Bab 1. Selamat Datang di Sekolah Garda! Silahkan Pahami Sekolah Barumu!
“Aku tidak ingin berpisah dengan Bunda. Karena hanya beliau yang sungguh-sungguh memperhatikanku.”
— Adiwira Tjahyadi
—| 1 |—
“Adi?”
Adiwira mengalihkan fokusnya dari dasinya yang baru setengah terikat di kerah seragamnya. Dari depan cermin lemarinya, ia menatap pantulan dari sesosok wanita dewasa berkulit putih, berambut hitam ikal sepunggung yang berdiri di ambang pintu kamarnya, tepat di belakang punggungnya. Tubuh kecil dan pendeknya, terbalut oleh dress panjang berwarna biru tua polos.
"Pagi, Bunda," Adiwira menyapa. Sesaat tetap memunggungi beliau untuk lanjut memakai dasinya. Tapi—
Ia tak tahu bagaimana melipatnya.
Keningnya mengerut. Bibirnya tanpa sadar cemberut karena rasa bingung di kepalanya, serta kekesalan di benaknya.
"Butuh bantuan, sayang?" Wanita yang dipanggil Bunda itu menawarkan. Senyum hangat terpatri di bibir merah mudanya.
"Um ...," Adiwira menggaruk salah satu sisi kepalanya. Walau jelas, bagian itu sama sekali tidak terasa gatal. "Tolong."
Bunda tertawa kecil dan melangkah mendekati Adiwira yang kini sudah berbalik menghadapnya penuh.
Wanita di hadapannya ini adalah Marissa. Pemilik sekaligus salah satu pengasuh panti asuhan Taman Melati, tempat Adiwira tinggal saat ini. Bagi Adiwira, beliau adalah sosok yang begitu lembut nan ramah. Tapi disisi lain, Marissa juga begitu tegas terhadap anak-anaknya di panti asuhan.
Semua anak di panti asuhan itu sangat menyayangi beliau selayaknya orangtua sesungguhnya. Dan Adiwira pun juga demikian.
"Oke, sudah rapi!" Marissa menurunkan tangannya dari dasi hitam yang melilit rapi kerah seragam Adiwira. Memandangnya sesaat, lalu sedikit merapikan seragam putih yang dikenakan si pemuda. "Kamu harus belajar memakai dasi sendiri kedepannya ya, Adi,"
Adiwira tersenyum kecil.
"Iya Bunda," jawab pemuda itu sambil mengenakan rompi cokelat seragam sekolahnya. "Aku nanti akan belajar."
"Tentu saja harus!" Marissa mengacungkan telunjuknya tepat di depan wajah Adiwira. Sempat membuat laki-laki tinggi itu agak tersentak. "Karena tidak mungkin Bunda bisa membantu kamu memakaikannya setelah ini."
Ya benar. Karena mulai hari ini hingga tiga tahun kedepan, Adiwira akan bersekolah di sekolah asrama. Ia hanya diizinkan pulang ke rumahnya saat akhir pekan, hari libur besar, serta libur semester.
Adiwira tidak bisa lagi bertemu Marissa setiap hari seperti sebelum-sebelumnya.
Dan bohong jika Adiwira tidak merasa berat harus meninggalkan beliau karena —
Pemuda itu tersentak tiba-tiba.
Sepasang lengan hangat, putih nan lembut, melingkari lehernya penuh. Menarik tubuh atasnya agar sedikit turun membungkuk.
"B-Bunda?" Panggil Adiwira bingung kala Marissa memeluknya tanpa diduga.
"Bunda akan sangat merindukanmu, Adi," ujar Marissa dengan nada yang selembut sutra, "selalu jaga kesehatanmu ya, sayang. Jangan memaksakan diri. Bunda akan selalu menunggu kepulanganmu di sini."
Sial. Ini terlalu berlebihan.
Dan Adiwira tak bisa merasa tidak sangat bersyukur dengan ini semua.
—| 1 |—
Sekolah Garda itu sekolah swasta tingkat SMA atau SMK di kota Tengbaru yang berbeda dari sekolah pada umumnya. Kenapa? Karena mereka mengajarkan para muridnya bagaimana menjadi seorang ahli supranatural. Bukan hanya sekedar, mengajarkan soal ilmu pengetahuan.
Tapi bukan berarti sekolah itu mengarahkan muridnya untuk menjadi tukang santet handal. Walau faktanya, dekat bahkan berhubungan dengan dunia supranatural adalah hal lumrah di provinsi Jawarta. Namun sekali lagi, Sekolah Garda berdiri bukan untuk melahirkan 'orang pintar'. Ada tujuan tersendiri yang takkan dipahami oleh orang-orang berpikiran pendek.
Oleh orang-orang yang tak percaya bahwa Maha Gusti menciptakan dua dunia di semesta ini.
Di Sekolah Garda, bangunan atau infrastrukturnya tidak jauh berbeda bentuknya dari sekolah SMA/SMK biasa. Yang bagi Adiwira, itu cukup mengejutkannya.
Saat pertama kali melihat sekolah itu, pemuda itu berpikir akan melihat sekolah yang mirip seperti di film Harry Potter. Termasuk para guru-gurunya yang—mungkin—memakai baju penyihir serba hitam dan, memakai topi kerucut. Namun ternyata, bayangan itu sama sekali tidak nampak di Sekolah Garda. Sekolah tersebut, benar-benar murni seperti sekolah pada umumnya.
'Kurasa jalan pikiranku yang terlalu dangkal.' Adiwira membatin dari tempat ia duduk di sebuah gedung serba guna milik Sekolah Garda. Seorang diri, tanpa seseorang yang ia kenal dari SMP yang sama.
Di hari pertama sekolah, para murid baru diminta berkumpul di gedung serba guna pukul 9 tepat untuk mengikuti upacara pembukaan masa orientasi siswa. Namun, meski sudah dikatakan demikian, masih banyak murid baru yang baru tiba setelah pukul 9. Dan tentu saja, Adiwira bukan salah satunya.
Gedung serba guna yang dimiliki Sekolah Garda tergolong cukup luas, dan hanya memiliki satu lantai. Di seberang pintu masuk utama yang berada di sisi tengah bangunan berbentuk persegi panjang itu, sebuah podium didirikan di sana. Selain itu, gedung serba guna tersebut tampaknya biasa dialih fungsikan menjadi lapangan indoor. Terlihat dari lantainya yang bukan dari keramik, serta memiliki garis lapangan yang membentuk beberapa lapangan.
'Kapan acaranya dimulai?' batin Adiwira menggerutu, sambil melirik bangku sebelah kirinya yang kosong. Sedangkan di sisi kanannya, telah ditempati oleh seorang pemuda berkulit gelap. Rambut cokelat gelap yang melebihi tengkuk lehernya, terlihat diikat dengan karet gelang hitam.
Tunggu. Memangnya boleh murid laki-lakinya memiliki rambut melebihi tengkuk leher begitu?
"Hei,"
Adiwira mengerjap, lalu menoleh ke sisi kirinya yang kosong. Dan kali ini, ia mendapati seorang gadis dengan tinggi ideal perempuan-—tapi Adiwira yakin tak sampai 160cm tingginya—dengan tahi lalat di bibir kiri bawahnya. Rambut panjang berujung ikal berwarna cokelat tembaga itu, diikat rendah kesamping. Seolah, gadis itu mengikat rambutnya tadi pagi dengan setengah hati.
"Ya?" Adiwira menyahut dengan simpel.
"Apa kursinya sudah ditempati orang?" Gadis asing itu menunjuk kursi kosong di samping kiri Adiwira. Mata cokelat kekuningannya menyorotkan kepolosan.
"Tidak, itu kosong," Adiwira menggeleng, "kau boleh menempatinya jika mau."
Tanpa membalas ucapan Adiwira, gadis itu pun langsung menduduki kursi tersebut.
"Kau anak kelas mana?" tanya si gadis setelah dirinya duduk di samping kiri Adiwira.
Pemuda itu mencoba mengingat. Saat ia mendapat email lolos seleksi ujian masuk, dirinya ingat ada pemberitahuan kelasnya juga. Dan itu di —
"Aku kelas Sa—"
Namun, belum selesai Adiwira berucap, sebuah suara memotong dari arah podium.
"Kepada seluruh murid baru Sekolah Garda, diharapkan untuk segera duduk di tempat yang telah disediakan," ujar seorang gadis berkacamata memberi pengumuman dari atas podium, "upacara pembukaan masa orientasi siswa Sekolah Garda akan segera dimulai."
—| 1 |—
Sejujurnya, Adiwira bukanlah orang yang betah mendengarkan sambutan panjang ini itu. Dari satu orang, ganti ke orang lain. Dan andai jika dirinya boleh memilih, ia jelas ingin melewatkan upacara ini. Karena Adiwira yakin, hari pertama pasti hanya berisikan hal-hal yang menjenuhkan.
"Selanjutnya, sambutan sekaligus pembukaan resmi masa orientasi siswa Sekolah Garda tahun ke-6 oleh kepala sekolah Sekolah Garda, ibu Melati Nusabima." Sang pembawa acara—yang merupakan ketua OSIS—melanjutkan sesi acara berikutnya. Dan setelah Ketua OSIS itu turun dari podium, sesosok wanita paruh baya pendek dengan rambut cokelat pasir sebokong, ganti menaiki podium. Tubuh kecil nan langsingnya, terbungkus oleh seragam pekerja kantoran berwarna cokelat.
Dibelakangnya, seorang pria tinggi dengan tubuh cukup kekar dan dada bidang yang terbungkus oleh kemeja hitam polos berlengan pendek, berdiri seperti seorang bodyguard.
"Selamat pagi anak-anak. Perkenalkan, saya Melati Nusabima." Melati memulai sambutan. Menyapa para murid barunya dengan nada ramah dan senyum tulus.
Ditengah sambutan dari sang Kepala Sekolah, Adiwira bisa menangkap beberapa bisikan yang menyatakan bahwa beliau—ibu Melati—adalah sesosok ahli supranatural yang hebat pada masanya, serta merupakan murid dari salah satu Dukhun Pandawa.
'Sehebat itukah beliau? Dan apa itu dukun Pandawa?' pikir Adiwira menatap ke arah podium. Memperhatikan wanita paruh baya pendek itu. Yang warna rambut serta matanya, mengingatkan Adiwira dengan dirinya sendiri. 'Mari cari tahu.'
Adiwira memasukkan tangannya ke saku celananya. Meraih ponselnya, lalu membuka google. Mengetikkan nama dari kepala sekolahnya di kolom pencarian.
Namun, baru saja ponselnya selesai mengakses informasi yang diinginkan Adiwira, seseorang meraih ponselnya dari balik punggungnya. Refleks ia berbalik ingin memprotes, tapi langsung mengurungkan niatnya ketika berhadapan dengan seorang wanita tinggi berambut hitam pendek sebatas telinga dan, bermata sipit. Kulitnya sendiri begitu putih.
Tanpa berkata apapun, wanita itu menunjuk ponsel Adiwira yang dibawanya. Menggeleng pelan sambil menggerakkan telunjuknya. Dan Adiwira tahu apa maksudnya itu.
Dilarang mengoperasikan ponsel.
Singkat padat dan jelas.
—| 1 |—
Setelah rangkaian acara berjalan, akhirnya upacara pembukaan berakhir bersama masa orientasi siswa yang resmi dimulai. Para murid baru mulai berhamburan keluar menuju kelas masing-masing, sesuai arahan yang diberikan sebelumnya. Tapi Adiwira masih memiliki satu hal yang harus dituntaskan.
Saat ia melihat gedung serba guna tersebut mulai sepi, Adiwira pun bisa lebih leluasa mencari orang itu. Wanita sipit yang tadi menyita ponselnya ditengah acara.
Dan karena cukup mencoloknya penampilan wanita itu, Adiwira tak memerlukan waktu banyak untuk menemukannya. Beliau ada di barisan para guru di samping kiri bawah podium. Berbincang riang dengan guru-guru lain termasuk ibu Melati.
Adiwira memberanikan diri untuk mendekati barisan tersebut. Lalu—
"Permisi," Adiwira berucap sopan. Dan itu berhasil menarik perhatian para guru yang ada di hadapannya. Termasuk guru sipit itu.
"Oh!" Sang wanita teringat. Berbalik memunggungi rekannya, dan mendekati Adiwira. "Kamu yang tadi, 'kan,"
Adiwira mengangguk. Dan kegelisahan mulai merayapi dirinya.
"Kamu mau mengambil ponselmu ya," tebak si Ibu Guru. Yang itu langsung membuat Adiwira membelalak.
"T-tidak boleh ya, Bu?" Tanya Adiwira spontan dan wajah memelas.
Bu guru itu menggeleng. Memasukan tangannya ke saku celana katunnya dan, menyerahkan ponsel si pemuda ke pemilik aslinya.
"Ibu hanya berniat menyimpannya selama upacara ini saja," beritahu wanita itu, "jadi, kamu boleh memilikinya lagi."
Adiwira merasa ragu pada awalnya. Tapi, ketika guru tersebut seolah memaksanya untuk segera mengambil ponselnya, Adiwira pun mengangkat tangannya pelan. Meraihnya, namun seketika gagal karena guru sipit itu menarik kembali tangannya yang membawa ponsel.
"Peraturan umum Sekolah Garda ayat 3," ujar guru itu tiba-tiba, "setiap murid diizinkan membawa ponsel atau gawai. Dengan syarat, para murid hanya mengoperasikannya saat memang diizinkan oleh pihak guru, saat waktu istirahat dan usai jam sekolah berakhir."
Adiwira mengerjap. Memproses maksud ucapan guru perempuan di hadapannya. Hingga—
"B-baik," ujar Adiwira akhirnya paham, "saya akan membaca ulang aturannya dan melaksanakannya."
Guru itu tersenyum ramah. Lalu akhirnya menyerahkan kembali—benar-benar dikembalikannya—ponsel milik Adiwira.
Aturan umum ya.
Benar-benar seperti sekolah SMA biasa.
—| 1 |—
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top