Bab 7. Usainya Pekan Pertama
"Apa gunanya menjalankannya jika itu tidak ada manfaatnya? Tradisi? Ha! Konyol. Berhenti terus menyangkut pautkan semua titah kalian dengan hal yang bernama tradisi."
—Vella Wijaya
—| 7 |—
Suasana kelas begitu tenang. Semua murid terlihat fokus dengan materi yang diberikan oleh guru matematika mereka. Terkadang, satu atau dua anak mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan dari sang guru atau bahkan bertanya soal penjelasan yang tidak dimengertinya. Begitulah suasana dari Kelas Sadewa selama sepekan genap ini. Aman, damai, tidak ada kerusuhan. Semua berjalan dengan baik.
Tepat pukul 1 siang lonceng berakhirnya pelajaran berbunyi. Membuat sang guru matematika—bu Yunita—menghentikan pembelajarannya hari itu.
"Tidak terasa waktu telah berakhir," Yunita berujar sambil menutup spidol di tangannya dan mendekati meja guru, "kalau begitu Ibu akhiri pelajaran hari ini. Jangan lupa untuk mencatat apa yang ada di papan ya. Kita akan bertemu pekan depan di hari yang sama,"
"Baik, Bu. Terima kasih," Para murid serempak menjawab sambil tangan mereka masing-masing bergerak mencatat penjelasan Yunita di papan tulis.
"Selamat siang semuanya. Selamat berakhir pekan." Salam Yunita sambil mengalungkan tasnya di pundak kanannya.
"Selamat siang, Bu!"
Usai mendapat balasan serempak dari para muridnya, Yunita pun melangkahkan kakinya menuju pintu kelas dan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Selama beberapa saat, kelas masih hening. Mereka masih sibuk mencatat materi yang ada. Hingga akhirnya—
"Kau mau pulang?" Suara Bintang terdengar dan memecah kesunyian kelas tersebut.
Surya yang mendapatkan pertanyaan dari kembarannya itu membisu sambil tetap menulis materi yang ada di papan. Tapi kemudian ia berhenti. Menatap langit-langit kelasnya dengan kening mengerut, lalu beralih memandang Bintang yang duduk di bangku sebelah kanannya.
"Ke rumah siapa?" tanya si rambut bergelombang.
"Tante Sandra donk," jawab Bintang dengan polos. Yang mana jawaban itu langsung mengundang ekspresi jijik di wajah Surya.
"Kau sedang ngelantur?" komentar Bintang cepat, "kau mau tante Sandra terkena masalah lagi seperti dulu lagi?"
"Jelas tidak,"
"Lalu kenapa malah menyarankan untuk pulang ke rumah Tante, dasar bodoh."
Mengabaikan perdebatan dua kembar yang masih berlanjut, di meja lain tampak ada Amelia yang berbincang riang dengan Adiwira. Membahas hal yang tak jauh berbeda dengan pembahasan Bintang dan Surya.
"Kau ingin berkunjung ke panti?" tanya Adiwira yang lebih terdengar seperti tawaran.
"Boleh kah?" balas Amelia meyakinkan.
Adiwira mengangguk. "Aku yakin Bunda pun pasti juga senang bertemu denganmu lagi," tambahnya.
Binar kebahagian terlahir dari sepasang mata hitam milik si gadis. Bersama senyum lebar yang ikut merekah bersama binar di matanya itu. Terlepas dari atmosfer penuh semangat, ada atmosfer dingin yang bersumber dari bangku di depan Yulia.
'Ah, udah akhir minggu ya,' batin Vella memutar-mutar pena di tangannya. Iris cokelat kekuningannya sesaat melirik ke bangku-bangku di belakangnya. memperhatikan beberapa teman sekelasnya yang membahas soal kepulangan mereka ke kediaman masing-masing. 'Hm ... aku mau ngapain ya ...?'
—| 7 |—
Ia senang.
Meski tingkahnya biasa saja, tapi sorot di mata serta lengkungan tipis yang terukir di bibirnya yang dapat Vella tangkap, membuatnya semakin yakin bahwa Yulia sedang berbahagia. Yah, tanpa menanyakannya pun Vella jelas dapat menebak apa yang membuat gadis berambut biru kehitaman panjang itu bahagia.
Yulia akan pulang ke kediamannya dan bertemu keluarganya.
Yups, sudah jelas pasti karena alasan itu.
Mengabaikan segala kesibukan Yulia, sang gadis berambut cokelat tembaga itu pun memilih untuk kembali fokus dengan kesibukannya membaca sebuah novel bergenre horor supranatural di meja belajar miliknya.
"Kamu ...,"
Namun tiba-tiba, ia menangkap suara lirih Yulia yang jelas ditujukan kepadanya. Membuat Vella mau tak mau melepas fokusnya pada lembaran buku di hadapannya, untuk beralih menatap Yulia yang berdiri di depan kasurnya dengan kedua tangannya yang tampak sibuk memainkan ujung bajunya. Tas yang berisi barang-barangnya tampak telah siap untuk dibawa sang gadis.
Selama beberapa saat, orang yang memanggilnya tak lanjut angkat bicara. Bahkan menatap matanya saja tidak. Membuat Vella heran karena untuk apa sedari awal Yulia memanggilnya jika pada akhirnya sang gadis tidak jadi berbicara. Vella sadar teman satu asramanya ini memang jarang berbicara, yang jika bisa ia simpulkan, ia rasa Yulia terlalu malu untuk mengajak bicara lebih dulu. Bahkan di kelas pun, selalu orang lain yang lebih dulu mengajaknya bicara.
"Kau jadi bicara atau tidak?" Vella akhirnya mempertanyakan.
Mendapat pertanyaan itu, Yulia terlihat tersentak.
"M-maafkan aku," Yulia membalas dengan panik. Tapi ia masih menolak untuk menatap Vella langsung. "Aku ... hanya ingin bertanya ...,"
"Soal?"
"Kamu ... tidak siap-siap?"
Hening seketika. Mata cokelat kekuningannya terbelalak.
"Siap-siap untuk apa?" tanya Vella akhirnya memberi respon.
"Pulang," jawab Yulia lirih.
Oh.
Seketika Vella merasa jiwanya terlepas dari tubuhnya begitu saja. Membuatnya sekali lagi terdiam memikirkan ucapan Yulia.
Pulang ya.
Apa itu dibutuhkan?
"Memangnya itu kewajiban ya?" Setelah terdiam beberapa saat, Vella akhirnya menjawab. Posisi tubuhnya yang semula duduk menghadap samping, kini berubah sepenuhnya menghadap Yulia. "Harus pulang ke rumah waktu akhir pekan, memangnya itu ada aturannya ya?"
"Eh?" Yulia spontan mengangkat kepalanya karena rasa terkejut. Sebelum akhirnya kembali menundukkan kepala. "T-tidak! m-maksudku ...,"
Yulia terhenti.
"Maksudmu?" tanya Vella tak sabar.
Vella mendapati gerakan jemari Yulia yang sedari tadi memainkan ujung bajunya semakin cepat. Sepertinya ia ketakutan. Apa dia tadi terlalu berlebihan menyudutkannya?
"Rumahku terlalu jauh dari sini," Seolah menyadari ia akan mendapat kalimat lanjutan apa, Vella lebih dulu memberikan jawaban. "Aku perlu berganti-ganti transportasi umum dan tidak ada yang bisa menjemputku juga. Jadi ya sudahlah," Ia akhirnya berbalik untuk kembali fokus lagi dengan bacaannya. "Lagipula aku sudah mengatakannya pada orang rumah kalau aku tidak pulang untuk minggu awal ini. Mungkin minggu kedua atau ketiga? Entahlah. Tapi intinya aku sudah bilang ke orang rumah, masalah selesai, titik."
Yulia terlihat ingin membalas, tapi gadis berambut biru kehitaman tersebut kembali menutup mulutnya rapat. Kepalanya perlahan ia tegakkan kembali, matanya menatap punggung kecil Vella yang kini telah menghadapnya lagi. Dan tanpa berkata apa-apa, Yulia beranjak pergi dari tempatnya semula tanpa membawa tasnya. Vella jelas sempat menangkap kepergian Yulia dari kamar asrama mereka. Tapi ia memilih untuk diam saja karena itu memang bukan haknya.
Berselang sekitar 5 menit lebih, pintu asrama terbuka. Menampakkan sosok Yulia yang kembali masuk tepat bersamaan dengan Vella yang menginjak ke bab 5 novelnya dan memilih untuk berhenti sesaat. Vella sempat melirik Yulia ketika gadis itu terlihat berjalan mendekati kasurnya dan membongkar tasnya.
Eh? Membongkar tasnya? Melihat hal tersebut tentu membuat Vella merasa keheranan seketika. Ia hendak mempertanyakan, tapi Yulia telah lebih dulu bersuara.
"Mau ... melipat origami bersama?" tawar Yulia sambil menunjukkan satu kemasan kertas origami yang tampak masih baru.
"Ha?"
—| 7 |—
"Ck."
Satu.
"Ck."
Dua.
"Ck."
Tiga.
Dan itu masih terus berlanjut tiap beberapa detik.
Yulia menyadari, decikan itu bersumber dari gadis berambut cokelat tembaga di hadapannya ini, yang tampaknya sedang dilanda kesulitan membentuk kertas origami sesuai dengan petunjuk yang ada.
"Kamu ...," Bersuara, Yulia memberanikan diri untuk menawarkan bantuan. "... mau aku bantu?"
"Ha?" Vella mengangkat wajahnya. Memandang Yulia yang terlihat malu-malu usai menawarkan bantuan kepadanya. "Tidak perlu. Aku bisa selesaikan ini sendiri."
"O-oh ... B-baiklah." Tak berniat memaksa—atau lebih tepatnya takut—Yulia pun memilih kembali fokus dengan origami miliknya.
Menyadari Yulia yang tak lagi memperhatikannya, Vella diam-diam mencuri pandang ke gadis tersebut. Lalu ganti memperhatikan enam origami yang telah selesai dibuat Yulia. Itu semua rapi dan beraneka bentuk. Burung, kupu-kupu, ikan, dinosaurus, kodok dan rubah.
"Kau suka membuat beginian?" Vella tiba-tiba mempertanyakan rasa penasaran yang dilatarbelakangi oleh perasaan kalah dengan Yulia, yang sudah berhasil menciptakan banyak karya.
"Um ...," Yulia terlihat lebih menunduk. Ia tersenyum malu. Mungkin merasa aneh tiba-tiba mendapat pertanyaan seperti ini, yang ia rasa termasuk dalam kategori personal. "Kurasa ... hanya salah satu hobi ...,"
"Hmm ...," Vella membalas dengan simpel berupa deheman panjang, sebelum akhirnya ia kembali membisu dan lanjut dengan origami keduanya. "Kapan kau dijemput pulang?"
"S-soal itu ... aku ... tidak jadi pulang dan bertemu Papa," beritahu Yulia. Terdengar rasa sedih di balik nada sang gadis.
"Kenapa?"
"Papa ... tiba-tiba punya urusan mendadak dan tidak bisa menjemputku. Jadi—"
"Ibumu? Apa tidak bisa menjemputmu juga?"
Yulia membisu seketika bersamaan dengan gerakan tangannya yang berhenti.
Ups.
"Ah, maaf," Merasa terlalu melewati batas, Vella buru-buru menimpali pertanyaannya tadi. "Itu spontan. Maaf,"
Yulia menggeleng dan tersenyum tipis.
"Tidak apa-apa," balasnya, "aku hanya terkejut saja. Soal Mama ... Mama juga ...," Yulia kembali terhenti. Tak tahu harus melanjutkannya.
"Sudahlah, tak perlu diselesaikan pertanyaanku," ujar Vella paham gadis di hadapannya merasa kesulitan menjawab pertanyaannya. Yah bukan salah Yulia juga, dirinya sendiri lah yang sedikit melewati batas. "Maaf."
Memilih untuk tidak melanjutkan pembicaraan, Vella pun kembali diam untuk fokus dengan apa yang dikerjakannya. Sesekali melirik gadis di hadapannya yang juga fokus dengan kegiatannya sendiri. Tak ada perubahan sorot mata dari yang bisa Vella simpulkan. Tapi ...
'Jadi canggung. Hah ... Dasar mulut ember.' Batin Vella.
—| 7 |—
Pekan libur Vella hanya diisi dengan kegiatan yang tidak spesial. Ingin berbincang-bincang akrab dengan para guru di kantin pun tak bisa, karena kantin tutup. Dan satpam sekolah juga tak ada.
Ia tak tahu bagaimana sekolah ini bisa tetap aman walau tak ada penjaganya di akhir pekan.
Sedangkan Yulia, gadis itu benar-benar tak pulang ke rumahnya. Ia hanya membaca buku di kamar asramanya atau terkadang pergi keluar—Vella tak tahu kemana—cukup lama. Usai pembicaraan mereka saat membuat origami, atmosfernya tidak ada yang berubah Vella rasa. Kecuali Yulia yang kini terlihat lebih kesulitan untuk berani mengajak Vella berbincang.
Di hari Minggu siang, para murid Sekolah Garda mulai kembali berdatangan usai libur pekan mereka bersama keluarga ataupun kerabat masing-masing. Lorong asrama mulai kembali ramai, dan Vella pun kembali bertemu dengan si biang rusuh Kelas Sadewa ketika dirinya sedang bersantai menikmati sore di taman sekolah. Siapakah biang rusuh itu? Tidak lain tidak bukan adalah Bintang Angkasa.
Lalu tanpa terasa, hari Senin pun telah datang kembali.
"Selamat pagi, anak muridku!" Sanusi menyapa dengan penuh semangat membara di Senin pagi. "Bagaimana pekan kalian? Bapak harap kalian menikmatinya ya!
Baiklah, hari ini akan jadi hari bersejarah yang takkan pernah kalian lupakan dalam hidup kalian kedepannya. Kecuali Yogi dan Yulia,"
Para pemilik nama yang disebutkan Sanusi terlihat mengerjap. Terkejut tiba-tiba mereka disebut begitu saja.
'Jangan-jangan ....' Batin Vella seperti memiliki firasat soal apa yang dibahas guru sekaligus wali kelasnya itu.
"Hari ini, kalian akan berkenalan dengan beberapa penghuni Dunia Bawah dan berteman dengan mereka." Lanjut Sanusi tersenyum bangga, "secara langsung."
—| 7 |—
[Pengenalan singkat karakter]
1.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top