Gara-gara Cinta Belum Kelar || 19
Hela napas panjang dan berat diembuskan laki-laki tersebut dengan kuat. Kedua tangannya lantas saling menggenggam satu sama lain, rumah tangga yang ia bangun selama nyaris enam tahun akhirnya benar-benar hancur. Keduanya telah resmi berpisah, tanpa kehadiran Asya sama sekali selama proses sidang.
Sejak awal Raka memang tidak pernah meminta Asya untuk datang, ia lebih memilih meminta bantuan dari sahabat Tian untuk menjadi kuasa hukum dan mewakili perempuan itu selama proses sidang. Semuanya berjalan lancar sampai Raka kini menyandang status duda.
Satu per satu orang-orang mulai meninggalkan ruang sidang, hingga hanya menyisakan Raka yang masih duduk di tempatnya. Laki-laki itu menunduk begitu dalam, tak mampu mencegah air mata untuk tumpah. Lensa kacamatanya yang telah basah pun tak ia pedulikan lagi.
Tak ada yang mudah dari kata merelakan, berkali-kali pun ikhlas ia ucapkan, nyata kehilangan sangatlah menyakitkan. Melepas Asya tidak akan semudah itu, ia mencintai perempuan tersebut lebih dari apa pun. Ia juga tidak akan dengan mudah melupakan Raska yang teramat disayanginya.
Dalam kesendiriannya di ruangan itu, Raka menumpahkan semua kesedihan dan rasa sakit yang tertahan selama ini. Ia mungkin dapat berkata bila dirinya baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya ia hancur berantakan. Keluarga bahagia yang selama ini ia bangun dan berusaha pertahankan kini hanya tinggal kenangan.
Ia tidak akan pernah lagi menemukan kehadiran Asya ataupun Raska di setiap harinya. Raka tidak akan lagi mendengar suara anak dan istrinya, tidak akan pernah lagi dapat memeluk mereka untuk selamanya. Ia telah kehilangan segalanya, dan kembali hidup dalam kesepian.
"Raka, sudah, Nak."
Sentuhan lembut di pundaknya membuat Raka yang tenggelam akan kesedihannya sontak mendongak. Tatapannya yang sayu dan sembab sontak tertuju pada Leni yang berada di sampingnya. Wanita tersebut tersenyum, tetapi tak mampu menutupi lara dari sorot matanya.
Raka menggenggam tangan tantenya, tanpa dapat mengatakan apa pun. Ia tak dapat lagi untuk berpura-pura tenang dan baik-baik saja. Sungguh, semua ini terlalu berat. Ia pikir akan hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, tetapi kenyataannya perpisahan yang justru terjadi.
"Menangislah, Nak. Keluarkan semua rasa sakit itu sekarang," ucap Leni yang sedikit membungkuk dan memeluk sang ponakan dengan erat.
Tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipi wanita kelahiran tahun 70-an itu. Masalah yang dihadapi Raka turut membebani dan membuatnya merasa terluka. Harapannya untuk melihat laki-laki itu bahagia benar-benar pupus. Hancurnya mahligai pernikahan turut dirasakan keponakannya, sama seperti sang kakak.
Leni terus mengusap-usap punggung Raka yang semakin bergetar. Tak ada kalimat yang terucap di antara mereka, hanya isakkan Raka yang menggema dalam ruangan tersebut. Terdengar begitu menyesakan dan memilukan. Leni memejam, sesak rasanya melihat Raka sehancur ini.
Raka tidak pernah menangis sehebat ini, tidak pernah sehancur dan serapuh ini. Saat ibunya meninggal pun, Raka masih cukup pandai menyembunyikan kesedihannya, tetapi sekarang Leni menjadi saksi betapa besar rasa sakitnya saat ini.
"Tante, ...."
Raka berucap dengan lirih. Dadanya terasa lebih sakit dari sebelumnya. Udara di sekitar terasa semakin menipis dan menghilang, hingga ia kesulitan untuk bernapas dengan benar. Ia lantas menunduk semakin dalam. Jari-jari yang tadinya saling menggenggam satu sama lain, kini beralih meremas kain bajunya yang berada tepat di dada.
Ia memejam saat rasa sakit itu semakin menyiksanya. Dengungan yang cukup kencang pun membuat telinganya perlahan tak dapat lagi menangkap suara tantenya dengan baik. Seluruh indranya mendadak kehilangan fungsi, ia bahkan tidak dapat lagi merasa sentuhan Tante Leni. Raka tak lagi melihat wanita itu. Tubuhnya terasa melayang dengan kegelapan yang semakin menenggelamkan.
"Raka! Astaghfirullah, Tian!" Leni berteriak panik. Ponakannya kehilangan tiba-tiba kesadaran hingga nyaris terjatuh dari kursi bila ia tidak menahannya.
Beruntung Tian datang tak lama setelahnya. Ia kembali memasuki ruang sidang bersama dua laki yang merupakan pengacara Raka juga Asya. Tian bergerak cepat menghampiri Raka yang terpejam erat, meski Leni berusaha keras membangunkannya.
"Tian, adikmu, Yan!"
Leni kalut, takut dengan segala kemungkinan buruk yang akan terjadi. Pasalnya, ia pernah melihat hal serupa terjadi pada adiknya—ibu Raka dan Arka— beberapa tahun lalu. Serangan jantung yang membuatnya harus kehilangan.
Tian tak menanggapi ibunya lebih jauh, diangkatnya tubuh Raka yang telah lemas ke punggungnya dan berlari menuju parkiran. Untung saja ada dua teman Tian yang membantu, mengambil alih kemudi darinya yang kacau.
Tian terus menggenggam kaki sepupunya di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, sementara itu ibunya terus menggenggam tangan kiri dan mengusap rambut Raka dengan lembut. Keduanya benar-benar kacau, seakan-akan mengulang kembali kejadian saat ibu Raka berpulang.
Laki-laki 28 tahun itu menggeleng keras, berusaha mengenyahkan pikiran buruknya. Hal yang sama tidak akan terjadi, bukan? Penyakit yang sama tidak akan merenggut nyawa sepupunya, kan?
Tian tetap berusaha berpikir positif, Raka selama ini baik-baik saja. Adiknya itu tidak pernah menunjukkan gejala apa-apa terhadap kondisi kesehatannya yang menurun. Sangat tidak mungkin bila Raka mengalami hal serius dengan tiba-tiba. Namun, semakin Tian berusaha menyangkal, ingatan tentang kematian tantenya masih membekas. Sebab, tantenya pergi begitu tiba-tiba tanpa gejala apa pun.
Mobil yang melaju dengan kecepatan di atas rata-rata itu pun akhirnya terhenti tepat di depan ruang rawat darurat salah satu rumah sakit. Tian membuka pintu dengan cepat, dan kembali membawa Raka di punggungnya. Ia tidak lagi berpikir untuk memanggil para medis membawa brankar.
"To---tolong adik saya!" teriak Tian begitu memasuki ruang gawat darurat yang kemudian disambut para medis yang berjaga.
Tian menatap sendu adiknya yang mulai mendapat penanganan, ia sedikit menjelaskan tentang apa yang terjadi pada Raka sebelum kehilangan kesadaran, setelahnya ia pun diminta keluar lebih dulu.
"Bu, Raka nggak akan seperti Tante Arum, kan?" tanya Tian yang berjongkok di depan ruang gawat darurat.
Bayang-bayang akan hari kematian tantenya masih teringat jelas. Awalnya semua baik-baik saja, wanita itu bahkan sangat bersemangat, tak terlihat sama sekali jika sedang sakit. Semuanya teramat tiba-tiba, hingga Tian butuh waktu untuk mempercayai bila perempuan lembut itu telah pergi.
Tian berdecak, mengusap wajah dengan kedua tangan lalu mengacak-acak rambutnya. Sungguh, saat ini ia merasa sangat gamang. Takut bila hal yang sama terulang. Bila tantenya yang baik-baik saja pada hari itu dapat pergi secara tiba-tiba, lalu bagaimana dengan Raka yang belakangan ini tidak baik-baik saja?
Tian sungguh tidak dapat membayangkan bila hal buruk itu benar-benar terjadi. Ia belum siap kehilangan adiknya, terlebih dengan keadaan seperti ini. Ia ingin melihat Raka bahagia, dapat menjalani hidup tanpa beban, dan menemukan orang yang tulus mencintainya.
Hidup Raka sejauh ini sudah cukup berat, ditinggalkan ayahnya demi kekayaan, bekerja di usia belia, kehilangan ibunya, harus menggantikan kakaknya menikah, serta melepaskan perempuan yang sangat ia cintai. Lalu, haruskah Tuhan mengambilnya seperti ini?
"Raka pasti baik-baik saja, dia hanya stres dengan semua ini," ucap Leni yang berusaha menenangkan putranya.
Tak ada tanggapan berarti dari Tian, laki-laki itu hanya menenggelamkan wajah di atas lipatan lututnya. Masa bodoh bila dirinya akan menjadi pusat perhatian orang-orang sekitar. Saat ini yang di pikirannya hanya Raka.
"Keluarga dari saudara Naraka?"
Tian sontak mendongak, lalu bangkit menghampiri perawat yang keluar dari ruang rawat darurat. "Bagaimana adik saya? Dia baik-baik saja, kan?"
_______
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top