CHAPTER 3
"Sudah punya pacar?"
Dahi Aluna mengerut nyaris di saat yang sama dengan terlontarnya pertanyaan dari interviewer yang dihadapinya. Berusia sekitar empat puluh tahun lebih sedikit, pria yang mengenalkan diri sebagai Ronald itu membuka sesi wawancara dengan pertanyaan yang tak biasa.
"Boleh saya bertanya balik?" tantang Aluna dengan nada berani.
"Sure."
"Apakah ada pengaruhnya jika saya memiliki seorang pacar atau tidak?"
"Jelas."
"Di bagian mananya, kalau berkenan menjelaskan?"
"Kami cukup berpengalaman dalam mempekerjakan wanita, dan saya tak ingin mengalami kesulitan yang sama. Kebanyakan karyawati biasanya menyisihkan sebagian waktunya untuk menghadapi teror komunikasi dari sang pacar, dan itu sangat kami hindari, meski sepele kadang sangat mengganggu profesionalitas dalam bekerja. Apalagi di sini, jam kerja fisioterapis mengikuti jadwal latihan atlet dan ... pelatihnya. Seringkali ... jadwal mereka ditambah beberapa jam dari yang seharusnya. Dengan kata lain, kemungkinan untuk lembur selalu ada."
"Oh."
"Kami menuntut performance yang prima dalam mendukung kejayaan atlet-atlet kami. Karena itu, segala hal yang berpotensi mengganggu konsentrasi divisi support seperti fisioterapis harus benar-benar kami hindari."
"Setiap interaksi via telepon dengan pihak luar dibatasi?"
"Di luar hal yang urgent."
"Termasuk selama bekerja, saya tidak diperkenankan untuk menggunakan ponsel?"
"Lebih tepatnya tidak menghabiskan waktu dengan sibuk sendiri ketika atlet tengah berlatih," tegasnya menjawab. "Kami selalu berpikir bahwa peran fisioterapis sangat vital di sini, bukan sekadar menerapi atlet yang cedera, tapi juga memiliki target untuk meningkatkan performance atlet."
"Wah ... begitu ya?"
"Sederhananya begini, ada seorang atlet yang cukup potensial. Tidak ada masalah kesehatan sama sekali, tapi fisioterapis memberikan serangkaian pelatihan yang pada akhirnya mampu membuat atlet itu bergerak lebih gesit. Bisa dipahami?"
Aluna mengangguk. Matanya menutup sejenak tanda berpikir dalam. Persyaratan pembatasan penggunaan ponsel agak menganggunya, apalagi Aluna tipe cewek masa kini, yang menganggap ketinggalan dompet lebih baik daripada lupa membawa ponsel.
"Bagaimana dengan karyawati yang telah menikah? Apa segala peraturan tetap sama?" Aluna mengembalikan pertanyaan ke sebelumnya, entah kenapa baginya cukup menarik mengetahui kebijakan pelatnas untuk hal yang satu ini.
"Kami merekrutnya sebelum menikah, biasanya setelah menikah mereka lebih gampang menyesuaikan diri mengikuti ritme kerja yang sudah kuat tertanam. Ada yang kuat bertahan, dan ada pula yang memutuskan resign."
"Hm."
"Boleh saya lanjutkan?"
Menggigit bibir bawahnya seraya berpikir, hanya anggukan yang bisa Aluna utarakan. Memangnya apa lagi?
Berbagai pertanyaan mengenai prosedur fisioterapis khusus untuk atlet meluncur tanpa jeda. Bersahut-sahutan seperti melempar serangan. Pertanyaan dijawab dengan pernyataan, tak jarang Aluna lah yang membalik tanya. Sanggahan dijawab argumentasi, dan contoh kasus dijawab Aluna melalui serangkaian rencana terapi, termasuk demonstrasi jadwal terapi beserta metode yang akan dia gunakan.
"Mbak Katya punya pacar?" Lelaki itu kembali ke pertanyaan asal. Rupanya bukan hanya Aluna yang penasaran terhadap kebijakan yang satu ini, tapi sang interviewer juga.
Kali ini Aluna memilih menjawab dengan gelengan, kemudian mengangguk. Tak yakin dengan jawaban yang akan ditunjukkan. Interviewer langsung memasang tampang lengkap dengan alis terangkat dan kerutan dahi.
"Gebetan," ucap Aluna pelan.
"Saya baru tau kalau seumur Mbak Katya masih mengenal istilah gebetan." Lelaki itu terkekeh, menunjukkan lesung pipit segaris di pipi kirinya. "Seandainya anda diterima untuk pekerjaan ini, bisa kami mendapatkan komitmen anda untuk mematuhi persyaratan tadi?"
"Hmm...." Aluna tampak memijit pelipisnya. "Berapa salary yang anda tawarkan?"
-oo0oo-
Tatapan ingin tahu jelas mengental di mata Aluna begitu memasuki ruangan luas yang disebut hall. Dia mengekori Ronald yang berkata akan menunjukkan sekilas arena latihan para atlet yang nanti akan ditangani jika dia sepakat dengan gaji dan jadwal kerja yang ditawarkan. Ada dua puluh satu lapangan berkarpet tersedia di dalam ruangan, digunakan bergantian. Jelas ruangan ini menarik minat Aluna ketimbang ruang fisioterapis yang barusan ditunjukkan Ronald.
Kepala Aluna berputar ke segala arah, seperti berharap memiliki delapan mata tambahan untuk menyimak semua aktivitas yang sedang berlangsung. Beberapa orang yang sedang asyik menonton latihan, menyampirkan handuk di leher atau memegang botol mineral sambil sesekali bertepuk tangan menyemangati. Sementara, atlet yang mendapat giliran latihan bergerak gesit ke segala arah datangnya bola, menyabet dengan raket, melompat dengan tinggi dan hampir semuanya berteriak bersamaan begitu berhasil memperoleh angka dari lawan. Di mata awamnya, kegiatan sekarang ini bukan hanya latihan, tapi lebih menyerupai medan perang. Derai tawa, pekatnya aroma keringat, sampai dengan desah kecewa kekalahan ditangkapnya dengan baik.
Berjalan perlahan, mengamati beberapa atlet yang berlatih tanpa terusik adanya orang baru yang berkeliaran. Mungkin sudah terbiasa dengan kedatangan tamu, pikir Aluna. Beberapa atlet yang sempat menoleh memberikan reaksi yang berbeda-beda. Ada yang tersenyum tanda kesopanan, ada yang terkesan ingin tahu, belum lagi yang melirik sekilas, selebihnya pasang tampang datar. Semua dibalas Aluna dengan senyum kecil dan anggukan kesopanan.
Ronald masih khusyuk menceritakan cedera yang biasanya menimpa atlet ditanggapi dengan anggukan atau deheman dari Aluna. Mereka berdua terus berjalan menuju pintu keluar hall. Tanpa Aluna sadari, dia baru saja melewati tempat dua lelaki yang baru saja mengakhiri sesi latihannya. Kembali Aluna menganggukkan kepala tanda menyapa. Akibatnya, Damar yang sedang menyeka keringat otomatis terhenti begitu pandangan mereka bertemu. Deg!
Princess? batin Damar.
"Wow ... mulus," decak Igor, mengembalikan Damar dari keterpanaan.
Aluna mengalihkan pandangan begitu saja. Seolah tak pernah menatap apa-apa, kemudian mengangguk lanjut mendengarkan penjelasan dari Ronald melanjutkan langkah menuju ke luar hall.
"Sialan!"
"What's up, Bro?" Igor melirik mata Damar yang terus bergerak mengikuti objek yang baru saja dicercanya. "Gadis itu? Siapa?"
"Ada deh," jawab Damar sok misterius. Jarak gadis itu dan pintu keluar tinggal sepuluh meter lagi.
"Ahelah! Lo kenal?" desak Igor menyenggol lengan Damar.
"Ehm..., " Damar memilih menggumam sendiri, kemudian menyahut pelan,"tetangga sebelah rumah gue."
Mata Igor mengerjap dua kali, jelas menunjukkan binar mata yang berisi ketertarikan. "Widih ... gak bilang-bilang lo, ya. Punya tetangga bening begitu."
"Mau ke mana?" tanya Damar melihat Igor yang melangkah meninggalkannya memaku tatapan pada gadis berambut sebahu yang sedikit lagi akan lenyap dari pandangan.
"Kenalan lah, apa lagi?" jawab Igor santai. Melenggang menuju pintu keluar dengan langkah cepat.
Tanpa ba-bi-bu, Damar merendengi langkah Igor yang penuh semangat, menyalip, dan berbalik untuk menghentikan langkah Igor dengan tubrukan. Igor terkesiap dan keduanya bersitatap. Ada kilat yang tak biasa melintas di mata Damar. Kemudian pandangannya sekali lagi berlari ke arah pintu keluar, di mana siluet gadis itu melintas sedetik yang lalu.
"What the hell are you doing?" tanya Igor bingung.
Damar yang semula menatap pintu kembali memaku tatap kepada rekan kesayangannya. Alisnya terangkat siginifikan, menatap tajam Igor dan berkata dengan nada tak ingin dibantah,"Jangan coba-coba sama yang ini. Menyingkir!"
Damar mengacuhkan reaksi Igor yang ternganga, kemudian berlari tangkas menuju pintu keluar. Seolah tak sedikit pun nyeri engkel paska drilling tadi tersisa.
Matanya menangkap Ronald yang berjalan dari arah pintu luar menuju wilayah perkantoran berada. "Mas Ron!" panggilnya.
Ronald menoleh,"Damar? Ada apa?"
"Gak papa, dari mana?" tanya Damar berusaha sesantai mungkin.
"Oh, baru ngantar pelamar kerja ke depan," jawan Ronald dengan pandangan menyelidik. Tak biasanya Damar kepo dengan aktivitasnya.
"Oh, oke!" jawab Damar seraya menepuk bahu Ronald dan lagi-lagi melesat menuju ruang depan, menemukan Aluna yang sedang tercenung memandangi bingkai besar berisi informasi mengenai legenda pebulutangkis Indonesia dari waktu ke waktu.
Aluna menolehkan kepalanya ke arah langkah yang barusan terdengar, menjumpai Damar yang berjalan perlahan mengikis jarak di antara keduanya.
"Mau pulang?" Damar menggaruk kepalanya sendiri begitu dua kata itu terlontar dari mulutnya. Gak ada kata-kata lain apa, ya jelas lah dia mau pulang, Mar!
Aluna menoleh ke sekeliling ruangan, tak menemukan orang lain selain dirinya. Dahinya sekali lagi mengerut mendengar pertanyaan. Entah kenapa hari ini dia banyak menerima pertanyaan yang membuat garis menua seakan ingin bertahta.
"Saya?"
"Ada orang lain di sini?" Damar malah membalik tanya.
"Oh ... iya," jawab Aluna pendek.
"Iya mau pulang atau iya gak ada orang lain?" kejar Damar.
"Iya, mau pulang," jawab Aluna. Kerutan di dahinya seakan tertoreh abadi.
Damar menggesekkan sepatunya ke lantai maju mundur, tanda jika dia sedang gugup. Kebiasaan di lapangan yang sering terbawa tanpa disadari. "Ehm ... Apa kabar?" ucapnya akhirnya.
Bukan hanya menoleh, kali ini Aluna berbalik sehingga posisi mereka berhadapan. "Hm ... baik," jawab Aluna dengan nada sedikit bingung.
"Nggak nanya balik?"
"Apanya?"
"Kabar." Demi Tuhan Damar langsung menggigiti lidahnya, menyesali kata yang dua detik lalu terlontar dari mulutnya. Kenapa seolah dia berharap ditanya balik?
Bunyi klakson tiga kali terdengar dari depan. Aluna memutar kepalanya ke arah pintu keluar yang terbuka dan menemukan mobil sedan biru metalik telah menunggunya. Jendelanya terbuka separuh dan lelaki di dalam mobil itu berseru,"Teh, ayo!"
"Dijemput?" tanya Damar lagi. Bingung harus bertanya apa.
"Ya...," jawab Aluna ringkas. "Permisi."
"Uhm ... oke."
Aluna bergegas karena mendengar bunyi klakson yang kali ini didengungkan tanda tak sabar. Sebelum dia mencapai pintu, sekali lagi Aluna membalikkan badan dan masih menemukan Damar yang menatapnya tanpa mengalihkan pandangan. "Soal kabar, saya merasa kita tak sekenal itu untuk saling bertanya," tandas Aluna melanjutkan langkahnya menuju mobil yang derumannya terdengar lebih nyaring dari biasanya.
"Crap! Gak kenal gue?"
-oo0oo-
"Buruan, Teh! Ya ampun," gerutuan pemuda berseragam putih abu-abu menyambut Aluna ketika mendaratkan bokong dan membanting pintu. Sedan biru itu langsung meluncur dengan cepat menuju pintu gerbang.
"Tumben lo yang jemput? Disuruh siapa?"
"Papah lah," jawab pemuda itu. Sesekali melirik pergelangan tangan tempat penanda waktu melingkar.
"Ngomong apa lagi lo?" tuntut Aluna langsung. "Gibran!"
Pemuda bernama Gibran yang merupakan salah satu sepupu Aluna itu langsung nyengir kuda. Menekan pedal gas sedikit lebih dalam begitu keluar dari pintu gerbang dan memasuki jalan yang lebih lebar. Tak lupa membunyikan klakson menyapa petugas gerbang dan bagian keamanan.
"Tadi Ayah Al cerita kalo Teteh lagi interview di sini, terus gue ngajuin diri jemput Teteh. Gitu aja."
"Lo pikir Teteh percaya?"
Gibran meledak dalam tawa. "Haaah ... ketauan banget, ya?" tanyanya retoris. "Teteh mau dianter kemana nih?" todong Gibran langsung.
"What?"
"Buruan putusin, Teh. Gue mesti muter ini ke sekolahan Wenna," desak Gibran lagi. Wenna adalah putri dari teman akrab orang tua Gibran, sekaligus gebetan abadinya.
"Owh ... jadi lo jadiin jemput gue sebagai alasan biar dikasih pinjam mobil Papa Agil? Trus gue ditelantarin dan lo bisa pacaran gitu," omel Aluna dengan gaya khasnya. Kemudian menoyor sisi kepala Gibran yang tengah berkonsentrasi.
"Ouch!"
"Mobil rongsokan lo mana?"
"Iya kali modusin cewek pake mobil butut begituan. Tega emang Papah. Pake mobil ini aja Wenna masih sok ogah, apalagi pake oplet," dengus Gibran merutuki mobil 'dinasnya' yang menurut anak muda zaman sekarang sudah ketinggalan zaman, makanya sering disebutnya oplet.
"Masih SMA aja pake pacaran!"
"Emangnya Teteh, sampe sekarang kerjaanya nge-friendzone anak orang!"
"Heh!"
"Bener kan tapi?" tuntut Gibran. "Jadi, Teteh mau ke mana?"
"Pulang."
"Yah ... jangan dong, Teh. Kalau langsung pulang, pasti ni mobil juga harus masuk kandang. Murah hati dikit sama gue napa, Teh, bantuin napa."
"Tadi ngeledek."
"Iya, maaf. Ayolah, Teh. Kalo bukan soal Teteh, mana mau Papah minjemin mobil ini. Ya ... ya ... ya."
"Ya udah, anter ke showroom-nya Judid aja," pinta Aluna. "Tapi, lo jangan bilang-bilang ya sama Papa Agil kalo Teteh ke sini. Apalagi ama Ayah."
"Sip ... nge-friendzone anak orang masih dilanjut ternyata."
"Gibran!"
-oo0oo-
"Pada hari di mana ibunya dimakamkan, Karen mengenakan sepasang sepatu berwarna merah untuk pertama kalinya. Sepasang sepatu berwarna merah mungkin tak pantas digunakan pada suasana berkabung namun ia tak punya pilihan lain. Tanpa mengenakan kaus kaki ia berjalan mengikuti iringan peti mati yang terbuat dari anyaman jerami." Aluna menarik napas sejenak, sembari memastikan recorder di tangannya sudah dalam posisi merekam.
"Dalam perjalanan seusai pemakaman itu, sebuah kereta yang megah melaju dan seorang wanita tua duduk di dalamnya. Sang Ratu memandangi si gadis kecil dan nalurinya merasa kasihan lalu ia bicara pada kusirnya, 'Berhenti di sini, dan bawa gadis kecil itu ke sini. Aku ingin mengajaknya tinggal denganku...'
"Beruntung banget si Karen."
Aluna mendongak, sudut bibirnya otomatis tertarik begitu menemukan siapa yang sedang menyela kesibukannya. "Hai...."
"Udah lama? Buku apa kali ini?" Judid mengambil tempat di sisi kiri Aluna, berjarak kira-kira semeter.
"HC. Andersen, Kutukan Sepasang Sepatu Merah judulnya. Oma Hani lagi pengen dongeng klasik." Selain merawat para lansia lewat fisioterapi, kadang Aluna sering merekam bacaan tertentu untuk diperdengarkan kepada mereka. Minat baca mereka yang tinggi, namun tak didukung oleh kemampuan melihat yang optimal membuat Aluna memilih untuk merekam bacaan sebagai solusinya.
"Ntar kalo kelar ngerekam, gue minta."
"Buat apa?"
"Buat ngusir nyamuk lah."
"Ish ... emang suara gue lo kata Bayg*n?"
"Haha ... nggak, cuma penasaran aja, kok para oma itu ketagihan denger suara lo? Jangan-jangan lo rekamin yang aneh-aneh lagi."
"Judid! Please ya, yang gue bacain ini dongeng dunia. Bukan cerita erotis yang dulu suka rame-rame lo sama temen-temen cowok baca di belakang kelas ya," sindir Aluna telak.
"Hahaha ... aib zaman SMA itu, namanya juga cowok," bela Judid. "Kalo lagi nggak fakir kuota malah bisa buka videonya."
"Heum ... cowok dengan segala keunikan otaknya ya. Menghalalkan kondisi kalo berhubungan dengan yang begituan," dengus Aluna.
Inilah salah satu yang membuat Judid dan Aluna betah bersahabat meski statusnya masih jalan di tempat. Aluna tak segan mendengarkan kenistaan otak lelaki lalu menampilkan ekspresi jijik, tapi dia pintar mengubahnya menjadi celaan sarkastik yang tidak membuat Judid malu untuk berterus terang. Termasuk menceritakan soal mimpi basah pertamanya dulu, yang berujung pada Aluna berkeliling ke setiap teman lelaki di kelas hanya untuk bertanya: sudahkah mereka mengalami mimpi basah dan siapa objeknya. Yeah ... absurd sekali kelakuan Aluna, tapi ... Judid cinta.
"Gue nggak mau tanggung jawab ya kalo lo pingsan gara-gara nyium bau gue kayak dimandiin oli," lanjut Judid, meneguk air mineral dari botolnya langsung. Nyaris menghabiskan setengah botol. "Lo 'kan paling ogah dekil-dekilan gini."
Tangannya menyeka keringat yang menganak sungai di pelipis, meninggalkan noda kehitaman yang tak disadarinya ikut tercoreng di sekitar alisnya. Aluna terkekeh memandangi Judid versi dekil di depannya. Mengenakan baju kaus berwarna abu-abu tanpa lengan, lengkap dengan celana panjang berkantung banyak yang dari dalamnya mencuat beberapa jenis obeng, tang kecil dan kunci dalam berbagai ukuran. Kelihatan lelah dan agak dekil, tapi ekspresi kepuasan jelas bisa terbaca.
"Ngoprek mobil lagi?"
Tawa berderai terdengar dari bibir Judid,"Entah kenapa, kalau denger lo ngomong ngoprek itu kayaknya yang gue kerjain mobil bobrok."
"Emang iya kali, kalo mobil bagus 'kan sayang banget kalo lo utak-atik. Kalo malah jadi rusak gimana?"
Tangan Judid otomatis bergerak menjitak kepala Aluna. "Ouch!"
"Sakit tau!"
"Ye ... kalo gue gak mampu, gak mungkin kali dipercaya jadi mekanik utama di sini. Lo tau kan nyokap gak sembarangan rekrut karyawan. Kalo gue gak oke ya bakal ditendang juga."
"Hahaha ... iya, tapi lo jadi yang duduk di belakang meja, ngitungin duit."
"Sialan! Gue gak hobi begituan."
"Gue tau," balas Aluna lembut. Matanya berbinar hangat. Aluna selalu suka mendengarkan Judid bercerita tentang hobinya yang satu ini. Sebagai putra pemilik showroom mobil terkemuka, Judid sama sekali tak tertarik belajar sisi management dari usaha yang dirintis dari nol oleh kakeknya, yang kemudian dipegang tampuk kekuasaannya oleh ibunya. Dia justru memilih peran sebagai mekanik utama di bagian reparasi. Rela berkutat dengan rewelnya mesin dan tumpahan oli. Makin berat kerusakan yang dihadapi, makin semangat dia menguliknya. Walau terkadang tampak kucel dan dekil akibat pekerjaannya, Aluna justru mengagumi Judid yang mampu menjadikan passion sebagai pekerjaan utamanya. Karena dia tahu, tak banyak orang yang bisa memilih jenis pekerjaan, ada lowongan pun biasanya sudah diperebutkan puluhan bahkan ratusan orang. Maka, beruntung lah Judid yang sedari sekolah menengah suka mengutak-atik mobil tua peninggalan kakeknya. Hobi yang kemudian mengantarnya mengejar skill sebagai mekanik unggul saat keluarga mendukung pilihannya.
"Trus sekarang lo mau ngapain? Udah makan?" tanya Judid.
Sebaliknya, hal yang membuat Aluna betah berlama-lama 'tinggal' di sisi Judid adalah sisi perhatiannya. Tak peduli status apa yang ada di antara mereka, Judid tak pernah alpa mengecek hal-hal kecil sebagai bentuk perhatian yang masih saja membuat Aluna suka melayang sendiri.
"Masih kenyang, Did. Emang kerjaan lo udah kelar?"
"Belum," keluh Judid. "Susah banget dicari ini salahnya di mana. Udah ngecek engine-nya, karburator, aki, terus juga switcher starter-nya, tetap aja belum nemu di mana salahnya." Judid menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan sampai terdengar bunyi seperti patah di lehernya. "Tapi makin nggak mau nyala, makin penasaran gue," lanjut Judid bersemangat.
"Jangan suka ngegerakin pala kek gitu, tar gak bisa balik gimana?" gerutu Aluna. "Ya ... udah gue bisa bantu apa?"
"Lo duduk manis aja di dalam, selesein rekaman lo. Ntar kalo udah mulai lapar panggil gue, biar gue mandi dan kita bisa makan." Judid menggamit lengan Aluna, mengarahkan ke ruang tempat biasanya Judid beristirahat.
"Gue nemenin lo aja di bengkel."
"Jangan! Tar anak buah gue kerjaannya gak kelar-kelar lagi. Ngeliatin lo mulu. Lagian ...-"
"Apa?"
"Lagian lo mahal buat gue," celetuk Judid pelan. "Ogah gue bagi-bagi pemandangan."
Sembilan tahun lamanya, dan Aluna masih bisa tersipu malu karena kata-kata sederhana Judid.
-oo0oo-
"Hallo, Yah?" Aluna mengangkat ponselnya yang berdering nyaring.
"Teh, di mana?"
"Eng ... lagi makan ini sama Gibran."
"Hallo, Princess?" Rupanya ponsel berpindah tangan.
"Eh, Papa Agil? Kenapa?"
"Kamu di mana? Biar Papa Agil jemput."
Agil, adalah om kesayangan Aluna yang irit kata-kata, selalu to the point dengan maksudnya.
"Eh ... nggak usah, Pah. Ntar balik sama Gibran aja."
"Princess...," panggil Agil pelan. "Nggak usah bohong. Ini Gibran udah di rumah."
"Hah?" Refleks Aluna mengeluarkan kata-kata karena terkejut.
"Iya, barusan Papa Agil dipanggil pihak sekolah. Gibran gebukin anak orang di sekolahnya Wenna," jawab Agil dengan nada datarnya. "Jadi kamu di mana?"
Ketauan.
Mati!
Note:
Hehehe...entah masih ada yang menunggu cerita ini apa engga. Mungkin saya kehilangan moodboster buat nulis nih. Bisa bagi judul drakor yang oke? Yang bisa bikin senyum2 sendiri gitu bukan yang bikin ngerutin dahi?
Ya ... udah gitu aja, saya minta maaf kalo yang ini bener-bener slow update. Selain mood nulis, saya juga udah mulai tenggelam di APBD-Perubahan T.T Maaf kalo hasil nulisnya kurang memuaskan :'(
See u soon, enjoy the story. Kiss kiss :* :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top