Gara-Gara Cinta Belum Kelar || 20
Asya memutuskan sambungan teleponnya dengan Bima, pengacara yang mewakilinya dalam sidang perceraian. Ia kini telah resmi berstatus janda, rumah tangganya telah hancur.
Ia menarik napas panjang, kemudian membuangnya secara perlahan. Dadanya terasa benar-benar sesak, mengingat harus benar-benar melepaskan Raka dari hidupnya. Meski telah menyiapkan diri dan mental untuk hari ini, nyatanya Asya tak mampu menangani rasa sakit akan kehilangan itu.
"Sya, ...."
"Semuanya benar-benar berakhir, Arka," ucap Asya yang tak mampu menahan air mata hingga terisak di dada laki-laki tersebut.
Arka tak berkata apa-apa, memilih mengusap-usap punggung Asya yang bergetar. Perasaannya campur aduk. Ia cukup lega karena pada akhirnya Asya benar-benar akan kembali menjadi miliknya, tetapi dibandingkan rasa bahagia tersebut, Arka merasa bersalah.
Air mata Asya yang jatuh membuat perasaannya semakin menjadi-jadi. Perempuan tersebut benar terlihat terpukul, seakan-akan tak pernah menginginkan perpisahan ini. Hal itu membuat Arka pada akhirnya mengingat kembali pada kembarannya. Bila Asya saja sehancur ini, bagaimana dengan laki-laki itu?
Adiknya mungkin berkata ikhlas melepaskan, juga tak memperjuangkan untuk tetap bersama Asya. Namun, ia tahu jelas betapa Raka sangat mencintai Asya. Raka tentu tidak akan memberikan dan mengorbankan banyak hal bila Asya sama sekali tidak berarti.
Sampai sekarang Raka bahkan masih memantau, memperhatikan keadaan mereka. Lewat Roni, si pemilik kontrakan yang kerap kali ia dapati sedang berbincang dengan Tian melalui sambungan HP. Tentu Tian tahu bila rajinnya Tian menghubungi Roni guna menanyakan keadaan mereka, pasti ada campur tangan dari Raka. Sebab, Tian tidak akan sepeduli itu terhadapnya dan Asya.
"Ini yang terbaik untuk semuanya, Sya," kata Arka yang masih terus mengusap-usap punggung kecil perempuan itu. "Dia juga tidak akan semakin terluka."
Asya tak berkata apa-apa lagi, hanya isak tangisnya yang semakin memilukan. Sungguh menyakitkan dan menyesakkan, entah mengapa sekarang ia menjadi tidak rela untuk kehilangan Raka. Selama beberapa bulan terakhir ia pun merasakan kerinduan yang teramat dalam dengan laki-laki baik itu.
Asya merindukan suaranya, tatapannya, juga sentuhannya. Meski ada Arka yang selalu membuatnya nyaman, tetapi Asya tetap merasa ada yang kurang. Andaikan bisa, ingin rasa Asya tetap memiliki Raka di hidupnya.
Namun, Asya tentu tidak dapat seegois itu. Sudah cukup segala kesalahan yang telah ia lakukan hingga kini. Sekarang, ia hanya ingin memperbaiki semuanya. Kembali memulai dari awal bersama Arka, demi Raska.
Mereka yang kini telah menetap di Batam tentu harus secepatnya menikah. Keduanya tentu membutuhkan berkas yang sah untuk membuat berbagi dokumen, terlebih Raska akan segera memasuki sekolah dasar.
Arka telah memiliki rencana untuk segera mengurus pernikahan mereka, setelah lepas masa idah. Asya tak dapat menolak rencana tersebut. Lebih cepat, lebih baik untuk memperbaiki semuanya.
Pelan-pelan, ia dan Arka pun mulai menata hidupnya. Tak terasa sudah hampir lima bulan berlalu semenjak sidang perceraiannya dengan Raka. Arka telah mendaftar pernikahan mereka di KUA setempat, dan pernikahan mereka akan dilaksanakan minggu depan.
Bukan pesta pernikahan mewah yang keduanya rencanakan, hanya prosesi ijab kabul yang itu pun dilakukan di kantor KUA setempat. Tidak akan ada pula orang yang keduanya untuk datang. Mereka terlalu malu untuk disaksikan dengan orang-orang yang mereka kenal.
Namun, menjelang hari pernikahan, entah mengapa Arka merasa tak nyaman. Kerap kali ia benar-benar merasa menyesali segalanya dan merasa bersalah terhadap adiknya. Ia pun tak jarang merasa ingin untuk segera bertemu Raka. Rasanya, ada banyak hal yang ingin dikatakan secara langsung.
Ia pun kembali mengambil ponselnya, dan segera menghubungi sang adik. Akan tetapi, hingga panggilan berakhir hanya ada suara wanita operator yang menjawab. Arka berdesah, sudah cukup lama Raka mengabaikannya seperti ini. Panggilan dan pesannya tak pernah mendapat jawaban selama tiga bulan terakhir. Raka padahal masih sering menghubunginya, seminggu setelah sidang perceraian. Arka tak tahu mengapa, tetapi akhir-akhir ini ia tidak pernah memikirkan saudaranya itu.
"Arka, kamu kenapa?"
Arka sontak menoleh, menatap Asya yang kini duduk di sampingnya. "Nggak apa-apa, Sya," ucapnya.
Asya mengangguk menanggapi Arka, meski tak sepenuhnya percaya. Raut wajah Arka yang terlihat begitu tertekan cukup membuatnya paham. Ia tidak ingin bertanya lebih lanjut hanya untuk mencari jawaban. Sebab, ia tahu bila itu penting untuknya, Arka pasti akan bercerita.
"Sya, ...."Arka akhirnya membuka topik percakapan setelah hanya diam beberapa saat. "Apa Raka tidak pernah menghubungimu lagi?"
Sesungguhnya, ia ragu untuk menanyakan hal itu, takut akan merembet ke mana-mana dan akan menjadi pemicu masalah yang tak diinginkan. Namun, kekhawatiran dan rasa penasarannya terhadap sang adik membuatnya tak dapat menahan diri.
"Terakhir dia chat aku sehari sebelum sidang cerai kami. Itu pun hanya satu pesan. Aku tidak membalasnya sama sekali," jawab Asya dengan pelan.
Ia cukup terkejut dengan pertanyaan Arka. Selama ini laki-laki itu tak pernah menanyakan apa pun tentang Raka, seakan-akan tak ingin tahu akan laki-laki itu semenjak tiba di sini. Lalu mengapa tiba-tiba Arka menanyakannya? Apakah sekarang Arka meragukannya?
"Dia nggak bisa dihubungi lagi, Sya. Dia nggak pernah ngirim chat lagi, bahkan dia mengabaikan telponku."
Pernyataan Arka cukup mengejutkan Asya, pikirnya selama ini saudara kembar itu telah putus kontak. Ia pikir Arka tidak ingin lagi peduli, dan ingin hidup tanpa bayang-bayang Raka lagi, tetapi kenyataan sebaliknya. Asya bahkan sampai tak berani membalas pesan-pesan dari Raka karena takut Arka mendapatinya dan menjadi salah paham.
"Kalian masih sering berhubungan?" Asya bertanya, tatapan tak lepas dari Arka yang tampak frustasi. Sungguh, ia benar-benar akan merasa kecewa bila ternyata Arka ternyata menutupi hal itu.
"Dia selalu chat aku, Sya. Nanyain kabar kita, Sya. Dia nanyain bagaimana keadaan Raska, apa kita semua baik-baik saja, bagaimana kehidupan yang kita jalani sekarang dan masih banyak lagi."
Arka semakin menunduk, entah mengapa rasanya semakin sesak. Air matanya bahkan sampai sulit untuk ia tahan. "Tapi, tak sekali pun aku membalasnya, Sya. Semua pesan, bahkan panggilannya selalu kuabaikan, Sya."
"Kenapa kamu nggak pernah ngomong soal ini?"
"Karena aku nggak mau kamu salah paham dan kita semakin susah untuk lepas dari bayang-bayang Raka. Maaf karena tidak pernah memberitahumu."
Asya terdiam, kecewa atas apa yang dilakukan Arka membuatnya menahan emosi. Namun, ia tidak dapat menyalahkan Arka sepenuhnya, karena ia pun melakukan hal yang sama. Mungkin Arka pun merasakan demikian saat tahu bila ia sempat mendapatkan pesan dari Raka.
"Mungkin lebih baik seperti ini, Ka. Kita tidak harus berhubungan lagi dengannya. Lagi pula, dia tidak harus tahu semua hal tentang kita lagi. Biarkan dia bahagia dengan hidupnya," ucap Asya dengan suara bergetar. Ia pun khawatir dan merindukan laki-laki itu, tetapi masih terikat dengannya bukanlah pilihan.
Arka tak langsungnya menanggapi, ia kembali menatap layar ponselnya yang hanya berisi pesan tak berbalas dari Arka. Apa yang dikatakan Asya ada benarnya, ia pun pernah berkata demikian. Namun, entah mengapa, rasanya ingin sekali ia mendengar suara adiknya, atau bahkan hanya sekedar pesan dari Raka.
"Biar aku yang jemput Raska," kata Asya yang kemudian beranjak dari tempatnya.
Ia tidak ingin memperpanjang topik ini dan membuat perasaan juga pikirannya menjadi kacau. Asya takut bila usahanya untuk melepas Raka selama ini akan sia-sia jika terus memikirkannya. Pernikahan dengan Arka akan digelar seminggu lagi, ia tak ingin melakukan kesalahan lagi.
Sementara itu, di tempatnya Arka masih terdiam. Pandangannya masih terpaku pada ponsel yang kini layarnya telah menghitam. Ia kembali menghela napas berat sebelum kembali menyalakan benda persegi panjang itu. Ibu jarinya pun bergerak untuk kembali menghubungi sang adik, tetapi masih tak menuai hasil sama sekali.
Arka pada akhirnya menyerah dan memilih mengirimkan pesan singkat pada nomor adiknya. Sungguh, ia berharap akan mendapatkan balasan kali ini.
_____
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top