Bab 2. Para Penghuni Kelas Sadewa
“Aku sempat merasa ingin mundur. Tapi aku ingat untuk apa aku memilih jalan ini. Papa ... tunggu Amel sebentar lagi ya.”
— Amelia Handayani
—| 2 |—
Upacara telah usai, dan Ketua OSIS pun langsung memberi arahan bahwa para murid diminta untuk menuju kelas mereka masing-masing setelah ini.
Di dekat pintu gedung serba guna, seorang gadis berambut panjang hitam yang diikat dua rendah, terlihat baru saja keluar dari bangunan tersebut sambil memperhatikan ponselnya. Langkahnya lamban, karena ia berjalan tanpa memperhatikan apa yang ada di depannya.
"Eum ... Aku ... di Kelas Sadewa ya," ujarnya kemudian. Mengangkat kepalanya untuk menatap ke jalan di depannya. Tapi tiba-tiba, seseorang menyenggol bahunya dari belakang.
"Oh, ma-maafkan aku," ujar si penabrak buru-buru meminta maaf. Dari suaranya itu terdengar seperti laki-laki.
"Tidak apa," Gadis itu menyahut. Menoleh untuk melihat ke arah orang yang meminta maaf. "Aku juga yang salah karena—eh?" Seketika, ia terbelalak.
Surai cokelat pasir yang dibelah pinggir itu, dirinya tak mungkin melupakannya. Mata hitam senada dengan warna arang tersebut, kini terlihat memandang dirinya dengan terbelalak juga.
"A-Adi ... wira ...?" sebut si gadis tak bisa berkata-kata. Antara percaya dan tidak dengan sosok yang ada di hadapannya.
"Amelia ...?" sahut Adiwira ikut memasang wajah yang sama dengan sang gadis.
"Adi!" Dan tiba-tiba gadis itu—Amelia—memekik sambil menerjang tubuh Adiwira untuk memberikan sebuah pelukan. "Lama tidak bertemu! Senang melihatmu lagi!!"
"A ... A ...," Dengan terbata-bata—pelukan Amelia benar-benar kuat—Adiwira nampak mencoba menjawab, "a ... aku juga ... senang ... L-Lia ...,"
"Kau kelihatan sehat ya! Bagaimana kabar bunda Marissa?" tanya Amelia lagi, lebih mendekap erat tubuh Adiwira. Sehingga membuat si pemuda tak punya pilihan untuk menyerah.
"L-Lia ...," Ia menepuk punggung sang gadis beberapa kali dengan pelan, "g-give ... up ... aku tidak bisa ... bernapas ...."
Mendengar itu, Amelia buru-buru melepaskan Adiwira dari pelukannya.
"M-maafkan aku," ujar Amelia merasa tak enak hati.
Dengan napas tersengal-sengal, Adiwira terlihat memberi acungan jempol kepada gadis berambut hitam berkuncir dua itu.
"Tidak apa," balas Adiwira, "setidaknya kau sudah melepaskanku."
Amelia sejenak membisu. Memandangi Adiwira yang tengah sibuk merapikan seragamnya.
"Kenapa?" tanya Adiwira tersenyum miring menyadari Amelia terus memandanginya.
Dan Amelia tersenyum lebar.
"Bukan apa-apa," tuturnya, "aku hanya senang bisa bertemu orang yang kukenal di sekolah ini."
Ya, pertemuan ini, jelas diluar dugaan. Tak pernah sekalipun Amelia terbayangkan pertemuan ini. Bahkan, pemikiran akan ada hari dimana dirinya bisa bertemu dengan Adiwira lagi usai ia diadopsi, tak pernah sekalipun terpikirkan oleh Amelia.
"Ngomong-ngomong, dimana kelasmu?" Tanya Amelia kemudian.
Adiwira mengerjap. "Oh, aku ada di kelas Sadewa," jawabnya.
Binar tampak terpancar di mata Amelia seketika.
"Kalau begitu, ayo kita kesana bersama!" ajak Amelia merangkul salah satu lengan Adiwira. "Kebetulan aku juga berada di kelas itu!"
"Benarkah? Kalau begitu ayo," Adiwira mengangguk, "aku tidak keberatan. Dan kita bisa mencarinya sambil berbincang-bincang."
Amelia mengangguk-angguk semangat. Jelas merasa tak keberatan, dan sepenuhnya senang akan ajakan berbincang dengan Adiwira.
Maksudnya, siapa yang tidak merasa senang bisa kembali mengobrol dengan seorang teman yang telah berpisah selama 8 tahun lamanya—itu yang diingat Amelia—dan kini, akan menjadi teman satu sekolah sekaligus sekelasnya.
Tentu, Amelia merasa senang sekali.
"Tapi, bukankah nama kelas di sekolah ini unik," ujar Amelia kala keduanya tengah mencari kelas yang mereka tuju, "Sadewa. Tidakkah itu mengingatkanmu akan sesuatu?"
"Jika yang kau maksud adalah kembaran Nakula, ya aku setuju," jawab Adiwira, "Pandawa, 'kan?"
Amelia mengangguk-angguk. "Ya, 'kan? Padahal, umumnya kelas menggunakan huruf atau angka. Tapi di sekolah ini justru memakai nama dari salah satu Pandawa. Tapi, apa yang lainnya juga ada ya? Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula,"
"Mungkin saja begitu,"
"Hee ... Itu keren! Anti-mainstream gitu!"
Mereka terus memperbincangkan berbagai hal. Soal sekolah baru mereka—Sekolah Garda—keadaan anak-anak di panti asuhan Taman Melati, bunda Marissa dan masih banyak lagi. Termasuk soal kondisi khusus Amelia.
"Kenapa bertanya soal itu?" tanya Amelia kala mereka sudah berada di depan ruang Kelas Sadewa usai melewati empat kelas terdahulu. Sejenak keduanya berhenti di depan ambang pintu kelas.
Dan soal kelas, dugaan mereka rupanya benar. Kelas di Sekolah Garda menggunakan nama dari para Pandawa yang dimuat dalam wiracarita Mahabharata.
"Karena ini kau," jawab Adiwira seperti membuat tanda tanya lain. Tapi Amelia langsung paham apa maksudnya.
Amelia tertawa lirih. Entah merasa lucu karena hal lain, atau karena mendengar pembahasan Adiwira.
"Aku sudah baik-baik saja kok," ujar Amelia usai menghentikan tawanya, "jadi kau tidak perlu khawatir." Ia mengedipkan salah satu matanya ke arah Adiwira. Yang justru dibalas si pemuda berambut cokelat pasir itu dengan tatapan mencurigai. "Tapi, jika kau tidak yakin dengan ucapanku, kau bisa kok memastikannya sendiri. Toh, kita juga sekelas. Itu berarti, kita akan bertemu setiap hari."
—| 2 |—
"Selamat pagi, murid-murid!"
Pria tinggi berambut cokelat yang memiliki bahu lebar serta dada bidang, serta memiliki brewok tipis itu menyapa. Tersenyum lebar dari balik meja guru yang ada di depan kelas.
"Saya Sanusi Rajhendra," ujar Sanusi lagi melanjutkan, "kalian bisa memanggil saya pak San, dan saya akan menjadi wali kelas dari Kelas Sadewa ini selama tiga tahun kedepan. Selain itu, saya juga mengajar pelajaran olahraga khusus. Jadi, Bapak harap kalian tidak bosan ya bertemu saya terus." Ia kembali tersenyum ramah. Memandangi para muridnya satu persatu. "Selanjutnya—"
"Pak, maaf," Amelia tiba-tiba mengacungkan tangan. Membuat Sanusi menghentikan ucapannya.
"Ya?" sahut Sanusi.
"Apa maksud kalimat Bapak tentang pelajaran olahraga khusus?"
"Oh tenang saja, Bapak akan jelaskan soal itu, tapi ...," Sanusi mengangkat sebuah buku berukuran kertas A4 hingga sebatas dada dan membukanya. "Bapak akan absen kalian dulu ya!"
"Eh??" Amelia terdengar merengek.
"Sudahlah," ujar Adiwira yang duduk di samping kiri Amelia, "toh ini pasti hanya—"
"Adiwira Tjahyadi?" potong Sanusi mulai mengabsen.
"Hadir, Pak!" Dan Adiwira langsung menyahut cepat. Ia nampak duduk di barisan tengah, nomor 2 dari belakang.
Sanusi tampak memberikan tanda centang di buku, yang memuat absensi kehadiran siswa baru kelas 10 Kelas Sadewa itu. Dan urutan pertama dari kolom tabel tersebut memang Adiwira.
"Berikutnya, Amelia Handayani," lanjut Sanusi.
"Ada, Pak!" jawab Amelia mengangkat tangan kanannya.
"Bintang Angkasa?"
"Hadir, Pak!" Pemuda berambut hitam pendek rapi mengacungkan tangan kanannya. Duduk di barisan tengah. Di samping kirinya, nampak sosok seiras yang memiliki gaya rambut dan warna berbeda. Tapi, perbedaan warna itu hanya nampak tipis.
"Diof Pratama?"
"Saya, Pak!" Kini, laki-laki berambut merah—yang jelas bukan warna rambut tak biasa—duduk di kursi paling depan tepat di depan meja guru, ganti mengangkat tangan. Manik emerald-nya memancarkan rasa semangat.
"Joshua Lekatompessy?"
"Ya, Pak." Pemuda berkulit gelap, serta berambut cokelat agak panjang segera membalas. Ia terlihat duduk di barisan tengah paling belakang. Tepat di belakang Adiwira.
Dan Adiwira ingat, saat upacara tadi ia duduk di samping pemuda itu—Joshua.
Usai Joshua menjawab panggilan Sanusi, pria itu tak langsung menyebutkan nama murid absen selanjutnya. Selama beberapa saat, ia tampak memandangi Joshua yang disadari pemuda itu. Dan hanya dibalasnya dengan tatapan heran.
Menyadari tatapan yang dilukiskan Joshua, Sanusi tersenyum ramah. Lalu kembali ia membaca buku absensi di tangannya.
"Sherly Valentia?" sebut Sanusi.
Gadis berambut perak sebokong mengacungkan tangannya. Ia duduk di barisan paling depan sebelah kiri, tepat di samping jendela.
"Saya, Pak," ujar Sherly.
Sanusi terdiam. Memperhatikan gadis dengan penampilan yang tak umum untuk anak muda Asia—rambutnya berwarna perak, iris matanya biru laut. Oh, Diof juga memiliki warna rambut yang tak biasa.
"Kamu—"
"Maaf, Pak," potong Sherly menyela cepat, "tapi warna rambut saya ini alami,"
Sanusi mengerjap. Bingung dengan ucapan Sherly.
Sebelum akhirnya, pria dengan brewok tipis itu tertawa pelan.
"Tidak, tidak. Saya tidak mempermasalahkan hal itu, Sherly," ujar Sanusi tersenyum tipis, "jika soal rambut, ada yang lebih tidak biasa dari kamu. Yang ingin Bapak bahas adalah tangan kamu,"
Sherly otomatis memandang kedua tangannya. Dan itu berwarna hitam karena dibungkus oleh sarung tangan.
"Apakah tidak boleh memakai ini di lingkungan sekolah?" tanya Sherly kemudian. "Saya ... tidak mau tangan saya terkena bakteri ataupun kuman yang menempel di benda asing di sekitar saya,"
Kelas seketika hening. Semua nampak terbelalak dan menatap ke arah Sherly. Jelas mereka semua tak mengira akan mendengar kalimat semacam itu, dari segala kalimat yang bisa mereka bayangkan.
"Selama itu tidak menggangu aktivitasmu, Bapak tidak akan mempermasalahkan," ujar Sanusi akhirnya, "dan Bapak yakin, pihak sekolah pun juga takkan keberatan selama itu tidak berlebihan.
Baik, Bapak lanjutkan absennya. Selanjutnya, Surya Angkasa?"
Pemuda seiras yang duduk di samping kiri Bintang mengangkat tangan. Berbeda dengan Bintang yang terlihat energik, sosok Surya Angkasa ini justru sebaliknya. Malas, tidak bersemangat.
"Kalian kembar ya," ujar Sanusi menunjuk Bintang dan Surya bergantian.
"Ya, Pak!" Bintang menjawab sebagai perwakilan, "tolong jangan keliru memanggil kami nantinya ya!"
Sanusi tertawa lirih. "Menarik sekali," komentarnya, "Bapak jadi tidak sabar melihat sejauh mana kehebatan sepasang kembar Kelas Sadewa ini. Oke, berikutnya ... Vella Wijaya?"
"Hadir, Pak," Sesosok gadis pendek berambut cokelat tembaga kini ganti mengangkat tangan. Dan Adiwira ingat sempat bertemu dengannya saat upacara tadi.
Yang mengajaknya bicara.
"Yogi Kusumajaya?" lanjut Sanusi lagi.
'Tunggu. Kusumajaya yang itu kah?' batin Sanusi sekilas.
"Ya~," Seorang pemuda berkacamata dengan rambut hitam sedikit keungungan, ganti mengacungkan tangan. Ia duduk di barisan belakang pojok, di samping kiri Adiwira. Iris biru gelapnya memancarkan sesuatu yang tersembunyi.
'Oh, jadi anak ini ya.' Batin Sanusi lagi sembari menandai kolom kehadiran milik Yogi.
"Oke terakhir, Yulia Bunaraja?"
"H-hadir, Pak."
Murid terakhir akhirnya disebutkan. Sesosok gadis dengan rambut sebahu lurus berwarna biru gelap. Senada dengan warna matanya. Nada bicaranya terdengar pelan. Dan ia duduk di depan Amelia.
'Oh, satu lagi anak yang menarik,' batin Sanusi menyembunyikan senyumnya, 'dan siapa yang mengira, anak Kelas Sadewa akan unik-unik tahun ini.'
"Baik, semua sudah hadir," ucap Sanusi menutup buku absennya, "dan seperti yang Bapak katakan sebelumnya, Bapak akan jelaskan materi apa saja yang akan kalian pelajari kedepannya."
Sanusi meletakkan buku di tangannya dan ganti meraih sebuah spidol hitam. Membuka tutupnya, lalu menuliskan sesuatu di papan tulis.
"Amelia," panggil Sanusi, yang sukses membuat si pemilik nama terperanjat.
"Ya, Pak?" balas si gadis berkuncir dua.
"Sebelumnya kamu bertanya apa maksud dari olahraga khusus, 'kan?" tanya Sanusi masih menulis sesuatu di papan tulis.
"I-iya, Pak. Apa maksudnya ekstrakurikuler?"
"Tidak," Sanusi akhirnya berbalik menghadap murid-muridnya. Menutup spidol di tangannya, dan menggunakannya sebagai tongkat penunjuk. "Olahraga khusus adalah olahraga yang mempelajari teknik bertarung,"
Kelas terasa hening.
"Di Sekolah Garda, jelas kalian akan mempelajari hal yang tidak ada di sekolah pada umumnya," sambung Sanusi lagi, "disini, selama tiga tahun kedepan, kalian akan mempelajari dua materi utama yaitu materi umum dan materi khusus.
Materi umum melingkupi pengetahuan umum yang biasa akan kalian pelajari andai bersekolah di sekolah biasa," Sanusi kembali menulis. Namun kini, ia menulis sambil bersuara. "Matematika, IPS, IPA, ilmu teknologi, ilmu kewarganegaraan, pendidikan jasmani, keagamaan. Inilah materi umum yang akan kalian pelajari,"
Sanusi selesai menulis. Lalu melingkari 7 baris tulisan yang barusan ia tulis.
"Sedangkan materi khusus adalah, pengetahuan supranatural," ujar Sanusi lagi, "pengetahuan supranatural ini melingkupi: pengetahuan dasar Loro Jagad, tentang Dedemit serta Rukh, mantra Dungo, dan teknik bertarung atau olahraga khusus yang tadi Bapak sebutkan. Itu lah yang perlu kalian ketahui untuk saat ini."
Keheningan kembali terbangun. Seluruh murid membisu dengan segala pemikiran mereka masing-masing.
"Jadi, bagaimana? Setelah kalian tahu apa yang akan kalian pelajari kedepannya nanti, apakah ada di antara kalian berniat untuk mundur?" tanya Sanusi kemudian. Menawarkan. "Masih belum terlambat untuk itu!"
Amelia sedikit tertunduk. Menatap jemari tangannya yang tanpa sadar saling terjalin satu sama lain. Ia memejamkan mata setelahnya, untuk kembali meyakinkan dirinya lagi akan pilihan yang telah ditetapkannya. Dan akhirnya, Amelia tampak mengangkat kepalanya kemudian. Sorot dari iris biru gelap itu penuh akan tekad.
"Oh? Tidak ada yang berniat mengundurkan diri?" tanya Sanusi menarik kesimpulan. Dan setelahnya, sang pria tampak mengukir senyum. "Kalau begitu, saya ucapkan selamat datang di Sekolah Garda. Persiapkan lah diri kalian untuk hal yang takkan pernah kalian bayangkan sebelumnya."
—| 2 |—
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top