Gara-gara Cinta Belum Kelar || 06
Beberapa menit telah berlalu semenjak Raka membawa Tian ke teras belakang, setelah meminta Asya untuk lebih tenang. Namun, hingga detik ini tidak ada satu pun yang memulai percakapan.
Raka bukannya tidak ingin memulai, hanya ingin lebih dulu mendengar Tian menumpahkan semua kekesalannya. Akan tetapi, sama seperti biasa, kakak sepupunya itu tidak akan pernah sekali pun sampai meninggikan suara, atau bahkan menunjukkan emosi padanya. Sangat berbeda dengan sikapnya terhadap Arka juga Asya.
"Pikirkan lagi keputusanmu, Dek."
Tian pada akhirnya memulai percakapan, menatap sepupunya dengan khawatir. Ia telah menjadi saksi kerasnya hidup yang dijalani laki-laki itu, dan Tian tidak ingin melihat adiknya terluka untuk kesekian kali.
"Arka tinggal di rumahku saja, Ka. Dia nggak perlu tinggal di sini." Tian kembali berucap, tetap berusaha untuk memberi solusi, demi menghindari hal yang tidak diinginkan nantinya.
"Bang, apa Abang dan tahu? Selama enam tahun ini, Arka nggak pernah baik-baik saja, Bang." Raka yang sedari tadi diam pada akhirnya menanggapi kalimat Tian.
Raka memilih mengalihkan pandangannya dari Tian, ia menghela napas berat. Perbicangan semalam, serta reaksi orang-orang terhadap Arka tadi membuatnya merasa sesak.
"Di Jakarta dia tidak punya siapa-siapa. Orang-orang di sana sampai detik ini masih menolaknya. Padahal, kesalahan yang Arka lakukan tidak merugikan mereka."
Raka menunduk, benar-benar sesak mengingat tatapan orang-orang tadi terhadap Arka. Beberapa di antara mereka bahkan sampai melontarkan kalimat pedas; menggunjing, mencemooh, seakan-akan Arka benar-benar seorang penjahat di sana.
Raka sebenarnya tidak mengerti mengapa para tetangganya bersikap demikian, padahal masyarakat di sana sangatlah baik padanya. Ia masih disambut ramah oleh mereka, bahkan dengan terang-terangan dirinya mendengar ungkapan kerinduan terhadap dirinya. Namun, mengapa mereka tidak dapat menerima Arka seperti itu?
"Menerima Arka sebenarnya tidak gampang, Raka. Mereka bukannya menghakimi, hanya saja lebih menghindari hal-hal yang tidak diinginkan."
"Arka bukan penjahat, Bang—"
"Tapi, orang-orang melihatnya seperti itu," sela Tian, "mereka tidak mau tahu, atau bahkan tidak peduli dengan hubungan Arka dan Asya sebelumnya. Mereka hanya tahu kalau Arka adalah laki-laki berengsek yang telah menodai dan melakukan zina dengan Asya. Jadi, wajar kalau beberapa orang bersikap demikian."
Raka terdiam, membenarkan kalimat panjang yang disampaikan Tian. Cap buruk yang melekat pada Arka semenjak menginjakkan kaki di tempat tinggalnya memang tidak dapat hilang. Kesalahan yang Arka lakukan bukanlah hal yang mudah diterima dan terlupakan oleh masyarakat.
"Itu artinya keputusan untuk membawanya ke Bandung, pilihan yang tepat, bukan?" Raka akhirnya kembali menatap Tian.
Laki-laki jangkung itu mengangguk, putusan itu memanglah yang terbaik. "Tapi, tidak dengan membuatnya tinggal di rumahmu," ucapnya dengan tegas.
Raka menghela napas panjang, kembali mengalihkan pandangan dari Tian. Pilihan yang ia ambil memang cukup berisiko, tetapi ia ingin untuk melihat Arka lebih bahagia. Raka tidak mau lagi kakaknya merasakan kesepian yang menyiksa, ia ingin Arka hidup lebih baik lagi dan penuh semangat, dan kebahagiaan Arka adalah Raska.
"Terlalu jahat kalau aku membuat jarak di antara Raska dan Arka. Mereka saling menyayangi satu sama lain."
"Kalau begitu, serahkan saja Raska sama dia." Tian berdecak, lama-lama kesal juga menanggapi sikap naif saudaranya itu. "Bila perlu, kembalikan lagi Asya sama dia. Pasti Arka akan bahagia," tambahnya.
Bukannya merasa tersinggung ataupun takut, Raka justru tersenyum mendengar kalimat Tian. Raut wajah laki-laki yang tiga tahun lebih tua darinya itu tampak menyeramkan, tetapi Raka merasa senang akan hal itu.
"Makasih, udah mengkhawatirkanku, Bang." Raka kali ini benar-benar menatap Tian. Perhatian kakak sepupunya itu dari dulu hingga detik ini tak pernah berubah.
"Tenang saja, semua insyaallah akan baik-baik saja. Aku percaya sama mereka." Raka berucap dengan yakin. Benar-benar mempercayai Arka dan Asya, bila mereka tidak akan bermain api di belakangnya.
"Kita lihat saja nanti," balas Tian.
Pada akhirnya ia pasrah akan pilihan yang diambil. Ia tidak dapat memaksakan kehendak pada Raka yang kukuh dengan putusannya. Sama seperti saat adik sepupunya itu memutuskan untuk mengambil alih peran Arka, Tian tidak dapat melakukan apa pun.
Tian hanya dapat terus mengawasi dari jauh, dan akhirnya maju paling depan saat Raka terluka. Saat-saat seperti itulah ia akan berperan penting sebagai saudara. Tian akan menjadi tempat Raka bersandar saat laki-laki itu hancur.
"Makasih, Bang." Matanya yang berada dibalik lensa menyipit, bersamaan dengan kedua sudut bibirnya yang tertarik.
"Jangan senang dulu. Abang nggak bakal berpikir ulang untuk menghancurkan Arka ataupun Asya bila nantinya mereka macam-macam."
Perkataan Tian seketika membuat senyum Raka lenyap. Ia menatap sepupunya dengan tajam. "Awas aja, ntar kalau sampai Abang menyakiti mereka," katanya.
"Makanya hati-hati. Jangan sampai lengah sama mereka. Bisa saja kamu kehilangan semuanya, Raka."
Raka lagi-lagi membenarkan kalimat Tian. Ia sangat paham kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nantinya. Namun, untuk sekian kalinya, ia kembali menepis pikiran buruk itu. Hubungan Arka dan Asya telah berakhir, keduanya pasti tidak akan mengambil langkah yang salah. Sebab, saat ini akan ada Raska yang ikut terluka bila mereka melakukan hal bodoh.
"Semuanya akan baik-baik saja, Bang."
Tian mengangguk menanggapi, dalam hati ia pun berharap demikian. Ia benar-benar tidak mau adiknya sampai tersakiti nantinya. Cukup sudah segala kehancuran yang dilalui Raka selama ini. Tian harap Raka akan selamanya bahagia bersama keluarga kecilnya.
Setelahnya, hening kembali mengambil alih. Kedua laki-laki yang terpaut beberapa tahun itu tenggelam atas pikiran masing-masing. Sampai akhirnya, Tian kembali bersuara sembari bangkit dari duduknya.
"Aku pulang dulu," ucapnya.
"Eh, tunggu, Bang!" seru Raka setelah Tian berjalan beberapa langkah. Ia pun bergegas mengejar yang lebih tua.
"Minta maaf dulu sama Arka dan Asya. Mereka pasti lagi nggak nyaman banget. Aku juga nggak mau suasananya jadi canggung nanti."
Tian berdecak, menahan diri untuk tetap tenang. Raka benar-benar naif, terlalu baik bahkan menjurus ke bodoh. Ia jadi sedikit menyesali bagaimana tantenya mendidik Raka menjadi orang sebaik ini. Setidaknya, laki-laki itu harus sedikit lebih egois, tidak hanya memikirkan perasaan dan pendapat orang lain.
Tian pun terpaksa menurut, meski sebenarnya enggan. Ia hanya khawatir bila Raka akan kesulitan dengan situasi yang tidak nyaman nantinya. Keduanya pun berjalan beriringan memasuki kembali bangunan dua tingkat yang Raka kontrak sejak enam tahun lalu.
Mereka langsung menemukan keberadaan keduanya di ruang tengah bersama Raska. Dapat keduanya lihat bagaimana Raska begitu bahagia dalam pelukan Arka, pun dengan Asya yang begitu senang di sana.
Tian maupun Raka yang berada tak jauh dari keduanya mereka menghentikan langkahnya. Raut wajah kedua orang di sana tampak sangat berbeda dibandingkan tadi. Tidak ada kesedihan, ataupun emosi yang terpancar dari Asya maupun Arka. keduanya benar-benar tampak bahagia.
"Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja?" tanya Tian tanpa mengalihkan pandangannya pada Raka.
Raka tidak langsung menjawab, pandangannya fokus pada bagaimana ketiga orang di sana terlihat begitu harmonis. Asya tersenyum begitu lebar, seakan-akan tidak ada lagi beban di pundaknya, sama seperti Arka.
Namun, apa yang disaksikannya tidak serta-merta membuatnya merasa dikhianati. Ia berubah memahami situasi yang terjadi, hingga menganggap semuanya wajar.
"Iya, Bang. Semuanya akan baik-baik saja," katanya dengan penuh keyakinan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top