Gara-gara Cinta Belum Kelar || 15
Berulang kali ia mencoba untuk berpikir positif, mengenyahkan pikiran-pikiran negatif yang datang dari kalimat Tian selama ini. Namun, semua usahanya sia-sia. Apa yang ia saksikan beberapa saat lalu, mematahkan segalanya.
Laki-laki itu membuang napas kuat-kuat, menjatuhkan diri pada sofa dan memijat pelipisnya secara berulang. Punggung tegapnya bersandar pada sandaran kursi. Ia tidak bekerja hari ini, tetapi rasanya benar-benar lelah, merasa lemas dan pusing.
Usahanya untuk benar-benar berhasil mendapatkan cinta Asya sepenuhnya, ternyata selama ini tak membuahkan hasil. Raka tidak dapat menggantikan posisi Arka dari hati istrinya. Ia hanya sebagai pelarian, dari labilnya hati dan pikiran Asya.
Raka sekarang tidak dapat meyakinkan diri untuk baik-baik saja. Ia bahkan tidak dapat meyakini bila rumah tangga yang dibangunnya selam ini mampu membuat Asya bahagia. Rasanya, waktu enam tahun yang ia jalani selama ini sekarang terasa semu.
Frustasi dengan perasaan dan keadaan yang menyesakkan, laki-laki itu lagi-lagi menghela napas panjang, mengusap wajah dengan kasar, kemudian mengacak-acak rambutnya. Ia berusaha tenang, tetapi tak dapat mendapatkan itu, terlebih dengan kehadiran Tian yang datang dengan membuka pintu rumahnya dengan kasar.
"Bang, ...."
Raka berucap lebih dulu, menatap Tian baru saja akan berbicara. Ia tidak dapat marah atas tindakan Tian yang masuk seenaknya, terlalu kacau dengan situasi sekarang.
"Ada apa? Kenapa?" tanya Tian yang terdiam beberapa menit hanya untuk melihat raut wajah adiknya.
Emosi yang sempat naik sontak hilang begitu saja. Sorot mata yang begitu sendu, raut frustasi, rambut acak-acakan, serta lirih suara Raka menyebut namanya membuat perasaan Tian mendadak tak nyaman.
Belum sempat ada jawaban, perhatian Tian sontak beralih pada dua orang yang datang bersama dari dapur. Keduanya tampak panik hingga membuat Tian semakin mengerutkan kening, mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
Tian tahu Raka tidak sekacau ini saat pergi dari rumahnya. Sepupunya cukup pandai dalam mengolah emosi selama ini, sekalipun sempat marah, tetapi akan tenang dengan cepat. Sayangnya, apa yang dilihat saat ini adalah bagaimana laki-laki itu tampak benar-benar hancur dan terpuruk.
Ia pernah melihat raut wajah Raka yang seperti ini dua kali. Saat tantenya—ibu si kembar—meninggal, juga saat Raka memilih melepas Asya enam tahun lalu. Lantas, apa yang menjadi penyebab Raka kali ini tampak hancur?
Tian menatap Arka dan Asya yang juga terlihat bingung dan khawatir. Asya telah bertanya lebih dulu, bahkan duduk di samping Raka sambil menggenggam lengan suaminya. Namun, bukannya menjawab, Raka justru semakin mengalihkan pandangan dari Asya.
Hal tersebut tentu membuat ketiga orang di sana khawatir, terlebih Asya. Untuk permata kalinya, Raka mengabaikannya seperti ini. Berbagai pikiran buruk pun menghinggapi, khawatir, dan cemas menjadi satu. Ia mati-matian mengenyahkan pikiran buruknya, berharap semua baik-baik saja.
"Raka, kenapa, sih?" tanya Asya sambil mengguncangkan lengan Raka untuk sekian kalinya. "Kita nggak bisa pindah? Kamu gagal? Kenapa, sih?" tanya Asya frustrasi.
Air matanya tak tertahan lagi. Asya sungguh tak tahu harus bagaimana bila rencana untuk pindah gagal. Ia tidak ingin lagi untuk bertahan di sini dan semua rahasianya terungkap.
"Raka—"
"Kita jadi pindah, Sya," sela Raka yang kali ini menatap sang istri.
Tatapannya tertuju pada wajah pucat sang istri untuk beberapa saat, sampai kemudian beralih pada Arka yang sejak tadi hanya diam. Raka menarik napas dalam-dalam, sesak rasanya melihat mereka berdua saat ini.
"Tapi, Arka tidak bisa ikut."
Arka cukup terkejut dengan kalimat yang baru saja didengarnya. Ia menatap tak percaya pada kembarannya, tak menyangka atas apa yang baru saja didengarnya. Setelah dibawa ke sini, lantas ia dibuang begitu saja.
"Maksudnya?" tanya Asya menatap Raka dengan tak percaya. Ia beralih menatap Arka sekilas, lantas kembali tertuju pada Raka. "Kenapa Arka nggak bisa ikut tinggal sama kita?"
"Karena memang seharusnya Arka tidak tinggal dalam rumah tangga kalian."
Bukan Raka yang melontarkan kalimat sarkas tersebut, melainkan Tian. Ia cukup puas dengan keputusan sepupunya yang terbilang cukup mengejutkan. Pikirnya, Raka akan tetap bersikeras membawa Arka ikut bersamanya.
"Maksudnya? Apa, Bang? Apa lo masih berpikir kalau gue bakal rebut Asya?" Arka menatap Tian sengit, tak pernah suka dengan bagaimana sepupunya beranggapan.
"Lebih baik mencegah, kan? Kita nggak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Lagi pula, kamu harus sadar diri, Arka. Posisimu kini seperti apa."
Sarkas ucapan Tian membuat Arka naik pitam. Ia menatap sengit pada laki-laki yang berjarak empat tahun darinya itu. Namun, baru saja ia ingin mengelak, memaki sepupunya tak kalah kasar, suara Asya yang bergetar mengalihkan fokusnya.
"Bang, Abang sudah terlalu ikut campur dalam urusan keluarga aku dan Raka. Jangan mempengaruhi Raka dan membuat situasinya jadi semakin rumit."
Asya benar-benar frustasi saat ini. Emosinya tak tertahankan. Kepalanya sungguh terasa akan pecah, semua masalah tumpang tindih memenuhi pikirannya. Ia berharap akan segera pindah, tetapi tidak pernah untuk berpisah dengan Arka.
Keputusan yang diambil oleh Raka pasti ada campur tangan Tian. Sepupu dari Raka dan Arka itu benar-benar menyebalkan hingga sekarang. Meski telah bertahun-tahun menjadi keluarga, ternyata Tian belum menerima ia sepenuhnya.
Asya selama ini berusaha sabar dengan sikap dan sifat Tian, tetapi bila laki-laki itu terlalu ikut campur dan bersikap seperti ini, Asya sungguh tidak dapat lagi untuk bersabar.
Tian tidak memiliki hak untuk ikut campur dan mengatur keluarga Raka, meski saudara sekalipun. Lagi pula, mengapa Raka baru bilang seperti itu sekarang?
Asya pun mengenal Raka dengan baik. Suaminya itu tidak akan melepaskan Arka begitu saja. Ia tahu jelas bila Raka sangat menyayangi saudaranya dan akan melakukan apa pun untuk orang-orang yang ia sayangi.
"Bukan Bang Tian yang minta aku untuk ambil keputusan ini, Sya."
Raka yang sejak tadi hanya diam akhirnya bersuara dan kembali menggunakan kacamatanya. Ia tidak lagi menghindari tatapan tatapan orang-orang di sekitarnya. kini ia lebih tenang, untuk mengahadapi Asya maupun Arka.
"Aku udah mikirin semuanya dengan baik, Sya, dan menurutku ini yang terbaik."
"Terbaik apanya? Apa alasannya sampai kita harus tinggalin Arka?" tanya Asya dengan menggebu-gebu.
"Aku takut kecolongan, Sya." Raka berucap dengan tenang, tetapi sorot matanya mengintimidasi. "Jujur, aku tidak pernah peduli dengan apa yang dikatakan Bang Tian selama ini. Tapi, apa yang aku lihat di dapur tadi, mematahkan semua kepercayaanku."
Kalimat yang baru saja dikatakan Raka sontak membuat tiga orang di sana terpaku. Tian dengan raut kebingungannya, Asya dengan ketakutannya, sementara Arka yang terlihat cemas.
_____
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top