Gara-gara Cinta Belum Kelar || 12

Sudah larut malam, tetapi kedua orang itu masih enggan untuk beranjak dari posisinya. Semilir angin yang berembus semakin terasa dingin menembus kulit. Namun, meski rasa kantuk telah menyapa sejak tadi.

Kini, keduanya menghabiskan waktu dengan hanya diam. Arka telah menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Raka, jadi begitu tak ada lagi topik pembicaraan, hening mengambil alih suasana. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Raka berdesah, lantas menatap gelapnya langit malam ini. Sekarang, ia benar-benar paham akar permasalahannya setelah mendengar penjelasan Arka.  Raka pun telah jauh lebih tenang dibandingkan siang tadi. Beruntung ia tidak gegabah dan berspekulasi buruk terhadap istri dan saudaranya.

Perkataan Arka mengenai hubungan mereka saat ini  hanyalah sebatas keluarga. Apa yang dilihat dan didengarnya tadi hanya sebuah kesalahpahaman. Asya dan Arka hanya terlalu kalut, hingga memicu perasaan dan pikiran yang tidak sewajarnya.

Raka cukup lega, sekaligus menyesal usai mendengar penjelasan kakaknya yang terus meminta maaf atas kejadian siang tadi. Ia tidak bermaksud menuduh yang bukan-bukan terhadap keduanya, hanya saja melihat betapa erat mereka saling memeluk membuat akal sehatnya sedikit hilang kendali. Sebab, Raka tidak pernah suka namanya pengkhianatan.

"Jadi, bagaimana keputusanmu?" tanya Arka yang akhir mengusik sepi yang terasa tak nyaman.

Permintaan Asya memang begitu egois. Arka tahu, bagaimana sang adik berusaha keras untuk mempertahankan rumah kontrakannya ini.  Ia pun tahu bagaimana hubungan Raka dengan pemilik kontrakan yang sangat baik itu.

Biaya sewa yang lebih murah dari rumah kontrakan mewah bertingkat dua pada umumnya, tentu sangat langka di kota Bandung ini. Raka cukup beruntung mendapatkannya. Tidak hanya itu, kehidupan Raka selama di sini cukup mulus. Hubungan Raka dengan para tetangganya sangat baik, begitu akrab satu sama lain.

Arka bahkan kerap kali dibuat takjub melihat bagaimana orang-orang di sekeliling kembarannya itu sangat ramah dan peduli. Entah apa yang menjadi daya tarik saudaranya itu hingga membuatnya begitu dicintai oleh siapa pun.

"Aku akan nyari tempat tinggal lain." Raka menjawab tanpa ragu. "Acara pernikahan sahabat kalian seminggu lagi, kan?"

Arka mengangguk singkat menanggapi, sedikit tak menyangka bila Raka akan benar-benar menyetujui keinginan Asya untuk pergi. Ia pikir butuh lebih banyak pertimbangan,  terlebih uang sewa rumah ini telah dibayar untuk satu tahun ke depan.

"Aku akan mengurus semuanya besok," ucap Raka yang kemudian beranjak dari tempatnya.  Meninggalkan Arka yang hanya diam setelahnya.

Raka lantas memasuki kamarnya dengan berhati-hati, tak ingin mengusik Asya yang mungkin telah terlelap. Akan tetapi, usahanya ternyata sia-sia, sang istri masih terjaga di depan meja riasnya.

"Kenapa belum tidur, hm?" 

Raka merunduk, mengusap lembut rambut Asya kemudian menciumnya. Melihat betapa kacau sang istri tentu membuat ia ikut terluka. Begitu berat kehidupan yang harus dijalani perempuan cantik itu hingga detik ini. Asya memang bukanlah perempuan suci dan sempurna yang tak luput dari kesalahan, tetapi bukan berarti bila takdir harus begitu kejam padanya.

Hidup dalam bayang-bayang penyesalan, kehilangan keluarga dan mimpinya. Masa mudanya hancur berantakan dan harus menjadi ibu rumah tangga di usia dini, tentu bukanlah hal mudah. Selama ini, ia telah menjadi saksi dari bagaimana Asya berusaha untuk memperbaiki diri, berupaya bangkit dan menata hidup lebih baik. 

Semenjak mengikrarkan ijab kabul dengan identitas sebenarnya,  Raka telah bertekad untuk membuat Asya lebih  baik lagi, mencintai dan membahagiakannya.  Kesalahannya di masa lalu mungkin menjadi cacat dan noda seumur hidup bagi perempuan itu. Namun, Raka tidak peduli dengan apa yang telah terjadi. Ia mencintai Asya tulus apa adanya.

"Maaf belum bisa membuatmu bahagia sepenuhnya, Sya."

Raka kembali berucap. Tak lagi memeluk perempuan itu dari belakang, kini laki-laki itu berada tepat di samping Asya. Menggenggam jari-jari Asya dengan lembut.

Ia benar-benar tak tega melihat Asya seperti ini. Kantung mata bunda Raska itu tampak mengerikan, air mata masih membasahi wajah pucatnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Raka lantas membawa Asya dalam peluknya, berharap mampu membuatnya merasa lebih baik.

Tak ada kalimat apa pun terucap dari Raka setelahnya, membiarkan Asya menangis hebat di pundaknya. Raka tak menyela, terlebih memberikan kalimat penenang. Ia hanya diam sambil trus mengusap-usap punggung istrinya yang terguncang hari ini.

"Maaf," ucap Asya setelah melepaskan diri dari dekap suami.  Ia memandang Raka dengan rasa bersalah.

Raka menggeleng, justru seharusnya ia-lah yang mengatakan hal tersebut. Setelah kejadian siang tadi, ia tanpa berkata apa pun pergi begitu saja. Lalu kembali pada malam hari dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

Ia sebenarnya bukan bermaksud mengabaikan, apalagi marah kepada Asya. Hanya saja, ia butuh waktu untuk menenangkan diri dan mencerna semua yang terjadi. Ia pun tidak dapat menunjukan emosinya, terlebih saat Raska berada di antara mereka.

Raka pun tidak langsung menemui Asya tadi, karena ingin mendengarkan penjelasan dari Arka terlebih dulu.  Sungguh, ia tidak ingin sampai salah bertindak dan melibatkan emosi di dalamnya.  Akan tetapi, ia tak menyadari bila diamnya justru membuat Asya semakin kalut. Mendadak ia menjadi merasa bersalah.

"Aku sama sekali tidak marah, Sya. Aku justru minta maaf karena mendiamkanmu seharian ini," tutur Raka lembut tanpa melepaskan genggaman dari istrinya.

"Hari ini pasti sangat berat." Raka mengusap lembut sisa air mata di pipi Asya. Sungguh, melihat perempuan itu sampai sekacau ini membuatnya merasa sesak.

Raka pikir semuanya berjalan lancar akhir-akhir ini. Asya tidak pernah pandai berpura-pura dan bersikap biasa saat ada masalah. Perempuan itu tak pernah mampu menyembunyikan emosi. Raut wajahnya menggambarkan jelas apa yang ia rasa dan pikirkan. Namun, ternyata Raka kecolongan kali ini.

Ia sempat merasa begitu bodoh karena tidak tau apa yang terjadi. Bila saja ia tidak kebetulan pulang siang tadi, maka semua masalah ini pasti akan tertutup begitu rapat. Entah apa solusi yang akan diambil oleh istri dan kembarannya untuk keluar dari situasi ini, Raka sama sekali tidak dapat membayangkannya. Takut keduanya akan kembali melakukan kesalahan.

"Kita jadi pindah?" Asya bertanya dengan begitu pelan, nyaris berbisik.

Ia tahu bila permintaannya ini cukup keterlaluan, tetapi tidak ada pilihan lain. Kabur dari Dania merupakan jalan satu-satunya, menghindari, dan menutup kebenaran dari sang sahabat adalah hal terbaik yang ia pikirkan. Asya belum siap, bahkan tidak pernah siap bila kesalahannya di masa lalu akan diketahui orang-orang.

"Iya, besok aku urus semuanya. Mungkin butuh beberapa hari sampai kita pergi dari sini."

Asya menatap Raka. Laki-laki tampak seperti biasa, tenang dan bijak. Asya kadang tidak mengerti bagaimana pola pikir suaminya hingga mampu mengendalikan diri sebaik ini.  Raka bahkan seakan-akan tidak mempermasalahkan apa pun, padahal Asya sudah ketar-ketir, apalagi saat lelaki itu pergi begitu saja.

"Kamu benar-benar tidak keberatan?"

Asya kembali bertanya, menatap suaminya begitu dalam. Ia berusaha menemukan keraguan dan emosi. Akan tetapi, Asya hanya berhasil melihat ketulusan dari bagaimana cara lelaki itu menatapnya. Ketulusan yang begitu besar, hingga membuat Asya merasa benar-benar nyaman.

"Tidak sama sekali," ucap Raka dengan begitu yakin.

"Terima kasih, Raka."

Asya bergerak perlahan, kembali menjatuhkan tubuh pada laki-laki di sampingnya. Asya begitu erat memeluk sang suami yang lagi-lagi berhasil membuatnya merasa lebih baik.

Raka tersenyum tipis. Ia tidak pernah bercanda bila akan melakukan pun untuk kebahagiaan orang-orang terdekatnya. Ia akan berjuang mati-matian agar mereka merasa nyaman dan baik-baik saja. Walaupun ia memahami betul betapa sulit ia harus berjuang untuk itu.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top