CHAPTER 2


Aroma perang dingin jelas masih menguar di meja makan pagi itu. Empat dari lima personil keluarga Aldebaran Bachtiar memindahkan makanan yang tersaji di meja tanpa suara. Kemudian seakan berlomba menghabiskan lebih dahulu untuk beranjak dari meja besar berbentuk oval. Seakan semakin lama di sana, maka semakin terintimidasi rasanya.

"Astaga...," gerutu Kalila setelah menerima piring kosong dari suaminya. Keempatnya serentak menoleh ke arah Kalila yang melanjutkan dengan decakan. "Ck. Tolong ya, tolong! Ini yang lagi makan satu keluarga atau segerombolan musuh?" lanjutnya seraya meletakkan tangan di pinggang.

"Teteh, Kaka, Defka," lanjut Kalila dengan nada mengancam. "Bunda nggak abis pikir, kenapa kalian sampai senekat itu ngebantah perintah orang tua. Asal tau aja, Ayah sama Bunda itu ngelarang karena emang nggak suka kalo Teteh sampai pergi ke tempat begituan!"

"Mau gimana lagi, Nda. Itu kan acaranya Emma. Dan bukan salah Luna 'kan kalo dia ngadain di sana," jawab Aluna dongkol.

"Harus gitu datang ke sana?"

"Ya ... kayak Bunda aja gimana, kalo temen Bunda ngundang jauh-jauh hari. Biar kata tempat acaranya di night club, emang enak nggak dateng?" Aluna malah membalik tanya.

"Nda, 'kan Teteh jujur juga. Kalo misalnya Teteh ngaku acaranya di kafe, padahal aslinya di night club, apa nggak lebih parah?" bela Defka yang merasa ikut tertekan akibat perlakuan protektif orang tuanya.

"Ayah nggak pernah ngajarin buat bohong ya, De," sergah Al seketika.

"Makanya itu, Teteh jujur dan memang hanya menghadiri. Nggak macem-macem juga," tambah Kafka ikut membela.

"Kalian ini, soal urusan bela membela pasti jagonya." Al memijit pelipisnya. "Sudah tempatnya ngawur, pakai cara kabur pula."

"Semua ini nggak bakal kejadian kalo Ayah nggak ngelarang," ucap Aluna dengan nada tertekan. "Dan Luna yakin, separo alasan Ayah ngelarang itu karena Luna pergi sama Judid 'kan? Iya 'kan?" berondong Aluna yang kemudian berdiri dan berbalik badan menuju tangga.

"Teteh, duduk!" perintah Al dingin.

Aluna menghentikan langkah, kemudian berbalik menatap tajam ke arah ayahnya. Butiran air mata yang tadinya hanya menggenang tiba-tiba sudah meluncur melewati kedua pipinya.

Al terkesiap, dadanya terasa terhimpit saat menemukan mata putri kesayangannya berkaca-kaca. Rasa bersalah langsung menjalar dan menghinggapi sekujur tubuhnya, membuatnya ingin berdiri dan segera mendekap Aluna agar bisa menghentikan tangisnya. Tapi, Al tahu, kelemahan dia yang seperti ini akan selalu dimanfaatkan Aluna. Aluna mewarisi kemampuan memanipulasi perasaan orang lain agar iba dan menuruti kehendaknya. Mungkin bakat ini diturunkan dari Agil, om kesayangan yang selalu dipanggilnya papah.

"Teh," panggil Kalila pelan. "Duduk dulu, Sayang. Kita belum selesai bicara."

Defka berdiri dan merangkul bahu Aluna yang turun naik akibat isakan. Membimbing Aluna agar kembali duduk di kursi yang sebelumnya ditempatinya.

"Teh, jangan ngambekin Ayah kek gini. Nanti Ayah sedih dan uang jajan gue sama Kaka dipotong semena-mena," bujuk Defka pelan.

Aluna memutar mata. Mengenali latar belakang Defka mau merangkul dan ikut membujuknya adalah semata karena ketakutan akan disunatnya uang bulanan dari ayah mereka. Mau tak mau Aluna duduk kembali di tempatnya, karena berisiko untuk keras kepala. Bisa jadi ATM-nya yang dikuras kedua adik kembarnya. Apalagi upah berupa sepatu sport keluaran terbaru juga belum ditunaikannya, iming-iming karena membantunya kabur dan menikmati pesta meski ujungnya tertangkap tangan juga.

"Ayah bukan ngelarang kamu karena Judid, Teh. Ayah itu khawatir," jelas Kalila dalam suara membujuk. Kali ini Aluna memilih diam membisu, tak menanggapi apa pun bujuk rayu bundanya. "Ayah takut kalo kamu kenapa-kenapa di tempat begitu. Lagipula, nggak baik anak gadis kelayapan sampai jam segitu."

Aluna hanya bereaksi dengan meremas tangannya. Lebih pada diam merajuk daripada mendengarkan. Hatinya sakit, bukan karena larangan ayahnya yang tak bisa dibantah, tapi lebih pada dia merasa tak pernah dipercaya. Dua puluh empat tahun dan tetap diperlakukan seperti anak kecil yang tak mampu menjaga diri sendiri jelas lebih melukai harga diri Aluna. Selain itu, dua picture sepatu berbeda warna dan merek yang subuh-subuh dikirimkan Kafka dan Defka via chat grup keluarga Bachtiar seakan menambah rayap di kepalanya, masalahnya harga kedua sepatu itu nyaris menghabiskan gaji bulanannya.

Hati dan otak digerus-gerus ini mah, batin Aluna.

Sementara Al sedang berperang dengan perasaannya. Sejujurnya, dia tahu bahwa Aluna bisa dipercaya, gadis itu mampu sekali dalam menjaga dirinya sendiri. Alina, tantenya, sudah mengajarkan taekwondo sejak Aluna menginjak usia remaja. Pun soal minuman, Al tahu persis bahwa Aluna takkan berani menyentuh hal seperti itu, bahkan hanya sekadar mencicipi. Rasa penasaran Aluna tak berlaku untuk hal-hal seperti itu.

Tapi, jauh di lubuk hati Al, dia sendiri merasa ketakutan akan waktu yang terus berjalan. Karena konsekuensi dari melesatnya masa kecil Aluna menjadi dewasa, dan jika suatu saat putri kesayangannya itu dipinang seorang pemuda yang mampu membuat binaran di mata Aluna menjadi hidup, di saat itu lah Al dan Kalila harus memberitahu rahasia yang mungkin menyakiti Aluna.

Tentu saja, Al tak siap dan takkan pernah siap untuk hal itu. Menyakiti perasaan putrinya adalah hal terakhir yang mampu Al lakukan di dunia.

-oo0oo-

"Bukan orang lain, Damar, tapi kamu sendiri yang harus menaklukkan ketakutanmu." Pelatih ganda putra Indonesia, Koh Wawan, memulai pagi dengan petuah berharga bernada peringatan yang jelas gagal disembunyikan.

Damar mengembuskan napas sebagai tanggapan, menangkap dengan jelas bahwa posisinya sebagai partner Igor terancam diganti jika dia masih tak bisa mengatasi cedera pergelangan kaki yang banyak mengganggunya di pertandingan terakhir. Trauma yang dia dapatkan saat pertarungan babak final dua tahun silam mengakibatkan tak sempurnanya Damar melakukan vertical jump, sehingga shuttlecock hasil lob panjang dari lawan lebih sering melintas di atas kepalanya dan jatuh di arena permainan ketimbang mendapatkan serangan balasan. Semakin tinggi Damar melompat untuk mengejar shuttlecock, maka semakin nyeri pergelangan kakinya itu ketika mendarat. Lawan yang sudah berulangkali tanding jelas sudah hapal dengan kelemahan Damar yang satu ini. Meski Igor kerja keras menghadang, tetap saja ada beberapa serangan yang lolos dan parkir dengan cantik di area belakang.

"Iya, Koh," jawab Damar. Bingung harus seperti apa lagi.

"Langsung pemanasan. Habis ini kita drilling," titah Koh Wawan.

Igor menepuk bahu Damar,"Lo pasti bisa, Bro!" ujarnya singkat. Kalimat yang sederhana, namun berisi muatan positif kepercayaan terhadap rekan mampu mendongkrak mental yang tadinya sedikit down.

Keduanya segera berlari mengelilingi lapangan sebagai tanda memulai pemanasan. Disaksikan sudut mata Koh Wawan, yang berbinar melihat semangat Damar yang tetap menyala meski kondisinya tak seratus persen prima.

-oo0oo-

"Jadi, sampe kapan mau kerja di situ, Teh?" Kalila membuka pembicaraan seraya menepuk punggung Aluna yang tengah tengkurap di kamarnya.

"Hmm ... sampai bosan, Nda."

"Bosan itu kapan?"

"Pas ngerasa udah boring, Bunda."

"Boring-nya kapan?" kejar Kalila.

"Ish ... Bunda, masa boring direncanain sih? Kalo di-planning itu namanya travelling, bukan boring," sungut Aluna.

"Ya kali gitu, Bunda 'kan pengen kamu kerja deket-deket sini aja," bujuk Kalila dnegan nada lelah. Sudah sekian kali topik ini menjadi pembicaraan, tapi Aluna selalu berkelit dengan segala macam kemampuan argumentasinya yang entah dia dapat dari mana.

"Ayah sama Bunda itu pengen kamu kerja di AlMedika aja, Sayang."

"Males. Gak ada tantangannya."

"Emang yang sekarang penuh tantangan?" sergah Kalila. "Yang diurusin 'kan itu-itu juga."

"Ah ... Bunda, 'kan rasanya gimana gitu kalo liat oma opa itu pada bisa jalan lagi, atau paling nggak ngelangkah maju mundur sedikit."

"Trus di rumah sakit emangnya nggak ada pasien nenek-nenek?" kejar Kalila.

"Ada sih, tapi tetep aja. Suasananya beda, tantangannya juga beda, Nda," ngotot Aluna. "Lagian, dulu pas Aluna mulai kerja di situ, Bunda nggak komplain, kenapa sekarang?" cerocos Aluna.

"Yah ... Bunda 'kan sama kayak orang tua yang lain, Teh. Kalo bisa anaknya deket terus, kenapa mesti jauh," jawab Kalila dengan mata menerawang. "Kan perjanjiannya kemarin itu cuma kuliah aja yang jauh dari kita-kita," lirih Kalila, hal yang selalu dilakukannya agar Aluna terketuk hati dan merasa bersalah. Senjata yang juga sering dibalikkan Aluna dengan metode serupa.

"Ya, mau gimana lagi. Habis lulus, langsung keterima di situ, Nda. Kan artinya orang ngakuin kemampuan Aluna, kalo di AlMedika tekanannya banyak, Nda," keluh Aluna.

"Maksud Teteh?"

"Aluna nggak pengen aja gitu, dibilang bisa masuk AlMedika gegara anaknya Ayah. Terus, kalo hasil kerja Aluna nggak oke, nama Ayah juga yang kena imbasnya. Mainan nepotisme."

"Tapi 'kan kita tau kualitas kamu, Teh."

Aluna membalikkan badan, kemudian duduk dengan memeluk lutut di hadapan Kalila. "Jadi, Bunda tuh maunya gimana?" tuntut Aluna dengan mata sedikit berembun, mengedepankan nada lelah agar Kalila balik merasa bersalah.

Kalila langsung meremas-remas kedua belah tangannya yang ditautkan. Kondisi seperti ini, entah kenapa hatinya tak bisa tahan menghadapi politik cantik dari Aluna.

"Bunda sama Ayah mau kamu kerja di dekat sini. Terserah kalau nggak mau di AlMedika, yang penting tiap weekend masih bisa pulang ke rumah, bagus lagi kalau tiap hari pulang," sergah Al yang sengaja melintasi kamar Aluna yang terbuka pintunya.

Mulut Aluna langsung membentuk cebikan. Bagaimanapun, dia sengaja masih menerapkan mode merajuk pada ayahnya. Ketimbang menghadapi amukan Al yang pada saat-saat tertentu mengerikan, lebih baik menancapkan pengaruh ngambek lebih dahulu. Akal bulus Aluna memang jelas meniru orang-orang di sekitarnya.

"Kamu nggak mau gitu nemenin Ayah nonton?" bujuk Al yang akhirnya masuk dan ikut nongkrong di kamar putri kesayangannya.

"Nonton apa?" Dengan nada ogah-ogahan Aluna bertanya, berusaha menyembunyikan rasa tertarik yang kental di suaranya.

"Film terbaru yang udah kamu tunggu sekuelnya," lanjut Al dengan nada tak acuh. "Kalo kamu nggak mau, ya berarti kamu jaga rumah," ucap Al seraya mengedipkan mata kepada Kalila.

"Kaka, Dede, udah siap juga, Yah?" tanya Kalila dengan nada polosnya, seolah menonton film di bioskop ini sudah jadi agenda rutin, bukannya salah satu cara untuk menaklukan hati Aluna agar melupakan aksi ngambeknya.

"Sudah meluncur duluan malah, jemput si Gibran sama Algis." Kentara sekali Al menahan senyum saat mengucapkan kata-kata terakhirnya. Sedang Aluna mulai menegang ketika telinganya menangkap bahwa kedua sepupunya akan turut serta menghabiskan waktu dengan orang tuanya. "Reval dan Gaza juga sudah on the way."

Demi yah, bisa banget caranya, rutuk Aluna dalam hati.

Melewatkan film superhero favorit mereka, apalagi menahan rasa sebal ketika adik dan para sepupunya ribut mendebatkan adegan demi adegan setelah selesai menonton tentu saja bukan pilihan bijak bagi Aluna. Ketika dia di luar kota, dan bocah-bocah—yang sebenarnya sudah tak pantas disebut bocah—itu jadi kompor mleduk adalah urusan berbeda, tapi mendengarkan ocehan mereka sementara Aluna harus menjadi satpam di rumah sendiri dan hanya bisa menyumpah-nyumpah setiap melihat chat mereka itu setara dengan kiamat kecil baginya.

Matanya mengerjap beberapa kali, kemudian berdeham dua kali. "Ya udah, aku ganti baju dulu. Nggak mau keliatan kayak upik abu," dengus Aluna mengsiyaratkan agar kedua orang tuanya keluar dari kamar.

Kalila pun menyamarkan tawa dalam batuknya yang terdengar menggoda.

-oo0oo-

Damar melatih foot work-nya dengan beberapa kali lari belak-belok yang sering diistilahkan dengan zig zag run. Beberapa kali melakukan vertical jump, sampai di batas mana ankle-nya mulai terasa sedikit mengganggu.

Koh Wawan sudah siap di posisinya, senjata berupa tumpukan shuttlecock sudah siap untuk diluncurkan. Begitu Damar mengangguk, Koh Wawan mulai memukul shuttlecock dengan berbagai variasi arah dan kecepatan. Damar bergerak gesit ke sana kemari menyabet setiap shuttlecock yang dikirimkan kepadanya.

"Kiri!" tuntut Koh Wawan.

Damar bergerak secepat mungkin ke kiri.

"Kanan!"

Memaksa ankle-nya untuk terbang ke sisi kanan arena permainan.

Tempo latihan mulai terasa makin cepat, beberapa kali Koh Wawan memberikan dropshot menyilang yang menuntut Damar harus mengejar sampai ke ujung arena dan melakukan sedikit lompatan untuk mengembalikan. Keringat deras meluncur dari pelipisnya, tak diacuhkannya lagi karena matanya terfokus pada arah shuttlecock yang datang tanpa bisa diduga, dan parahnya lagi tanpa jeda.

"Lompat!" hardik Koh Wawan.

Lob panjang mulai dilancarkan Koh Wawan, menuntut kesediaan Damar melakukan vertical jump untuk mematikan bola. Belum lagi bola-bola tanggung yang sesaat kemudian dihantamkan, sehingga Damar harus memaksa fisiknya menyambar sampai ke depan net. Hilir mudik, depan belakang, kiri dan kanan, Damar bergerak cepat menghadang dan mementalkan setiap kiriman bola.

"Depan!"

"Net!"

"Hayo!"

"Cepat, Damar, cepat!"

Igor mengamati dengan saksama, jelas mengerti bahwa saat yang ditunggu akan segera tiba. Koh Wawan mulai menerapkan bola-bola tinggi menyilang tanpa henti, memaksa Damar selalu melompat dengan tinggi untuk memukul bola. Kerut di dahi Damar sudah cukup menjelaskan bahwa dia sedang berusaha keras mengembalikan bola seraya menahan pergelangan kakinya yang mulai meneriakkan rasa nyeri.

"Lompat!"

"Lebih tinggi lagi!"

"Masa' cuma segitu!"

Berbagai umpatan dan teriakan mewarnai sesi drilling pagi ini, yang tentu saja berasal dari mulut bocor Koh Wawan. Sementara Igor justru menahan napas demi melihat perjuangan partner sejatinya dalam mempertahankan posisi.

Tepat ketika serangan balik dari Damar mulai memelan, saat itulah Igor masuk ke lapangan dan menyambar bola tinggi terakhir dari Koh Wawan. Sementara Damar terkapar telentang di lapangan dengan napas terengah dan tangannya yang memegangi erat engkel kirinya.

"Oke, cukup!" putus Koh Wawan yang kemudian mendekati Damar yang telentang. Meluruskan kaki yang tadinya ditekuk Damar agar tangannya mampu meraih pergelangan kaki. Dengan telaten dilepaskannya sepatu dan kaos kaki Damar yang basah penuh keringat. Kemudian meraih telapaknya untuk digerakkan, menghindari terjadinya kram. Muka Damar meringis dan berusaha kuat untuk menahan jeritan dan sumpah serapah yang siap dimuntahkan akibat rasa nyeri yang menyerang.

Dalam diam, Igor mengamati kelakuan Koh Wawan. Meski terkesan kejam, pelatih yang satu ini tak segan menerapi sendiri atlet binaannya. Dilihatnya dengan mata kepala sendiri, Koh Wawan mulai mengompres engkel Damar yang kelihatan meradang.

"Ma ... makasih, Koh. Ma ... maaf," ucap Damar terbata.

Koh Wawan tersenyum hangat,"Vertical jump kamu hari ini sudah mendingan dibanding permainan kemarin. Yang penting harus latian dan mengalahkan ketakutan kamu," jawab Koh Wawan. "Percaya kalo engkel kamu itu bisa sembuh." Tangannya melambai pada salah seorang fisioterapis yang membawa seperangkat peralatan portable untuk menerapi Damar. Koh Wawan kemudian berjalan menunduk meninggalkan anak didiknya, berusaha berpikir keras solusi untuk Damar tentu saja. Fisioterapi jelas sudah menjadi kunci, tapi motivasi untuk sembuh yang belum Damar peroleh saat ditangani oleh ahlinya.

"I am sorry, Bro," gumam Damar pelan.

"Kita itu tim, dan kesakitan salah satunya adalah kesakitan bersama," tegas Igor yang lalu sibuk membantu fisioterapis menerapi lutut Damar. "Gue mending milih jadi ganda campuran kalo bukan sama lo," celetuk Igor menyemangati.

"Hahaha ... kelakuan lo! Bisa banget."

"Jelas, kalau ganda campuran paling gak bisa dimodusin. Pas beruntung, bisa liat dia di ruang ganti," kekeh Igor bercanda, mencoba membuat Damar lupa dengan keadaan. "Kalo sama lo?" Igor mencebikkan bibir seolah jijik.

"Jadi lo ogah partner-an lagi sama gue nih? Milih sama cewek begitu?"

"Sebebas penafsiran lo aja lah, Mar," balas Igor cuek. "Padahal gue yakin, lo juga gak keberatan diajak ngintipin Adhis ganti kostum."

"Nah ... itu lo tau!"

"Buruan beresin kaki lo itu, cewek cantik mana mau kencan sama orang pincang!"

"Emang lo udah ada target lagi?" tanya Damar tak sabar.

Igor mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto salah satu gadis yang mulai aktif berbalas komentar di instagramnya.

"Boljug eh, tsakep euy!"

"Makanya, dia punya temen satu lagi. Gak kalah semlohe. Urusan kaki lo beres, kita langsung cao ke pelukan hangat mereka gimana?"

"Gila! Lo kagak liat jadwal latian. Buat pipis aja nyaris gak bisa." Damar berdecak hiperbola.

"Psst ... gue udah ngincer weekend minggu ketiga. Ada jeda enam jam dari latian pagi ke malam."

"Keren! Jeli banget lo liat peluang."

"Gue gitu lho!" sahut Igor menepuk dadanya tanda jemawa. "Yang penting latian oke, kaki lo sembuh. Koh Wawan pasti ngasi waktu buat kita menikmati kehidupan," lanjut Igor mengangkat jemarinya membentuk tanda kutip.

"Yoi," sahut Damar menaikturunkan alisnya tanda setuju.

Keduanya kemudian tertawa lepas, karena tahu pasti bahwa duet maut mereka adalah yang terbaik di skuad ganda putra. Demi melihat tawa Igor yang jelas timpang antara warna gigi dan kulitnya, Damar berjanji untuk segera mengatasi masalah cedera yang menghantuinya. Dan tentu saja, bonus kencan buta hasil buruan Igor di social media.

-oo0oo-

"Fisioterapis di pelatnas?" Aluna bergumam seorang diri ketika menemukan email yang dikirimkan oleh salah satu situs pencari kerja. Setting otomatis dari situs itu memungkinkan Aluna mendapatkan kabar terbaru tentang lowongan pekerjaan yang sesuai dengan basic pendidikannya. "Urgently requirement."

"Ngapain, Teh?" Defka menyodorkan secangkir cokelat panas yang masih mengepulkan asap kepada kakaknya.

"Ngeliat lowongan nih," jawab Aluna sekenanya. Memilih untuk menyeruput cokelat hangat yang dihidangkan adiknya.

"Fisioterapis di pelatnas?" tanya Defka seraya berpikir. "Teteh tertarik?"

Aluna menjawab dengan mengangkat bahu. "Paling nggak posisinya di Jakarta."

Defka langsung menangkap arah pembicaraan. "Nanti gue bantu ngomong sama Bunda, biar Teteh nggak perlu resign dari pekerjaan sekarang," lanjut Defka. "Biar kata tetep seruan kalo ngumpul, tapi 'kan passion orang beda-beda."

"Ooh," timpal Kafka yang masuk kemudian. "Tapi, fisioterapis di pelatnas juga kayaknya seru, Teh. Lo bisa jelong-jelong gratis ke luar negeri."

"Emang kayak gitu?" tanya Aluna yang tiba-tiba tertarik.

"Yah ... kan biasanya diajak sebagai bagian dari rombongan atlet. Mereka main di Cina, ya ... lo berangkat ke Cina, mereka tanding di Malaysia, ya ... lo nangkring di Malay. Mereka perang di Palestina, lo...-"

"Ngawur!" sela Defka terbahak. "Lo kira mereka pasukan perdamaian," kekeh Defaka yang terguling-guling di kasur Aluna. Sementara si empunya kasur masih menggigit jari di depan laptop, kebiasaan Aluna saat berpikir.

"Kalo Ayah tau, gue bakal di-support nggak, ya?"

Kafka dan Defka berpandangan. Keduanya tahu persis bahwa yang diinginkan kedua orang tua mereka spesifik, yaitu Aluna yang selalu bisa pulang ke rumah. Dengan menjadi fisioterapis di AlMedika misalnya. Menjadi fisioterapis di pelatnas mungkin akan membuat Aluna justru lebih jarang pulang ke rumah.

"Ah ... sudahlah, kayak pasti lolos aja," gumam Aluna menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk menghilangkan pegal. Lalu beranjak ke ruang bawah untuk makan malam bersama, tanpa tahu Kafka dan Defka sepakat mengedit sedikit kemudian mengeklik tulisan apply pada situs pencari kerja tersebut. Keduanya mengedip jahil dan ber-high five setelahnya.

Teriakan Aluna mengudara beberapa hari kemudian, sesaat setelah percakapan via ponsel selesai dilakukan. Interview untuk menjadi fisioterapis pelatnas akan dilakukan esok harinya. Cakaran tajam mendarat di tangan kedua adiknya, yang jelas memasukkan nama Aldebaran Bachtiar sebagai jaminan kualitas Aluna.


NOTE:

Hujan di tempat saya, di tempat kalian gimana?

Eum ... sebelumnya saya minta maaf, ada salah satu warga wattpad yang menegur kelakuan saya yang jarang balas komen dari pembaca atau hanya membalas orang-orang tertentu saja. Jujur, saya sama sekali tak bermaksud sombong atau pilih-pilih, semua itu terkekang sama waktu kerja saya yang kezemnya kadang melampaui Nenek Tapasya. Haha...

Saya biasanya abis update, saya tinggal untuk melakukan aktifitas yang lain. Kemudian balik untuk main wattpad dan balesin komen yang biasanya bernada pertanyaan. Kalau kelakuan saya ini dianggap kurang menghargai kalian, saya minta maaf banget dari lubuk hati yang paling dalam.

Di dunia orange ini, saya pengen memperbanyak teman, Alhamdulillah kalo bisa jadi sahabat. Terima kasih untuk yang sudah mengingatkan, semoga ke depannya saya semakin baik dan juga bisa menjadi teman kalian^^

Semoga kita tetap bisa bersilaturahmi ya, enjoy the story and kiss :* :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top