Delapan
AKHIRNYA Sakti berhasil keluar dari antrean panjang tamu yang bersalaman dengan pengantin. Ini adalah jenis resepsi pernikahan yang tidak diinginkannya. Suatu saat nanti, ketika dia menikah, dia tidak akan mengundang setengah penduduk Jakarta seperti yang dilakukan temannya ini. Dia akan menyelenggarakan resepsi sederhana, di mana dia mengenal semua tamu yang datang ke acara itu. Tidak ada orang asing yang tersenyum penuh basa basi.
Sakti bermaksud langsung meninggalkan acara itu ketika dia melihat Petra melambai padanya. Dia mengurungkan niat pulang awal dan segera menuju tempat temannya itu berdiri.
"Alvaro akhirnya sold out juga dan hilang dari pasaran." Petra menyengir lebar. "Satu saingan terberat kita berkurang."
Sakti tertawa mendengar gurauan itu. "Lo masih single bukan karena semua cewek yang ketemu kita langsung melotot lihat Alvaro, tapi karena standar lo terlalu tinggi."
"Standar gue nggak tinggi-tinggi amat," bantah Petra sewot. "Gue hanya pengin pasangan berpenampilan menarik yang enak dilihat, percaya diri, pintar, open minded, bisa berempati, bi—"
"Bisa menyeberang dari Nusa Tenggara ke Australia dengan berenang, bisa membelah diri jadi sembilan, bisa mengeluarkan api dari telapak tangan, dan bisa terbang tanpa sayap," potong Sakti. "Perempuan tipe lo itu lebih gampang ditemuin di dunia anime daripada dunia nyata, bro."
Petra tergelak. "Kayak lo nggak punya standar aja cari pasangan!"
Sakti meringis. "Siapa sih yang nggak punya standar?"
"Ya, semua orang memang punya standar, bro. Standar yang biasanya kita tetapkan sebelum bertemu dengan orang yang bikin kita tertarik dan jatuh cinta. Anehnya, begitu kita ketemu dengan orang itu, standar yang kita agung-agungkan itu malah nggak penting lagi. Kita udah fokus pada orang yang kita cintai, masa bodoh dengan standar." Petra menunjuk pelaminan. "Itu contoh nyatanya. Standarnya cewek feminin, putih, bening, wangi, nggak pernah keringatan, dan full makeup. Seperti golongan artis dan model yang selama ini dia pacarin. Tapi yang akhirnya dia bawa ke pelaminan adalah atlet bulu tangkis yang jauh banget dari standar dia."
Sakti ikut mengamati pelaminan, di mana Alvaro dan Liana, istrinya, semringah menyambut tamu-tamu yang menyalami mereka. Istri Alvaro cantik, tapi seperti kata Petra, dia berbeda dengan semua mantan pacar Alvaro yang berasal dari dunia hiburan. Kulitnya eksotis. Lengannya berotot akibat latihan rutin setiap hari yang dijalaninya. Rambutnya sering kali diikat ekor kuda, tidak dibuat ikal bergelombang. Liana nyaris tidak pernah memakai high heels. Dia percaya diri berjalan-jalan di mal tanpa makeup berlapis-lapis. Layaknya atlet, Liana menjunjung tinggi kepraktisan.
Kepercayaan diri Liana itulah yang membuat Alvaro yang biasanya dikejar-kejar perempuan malah berbalik menjadi pemburu. Sakti ikut menjadi saksi bagaimana Alvaro jatuh bangun menguber Liana yang beberapa kali menolaknya.
"Ya, akhirnya, cinta akan selalu menang," Sakti mengamini pernyataan panjang lebar Petra. "Siapa yang menyangka Varo akan nikah dengan atlet, kan?"
"Kebanyakan atlet memiliki kualitas diri yang bagus," kata Petra. "Mereka terbiasa dengan kemenangan, tetapi lapang dada saat kalah. Kalah dan menang sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Kebanyakan orang mengalami euforia saat sukses, tapi terpuruk saat mendapat cobaan. Atlet berbeda. Mereka lebih santai menghadapi hidup karena sudah terbiasa menghadapi yang terbaik dan terburuk di lapangan. Mereka punya kepercayaan diri yang bagus, karena mereka tidak mungkin masuk lapangan dan bertanding untuk menerima kekalahan tanpa berusaha ketika mendapatkan lawan yang menurut hitungan di atas kertas punya peringkat lebih tinggi. Mereka baru punya masalah dengan kepercayaan diri saat prestasi mereka terus menurun. Gue juga mau punya istri seorang atlet."
"Lo punya kenalan atlet?" tanya Sakti.
Petra menggeleng.
"Atau pasien atlet yang bisa lo prospek?"
"Hei, gue profesional saat berhadapan sama pasien," gerutu Petra. "Nggak mungkinlah gue mau memprospek pasien gue. Gue bisa menolong mereka karena gue melihat masalah dan situasi mereka sebagai psikiater. Keadaannya akan berbeda kalau gue terlibat secara emosi."
"Gue nggak meragukan profesionalitas lo, tapi jodoh siapa yang tahu, kan? Mungkin aja lo nemu jodoh lewat jalur pasien."
"Ada-ada aja lo!" sentak Petra.
Sakti tertawa melihat ekspresi sebal Petra. "Oh ya, ngomong-ngomong soal pasien, kemarin gue ketemu sama pasien lo yang di kantor gue." Sakti mendadak teringat Yashica. "Gue minta dia kembali ke tempat praktik lo, tapi kelihatannya dia nggak tertarik."
"Memang sulit membuat orang yang nggak merasa dirinya punya masalah mental untuk berobat. Tapi sikap lo yang memersuasi dia udah benar kok."
Percakapan itu terpotong oleh kehadiran teman mereka yang lain. Sepertinya Alvaro mengundang semua teman SMA mereka karena dalam sekejap, di sisi mereka muncul beberapa teman semasa remaja, dan percakapan segera berganti dengan topik nostalgia.
Dalam perjalanan pulang, Sakti mampir di restoran langganannya untuk makan malam. Masih ada waktu sekitar satu jam sebelum restoran itu tutup. Dia tidak makan di pesta Alvaro karena sibuk ngobrol dengan teman-teman lama yang baru ditemuinya setelah belasan tahun. Acara tadi jadi semacam ajang reuni tak resmi. Apalagi Sakti tidak pernah ikut acara reuni SMA-nya. Bukan karena tidak mau, tapi jadwalnya tidak pernah cocok. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, Sakti langsung pulang karena suasananya terlalu riuh untuk makan.
Tangan Sakti yang hendak membuka pintu mobil tertahan saat melihat sosok yang baru keluar dari restoran dan sekarang menuju tempat parkir. Apakah dia tidak salah lihat? Perempuan itu sangat mirip dengan Yashica, si office girl. Tapi seorang OG tidak akan menghamburkan uang untuk makan di restoran yang harga steiknya tidak ada yang di bawah satu juta rupiah karena hanya menggunakan daging wagyu A5. Memang ada menu lain yang harganya lebih murah, tapi hitungannya tetap saja jauh lebih mahal dibandingkan dengan restoran kebanyakan.
Ya, dia pasti salah lihat. Sakti yakin. Lampu yang menerangi bagian depan restoran tidak terlalu terang, sengaja dibuat temaram untuk menampilkan kesan romantis. Perempuan itu hanya mirip dengan Yashica. Pasti begitu.
Memang salah. Sakti menertawakan diri sendiri saat melihat perempuan itu membuka dan masuk ke dalam sebuah mobil Pajero Sport dari pintu sopir. Mobil itu pun lantas melaju meninggalkan tempat parkir restoran.
Ini gara-gara membahas Yashica dengan Petra di resepsi Alvaro tadi, gerutu Sakti dalam hati. Tidak mungkin seorang Yashica mengemudikan sebuah mobil Pajero Sport.
**
Akhir pekan adalah saat-saat yang membosankan bagi Yashica. Libur berarti tertahan di apartemen selama dua hari. Dia tidak terbiasa tidak mengerjakan apa-apa. Jauh lebih baik mencuci piring dan gelas karyawan, atau bolak-balik menggandakan dokumen daripada terkurung di apartemen. Di hari kerja, dia baru tiba di apartemen sewaannya setelah malam turun karena mampir makan malam dulu. Biasanya, dia tinggal mandi, membaca buku atau nonton film, lalu tidur. Berputaran waktu di hari kerja dan akhir pekan terasa berbeda jauh. Senin sampai jumat waktu terasa terbang, sedangkan pada hari Sabtu dan minggu, jarum jam terasa enggan bergerak.
Untuk menghindari kebosanan itu, hari ini Yashica jalan-jalan ke mal. Dia berencana membuang waktu di sana dengan nonton film, makan, dan mungkin belanja barang yang tidak akan pernah dipakainya, seperti kata Ikram.
Mal adalah tempat yang rutin dikunjungi Yashica untuk melepas penat. Bukan hanya saat dia tinggal di Jakarta seperti sekarang, tetapi juga ketika dia masih di Surabaya. Yashica memilih mal sebagai tempat hiburan setelah Tante Ilona berpulang. Ketika beliau masih hidup, jalan-jalan berarti berkendara ke Malang menikmati berbagai agrowisata dan hijaunya alam. Tante Ilona sangat suka wisata alam. Saat jiwa eksplorasinya sedang memuncak dan punya beberapa hari libur, Tante Ilona akan memboyong Yahica dan Ikram melakukan petualangan mengelilingi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Bergadang menunggu matahari terbit di tengah suhu yang membekukan, melintasi lautan pasir hitam menggunakan jeep, lalu mengunjungi beberapa air terjun yang ada di Taman Nasional itu.
Setelah Tante Ilona pergi, Yashica mengalihkan tempat liburan dan hiburannya ke mal. Tempat wisata alam mengingatkannya pada Tante Ilona, dan dia tidak suka melakukan hal berbau petualangan itu seorang diri. Tanpa Tante Ilona, tidak ada yang akan menyuruhnya menyiapkan pakaian sesuai kondisi tempat yang mereka datangi. Jaket tebal ketika mereka ke Bromo, atau blus tipis ketika mereka akan menghabiskan waktu di Gili Labak. Tanpa Tante Ilona, tidak ada yang akan menyiapkan camilan yang akan dinikmati sepanjang perjalanan. Tidak ada suara sumbang yang dengan percaya diri menyanyikan lagu-lagu lawas dari Sheila on 7, Padi, dan Dewa 19. Intinya, tanpa Tante Ilona, perjalanan wisata tak akan seru. Karena itulah Yashica berhenti melakukannya.
Lebih mudah menghibur diri di mal. Memang tidak ada sunrise menakjubkan seperti di Ranu Kumbolo, tidak ada air terjun seperti di Coban Sewu, dan tidak ada pulau karang layaknya di pantai Papuma. Tapi mal yang simpel memudahkan semuanya dilakukan seorang diri. Mau makan, tinggal masuk restoran. Mau nonton film, beli tiket dan masuk bioskop. Saat bingung mau ngapain lagi, Yashica akan masuk secara acak dalam toko-toko untuk window shoppingdan kemudian membeli barang yang mungkin akan menjadi penghuni abadi lemari, atau disumbangkan ketika benda-benda itu sudah menumpuk.
Hari ini, Yashica mengakhiri petualangannya di mal setelah menonton dua film yang membuatnya nyaris tertidur di dalam bioskop, memanjakan diri di salon, makan di restoran Korea, dan membeli sepatu lari dan pakaian olahraga yang entah kapan akan dipakainya. Apa yang dilakukannya tidak terlalu penting. Yang perlu diapresiasi adalah dia berhasil menghabiskan hari ini tanpa rasa bosan seperti ketika dia hanya tinggal di apartemen.
**
Punya adik perempuan itu terkadang merepotkan karena dia tidak mengenal penolakan. Adik Perempuan juga jago dalam memaksakan kehendak. Kalau bukan adiknya meminta dibelikan sneakers baru, Sakti lebih memilih berada di gymketimbang masuk mal.
Dia baru akan masuk ke dalam toko Nike sesuai pesanan adiknya ketika mengenali sosok perempuan yang keluar dari situ dengan menenteng dua buah tas belanjaan. Ya, itu Yashica si office girl.
Kali ini Sakti sangat yakin. Dia tidak salah mengenali orang. Cahaya lampu di situ sangat terang. Ekspresi acuh tak acuh Yashica yang sudah familier tidak mungkin tertukar dengan orang lain. Seperti biasa, perempuan itu tampak fokus dengan tujuannya, tidak menoleh ke kanan atau ke kiri. Tenang. Diam. Dingin.
Sakti tidak jadi masuk toko. Rasa penasaran membuatnya membuntuti Yashica. Dia mengambil jarak aman supaya tidak tertangkap basah menguntit. Akan memalukan kalau hal itu sampai terjadi.
Yashica langsung ke pos valet. Sakti mengawasi dari balik dinding kaca dan melihat sebuah mobil Pajero Sport Dakar Ultimate AT 4x4 berwarna hitam kemudian berhenti. Petugas valet menyerahkan kunci mobil kepada Yashica yang kemudian menerimanya. Beberapa detik kemudian, perempuan itu berlalu dengan mengemudikan mobil kokohnya.
Berarti yang dilihatnya dua hari lalu memang benar-benar Yashica. Sakti sepenuhnya yakin. Dia mengumpat dalam hati. Sudah sangat terlambat untuk membuntutinya demi memuaskan rasa penasaran, karena butuh waktu untuk mengambil mobilnya sendiri.
Sekarang pertanyaannya adalah, mengapa seseorang yang bisa seenaknya makan di tempat mahal, bisa membeli barang bermerek, dan mengemudi Pajero Sport bekerja sebagai seorang office girl? Sangat mencurigakan!
**
Update rutin akan balik seperti semula di hari Sabtu atau Minggu ya, gengs. Ini bonus aja karena udah lama nggak update. Dunia nyata beneran hectic. Loopy....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top