah meninggal beberapa tahun lalu."
Ibu Sakti mengulurkan tangan menggenggam jari Yashica. "Jadi kamu tinggal sama siapa setelah itu?"
Yashica tahu itu tindakan spontan untuk menyatakan empati, jadi walaupun dia tidak nyaman dengan tautan tangan itu, dia berusaha tidak menarik tangannya. Ini saat untuk menunjukkan sopan santun. Dia tidak boleh membiarkan perasaannya merusak rencana yang sudah disusunnya dengan matang.
"Saya tinggal sendiri, Bu. Tapi saya nggak kesulitan ekonomi kok." Yashica tidak ingin merasa dikasihani lebih jauh. "Ibu saya meninggalkan warisan yang cukup sampai saya bisa mandiri seperti sekarang." Dia sengaja merendah dengan menyebut kata "cukup". Ini bukan saat tepat untuk memamerkan aset yang dimilikinya.
Ada waktu khusus untuk itu. Ketika dia akhirnya berhadapan berdua saja dengan Resmawan Jati. Saat itu, Yashica akan mengatakan bahwa dia bahkan memiliki 10 persen saham perusahaan laki-laki itu. Yashica telah meminta perusahaan sekuritas yang mengelola investasinya untuk membeli saham perusahaan pupuk Resmawan Jati. Supaya tidak menimbulkan kecurigaan karena dia membeli saham dalam jumlah besar, Yashica juga memakai nama Ikram.
"Syukurlah!" Ibu Sakti mengembuskan napas lega. "Ibu senang kamu nggak harus hidup kekurangan. Tinggal sendiri saja sudah nggak enak, apalagi kalau sampai kekurangan."
"Mbak Yashica nggak akan lama lagi hidup sendiri," kata Hashi dengan nada yang dibuat ringan untuk mencairkan suasana yang mendadak sendu karena ibunya. "Hobi Mas Sakti kan ngerecokin orang. Jadi kalau udah nikah sama dia, Mbak harus siap-siap aja kangen sama kehidupan tenang tanpa gangguan orang lain."
"Bukannya kamu yang paling cerewet dalam keluarga kita?" Sakti membalas ejekan adiknya.
"Udah, jangan ribut di depan Yashica," sela ibu Sakti. "Kalau dia ilfil sama kelakuan kamu, kamu sendiri yang repot."
"Banget," sambung Greesa. "Bau bucinnya kenceng banget. Bisa nangis Bombay kalau ditinggal."
Gelak tawa sontak terdengar.
Ini memang keluarga harmonis, batin Yashica. Kasih sayang di antara mereka sangat terasa. Resmawan Jati berhasil menciptakan keluarga yang sempurna setelah meninggalkan ibunya.
**
Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana udah lama tamat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top