Gara-gara Cinta Belum Kelar || 09

Usai pertemuan tak terduga dengan sang sahabat,  hati dan pikiran Asya menjadi benar-benar kacau. Ia kembali menyesali, memaki, dan mencaci diri sendiri.

Sudah beberapa jam berlalu, tetapi perempuan itu enggan untuk beranjak. Tak ada hal lain yang ia lakukan selain berdiam di kamar begitu pulang dari pasar. Ia kembali menjatuhkan air matanya, terisak-isak dalam ruangan gelap dan sepi.

Berbagai macam perandaian memenuhi benak. Berjuta penyesalan kembali membuatnya sesak. Jari-jari lentik itu kembali mengacak-acak surai panjangnya yang telah lepek, tangisnya kembali pecah.

"Sial!"

Seandainya Asya tidak akan pernah menawarkan diri untuk pergi bersama Arka dan menetap di rumah, tentu semua tidak akan serumit ini. Sayang, semua yang terjadi tidak dapat terulang untuk ia perbaiki.

Sekarang, Asya harus memutar otak untuk membuat kebohongannya terlihat nyata di mataku Dania. Ia tidak ingin Dania benar-benar tahu segala kebenarannya. Cukup dengan kehamilan di luar nikah yang sang sahabat ketahui, tidak selebihnya.

Mengetahui bila dirinya hamil di luar nikah saja sudah membuat Dania terlihat berbeda. Perempuan sebayanya tadi langsung bungkam, dan canggung setelahnya. Sorot mata sang sahabat pun berubah dari sebelumnya, tidak lagi ceria dan ramah seperti sebelumnya. 

Asya memahami jelas emosi yang terpancar dari raut wajah dan sorot mata sang sahabat. Hal itu pula yang membuat Asya tak ingin mengungkap lebih banyak rahasia lagi. Cukup hal itu yang Dania ketahui. Masalah siapa yang benar-benar menjadi suaminya saat ini, biarlah sang sahabat tetap tak mengetahui apa pun, untuk selamanya.

"Sya, ...."

Samar-samar ketukan dan panggilan di balik pintu mulai terdengar.  Namun, sama seperti sebelumnya, Asya tetapi berusaha mengabaikan. Sampai detik ini, ia belum siap untuk bertemu siapa pun. Hati dan pikirannya yang berantakan, membuatnya takut tak dapat mengendalikan emosi pada orang lain.

"Sya, buka pintunya! Ini udah mau sore, bentar lagi Raka pulang. Lagian kamu mau sampai kapan kayak gini? Raska juga dari tadi nanyain kamu kenapa. Buka pintunya, Sya!"

Asya masih tak bersuara, mengabaikan Arka yang kini berteriak dari balik pintu. Air matanya kembali menetes untuk sekian kalinya. Terlalu runyam, rumit dan menyakitkan.

"Sya! Diam kayak gini nggak akan menyelesaikan semuanya masalah. Gak ada gunanya kamu mengurung diri dan nangis kayak gini!"

Arka kembali berteriak, emosinya tak tertahan lagi. Asya yang mengurung diri selama berjam-jam sejak tadi membuatnya khawatir. Ia tahu betapa tak nyamannya situasi ini, tenggelam atas penyesalan bukanlah suatu hal yang mudah.

"Sya, buka atau aku dobrak pintunya!" teriak Arka untuk sekian kalinya. 

Ia tidak peduli lagi akan risiko yang terjadi selanjutnya, memastikan kondisi Asya adalah hal terpenting. Arka pun mundur beberapa langkah, sebelumnya maju untuk memaksa pintu itu terbuka. Namun, baru saja akan bergerak kayu lebar itu bergerak perlahan.

Arka pun akhirnya menghela napas panjang, lantas ditariknya perempuan itu dalam dekapan dengan cepat. Punggung ramping tersebut ia peluk dengan erat, rasanya benar-benar lega melihat Asya keluar dari kamar. Namun, isak tangis yang semakin jelas terdengar kembali membuat dadanya sesak.

"Apa yang harus kita lakukan, Ka? Bagaimana kalau Dania tahu yang sebenarnya? Bagaimana kalau—"

"Tenang, semuanya akan baik-baik saja," sela Arka yang mengusap punggung Asya dengan lembut,  berusaha memberikan ketenangan.

Arka mengeratkan pelukannya, berharap Asya akan lebih tenang.  Kalau tahu akan seperti ini, tentu ia akan lebih memilih menghindari Dania dan tak mempertemukannya dengan Asya. Sayangnya, ia tidak berpikir jauh.

Kini, Arka hanya dapat berharap bila pertemuan mereka dengan sang sahabat cukup sampai di situ saja. Beruntung, tadi mereka tidak sempat saling menanyakan kabar, atau janjian untuk saling ketemu lagi.

"Bunda!"

Pekik nyaring dari belakang sontak membuat Asya yang masih saling mendekap Arka sontak terkesiap. Ia pun dengan cepat melepas pelukannya dan menjauh dari Arka.

"Kenapa, Sayang?" tanya Arka yang lebih dulu, memberi waktu pada Asya untuk menenangkan diri lebih dulu sebelum meladeni sang putra.

"Bunda kenapa?" Raska tak mengalihkan pandangannya dari sang ibu yang masih membelakanginya. "Bunda sakit? Atau Bunda marah,  ya, sama aku?" tanyanya dengan wajah khawatir.

"Lho, kok, kamu mikirnya gitu? Bunda nggak apa-apa, kok." Arka kembali berucap, berusaha menenangkan sang putra yang mulai berpikiran negatif.

"Abisnya Bunda dari tadi nggak keluar kamar, Yah, terus sekarang malah nggak mau lihat aku."

Suara Raska yang mulai bergetar membuat Arka menjadi panik. Ia tidak menyangka bila putra kecilnya akan berpikir seperti itu. "Bunda lagi nggak enak badan, kok. Bukannya marah sama Raska," ucapnya sambil mengusap rambut anaknya.

"Tapi—"

"Nggak, Sayang. Bunda beneran nggak marah, kok, sama kamu. Bunda memang lagi pusing aja," sela Asya yang kini berada di hadapan putranya, menyamakan tinggi mereka. "Maafin, Bunda udah bikin kamu khawatir, ya."

Asya kemudian menarik putranya, memeluk tubuh kecil itu. Mati-matian ia kembali menahan air matanya untuk tidak terjatuh saat Raska memeluknya. Ia tidak ingin sampai anaknya tahu akan kesedihannya, terlebih tahu apa yang telah menjadi rahasia orang tuanya.

"Maafkan, Bunda, Nak." Asya berucap lirih, di antara segala hal yang ia sesali dalam hidupnya.  Raska adalah satu-satunya anugrah yang ia miliki, tak peduli bagaimana cara anak itu hadir.

"Bunda kenapa minta maaf? Bunda nggak salah apa-apa, kok."

Raska mengusap-usap punggung ibunya, tangan mungilnya terus bergerak dengan teratur. Sebenarnya, ia tidak paham apa yang terjadi sampai Bunda menangis seperti ini,  tetapi kata Papa kalau Bunda nangis cukup ditepuk-tepuk punggungnya.

"Jangan sedih Bunda," ucapnya dengan lembut.

"Bunda nggak sedih, kok." Asya melebarkan senyumnya, menatap sang putra penuh kasih. "Maaf, ya,  tadi Bunda udah bikin kamu khawatir," lanjutnya seraya mengusap wajah anaknya.

Raska mengangguk kemudian kembali memeluk sang bunda dengan erat. Hal tersebut menjadi pemandangan yang membuat Arka tak mampu menahan air mata.  Melihat bagaimana Asya begitu terluka membuatnya lagi-lagi jatuh dalam kubangan lumpur penyesalan. Namun, di antara segala hal yang ia sesali, tak pernah sekali pun ia menganggap Raska salah satunya.

Perlahan ia pun mendekat, selangkah demi selangkah mengikis jarak di antara mereka dan memeluk keduanya. Andai ia tahu akan sesakit ini, andai semuanya dapat diubah, dan andai waktu dapat kembali, ia sangat berharap dapat kembali ke malam itu.  Saat Asya masih sepenuhnya menjadi miliknya, serta Raka tak harus mengambil alih posisinya.

Bila saja ia tidak begitu takut dengan apa yang dikatakan ayahnya waktu itu, maka yang akan mengikrarkan janji suci tentu tidak akan digantikan oleh Raka. Semuanya tentu tidak akan serumit ini bila pada saat itu ia memaksakan diri untuk tetap hadir dalam pernikahan mereka. Ia tentu tidak akan kehilangan Asya juga Raska bila saja Raka tidak pernah hadir dalam kehidupan mereka.

________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top