Gara-gara Cinta Belum Kelar || 03

Halaman belakang semakin berantakan. Air tidak lagi tertampung pada kolam renang plastik milik Raska, bola-bola plastik dan mainan lainnya berserak di mana-mana. Lantai teras licin, bahkan beberapa bunga kesayangan Raka kini sudah benar-benar basah.

Namun, Arka tidak lagi peduli tentang hal itu. Laki-laki bahkan tidak lagi melarang Raska untuk kembali bermain air, padahal sebelumnya  mati-matian ia meminta anak itu berhenti.

Hati dan pikirannya mendadak kalut setelah menyaksikan kemesraan tadi. Sialnya, setelah beberapa menit berlalu, apa yang beberapa saat lalu dilihatnya masih terus terbayang. Usahanya mengalihkan pikiran dengan bermain bersama Raska nyatanya tidak berhasil. Pada akhirnya, Arka jutsru tenggelam dengan pemikirannya dan membiarkan Raska bermain sendiri.

"Ya, ampun! Raska udah, Sayang!"

Arka tersentak saat pekik nyaring itu menggema.  Perhatiannya lantas beralih pada Raka yang tergesa-gesa menghampiri, menyuruh sang putra untuk berhenti dan segera ke dalam.

"Masih mau main, Ayah. Nanti dulu." Raska masih asyik bermain tanpa mengalihkan pandangannya dari air.

"Udah dulu, ya. Raska mainnya udah lama banget, lho. Nih, tangannya sampai keriput dan pucat gini," bujuk Raka dengan memperlihatkan kulit jari-jari putranya yang telah mengerut.

Anak enam tahun tersebut tidak langsung menurut, ia menatap tangannya untuk beberapa saat. Seakan-akan memastikan ucapan ayahnya,  hingga beberapa detik setelahnya, ia pun bangkit dari kolam plastik kesayangan dengan tidak rela.

"Jangan sedih, nanti kita main lagi, ya." Arka berucap dengan lembut sambil memakaikan handuk pada buah hatinya. 

"Tapi, bentar sore Papa sudah pulang. Kalau sama Bunda atau Ayah, nggak asyik! Nggak bisa lama-lama." Raska menggerutu dengan bibir sedikit maju.

Tampak begitu menggemaskan, tetapi Arka menjadi sedikit menyesal, seharusnya ia abaikan saja perasaannya dan tetap membawa Raska masuk. Sekarang anaknya terlihat sedih, padahal tadi Raska sudah dengan ikhlas mau berhenti bermain.

"Tenang saja, Papa kali ini pulangnya nggak akan lama. Setelah itu, kamu pasti akan terus main sama Papa, kok.  Papanya Raska nggak akan ke mana-mana lagi. Dia akan selalu sama Raska,"  ucap Asya dengan lembut sambil mengusap rambut putranya yang basah.

Raska yang sebelumnya terlihat sedih, sontak berseru senang. Anak itu bahkan sampai melompat-lompat saking girangnya. Raka yang melihat itu pun turut merasakan kebahagiaan.

Namun, berbeda dengan Arka yang belum dapat mengerti maksud perkataan Raka. Ia bahkan bingung tentang bagaimana saudaranya menjanjikan hal tersebut, padahal ia hanya bisa datang seminggu sekali. Itu pun bila ada ongkos yang mencukupi. 

"Kenapa bilang seperti itu, sih? Kamu tahu, kan, aku nggak bisa datang selain seminggu sekali," tanya Arka, sedikit berbisik agar Raska tidak mendengar dan membuat anak itu kecewa.

Raka tidak langsung memberikan jawaban, ia terus melangkah lebih dulu bersama Raska yang berada dalam gendongannya. Hingga tiba di dapur, sudah ada Asya yang tampak menunggumu mereka. 

"Aduh, anak Bunda mainnya lama banget, sih." Asya langsung mengambil alih putra kecilnya dari Raka. "Bandel, ya, badannya sampai dingin gini, lho," ucapnya sambil mencubit sang anak dengan gemas.

"Bukan salah Raska, Sya. Aku yang mestinya nggak biarin dia main terlalu lama." Arka berucap cepat, takut Asya bisa memarahi Raska lebih jauh.

"Nggak apa-apa, kok. Lagian kamu mau bujuk gimana pun, kalau anaknya nggak mau berhenti, ya tetap nggak akan berhasil,"  kata Asya sambil menatap Arka. Ia sebenarnya tidak benar-benar marah pada anaknya, ibu muda itu hanya gemas.

"Bunda, mau bobo."

Suara si kecil tentu saja menarik perhatian ketiga orang dewasa itu. Mereka tersenyum melihat betapa menggemaskannya Raska yang kini bersandar penuh pada ibunya. Mata anak itu bahkan sudah terpejam, tampak sangat berat untuk terbuka.

"Astaga, udah tepar." Asya tertawa setelahnya benar-benar gemas pada anak semata wayangnya. Ia pun kemudian mengalihkan pandangan pada kedua manusia berwajah serupa itu.

"Kalau gitu aku bawa dia ke kamar dulu, ya," ucap  Asya yang kemudian berlalu menuju kamar putranya.

Melihat punggung ramping Asya semakin jauh dari pandangannya, Raka pun beralih pada Arka yang tepat di sampingnya. Untuk beberapa saat ia sempat terpaku melihat bagaimana Arka memandang tempat di mana Asya menghilang. Namun, Raka tidak ingin berburuk sangka dan memilih itu hal yang biasa.

"Makan,  yuk, Ka."

Kalimat Raka berhasil mengalihkan perhatian Arka, membawa kembali laki-laki itu pada kenyataan bila Asya bukan lagi miliknya. Raka yang berada tepat di sampingnya adalah bukti bila dirinya kini benar-benar telah kehilangan Asya.

Arka tidak menolak dan mengikuti langkah Raka menuju meja makan. Arka pun duduk di salah satu kursi di sana, tetapi hingga beberapa detik berlalu Arka belum menyantap apa pun. Beberapa kali ia menatap pintu dapur, menunggu kehadiran Asya untuk bergabung.

"Asya tadi sudah makan, sama aku," kata Raka sambil meletakkan segelas air minum di depan Arka.

Ucapan Raka membuat Arka sedikit tersentak. Ia sontak menggenggam erat sendoknya. Pikirannya benar kacau sampai-sampai dirinya berulang kali melakukan kesalahan seperti ini. Meski berkali-kali tertampar kenyataannya, Arka tetap saja lupa kalau dirinya di sini hanya pihak ketiga.

"Pantas kamu nggak ambil makanan, sudah ternyata." Arka berucap tanpa menatap Raka, malu akan tindakan bodohnya yang menunggu istri orang lain untuk makan bersama.

"Makan, gih. Setelah itu kita ngobrol bentar."

Raka kemudian beranjak dan duduk pada sofa di ruang tamu. Melihat Arka yang tampak linglung sejak tadi membuatnya semakin yakin bila saudaranya itu tidak baik-baik saja.  Setelah mampu bertahan sejauh ini,  mungkin sekarang adalah titik jenuh Arka.

Setelah beberapa menit berlalu, Arka pun akhirnya datang dan duduk di samping Raka. Laki-laki yang lebih tua lima menit itu tampak begitu penasaran dengan apa yang akan mereka bicarakan. Raka bahkan dapat menebak bila saudaranya itu tidak menikmati makanannya karena terburu-buru.

"Apa yang mau kita bahas?" tanya Arka tidak sabar.

Ia tidak dapat menebak apa yang akan adiknya itu bicarakan.  Namun, dari raut wajah Raka, tampaknya hal tersebut benar-benar serius.  Bolehkah Arka berharap ini berhubungan dengan rumah tangga Raka? Bolehkah Arka berharap bila Raka tidak lagi ingin bersama Asya?

"Kamu tinggal di sini mulai besok. Soal rumah,  kita akan kunjungi tiap awal bulan untuk memantaunya. Lalu untuk bengkel, kita tutup saja."

Arka cukup terkejut dengan kalimat yang baru saja didengarnya.  Selama ini,  tinggal satu rumah dengan anaknya memang telah ia impikan. Namun, ia tidak ingin mengusik rumah tangga Asya.  Lagi pula, ia tidak tahan bila harus menahan perasaannya.

"Aku sudah bilang akan tinggal di Jakarta, Raka."

"Dan terus tersiksa di sana?" tanya Raka yang kini menatap Arka begitu dalam. "Aku tahu semuanya, Arka. Untuk apa kamu bertahan di tempat yang tidak pernah menerimamu?"

Arka mengepalkan kedua tangannya. Apa yang dikatakan Raka memang benar, tetapi tinggal bersama Raka dan Asya bukan pilihan. Meskipun ia menginginkannya. Arka hanya takut tidak mampu menahan perasaannya.

"Aku tidak bisa tinggal di sini, Raka. Walaupun aku menginginkannya." Arka pada akhirnya mengatakan hal itu, tak mampu menemukan alasan lain. "Aku tidak ingin mengusik rumah tanggamu."

"Kalau kamu tidak berniat untuk merusaknya, maka semua akan baik-baik saja. Aku percaya denganmu dan Asya. Kalian sudah cukup dewasa untuk tidak kembali membuat kesalahan, bukan?"

Arka diam untuk beberapa saat tidak cukup yakin untuk menjawab. Tidak akan ada yang dapat menebak apa yang terjadi nanti, ia juga tidak tahu apakah sanggup menahan perasaannya dan ikhlas berada di antara Raka dan Asya. Namun, menetap di Jakarta lebih sulit. Ia tidak tahan lagi.

"Baiklah, aku akan pindah ke Bandung. Tapi, tidak tinggal di rumah ini. Aku akan cari kosan, atau tinggal sementara di rumah Kak Tian," ucap Arka pada akhirnya.

Raka mengangguk, menyetujui apa yang diputuskan saudaranya. Ia cukup merasa bangga dengan pilihan saudara. Keputusannya untuk mempercayai Arka tidaklah salah, kakaknya itu menjadi lebih baik setiap harinya.

"Entar, kita sama-sama ke Jakarta," ucap Raka yang kemudian mengakhiri obrolan mereka.

____

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top