CHAPTER 13
"Kudu ada alesan kuat nyuruh gue jauh-jauh liburan ke sini."
Aluna mengempaskan diri di sofa ruang keluarga, mengabaikan omongan lelaki berkacamata itu begitu keduanya memasuki rumah. Tak seperti Aluna yang berleha-leha, lelaki itu malah hilir mudik mengobrak-abrik dapur. Ia menyingsingkan lengan bajunya, membukai lemari di bagian atas untuk menurunkan beberapa peralatan masak. Alat yang dicarinya lengkap, meski sedikit berdebu akibat terlalu lama tak dipakai.
Tampak cekatan, tangannya segera mengeluarkan hasil belanjaan dari kantung kresek, lalu meraih talenan dan langsung memotong beberapa sayuran hijau. Diselingi bunyi mendesis dari air mendidih yang langsung diresponnya dengan menuangkan beberapa jenis sayuran. Tak lupa ia menyetel besaran api, kemudian mematikan langsung saat benda di dalamnya tampak mengerut layu.
Aluna mendekati dapur setelah setengah jam memainkan ponselnya. Bukan melakukan ritual sebelum tidurnya, melainkan menyimak video yang tadi pagi direkamnya. Daripada mengevaluasi kemampuan gerakan Damar seperti yang didalihkannya, perhatian Aluna lebih tersita pada ekspresi muka si atlet. Meski disembunyikan serapat mungkin, Aluna sadar kalau gelak tawa Damar yang biasanya langsung pecah begitu mereka berdekatan kini intensitasnya berkurang. Kelakuan tengil Damar yang memicu rona merah agak panas di pipi Aluna pun menyedikit porsinya. Jelas penyebabnya adalah sikap Aluna. Menghela napas sebentar, ia menyingkirkan rasa tak nyaman yang menghinggapi dadanya. Menyeka air mata yang perlahan menuruni pipinya.
"Lo bikin apa?"
"Nggak, cuma bikin sayur rebus disiram saus kacang. Kangen gue makan beginian, sumpah."
"Gue bisa bantuin apa nih?" Aluna ikut menyingsingkan lengan baju—bukan dengan cara menggulung, tapi menarik ujungnya sampai ke ketiak—dan meraih celemek berwarna biru yang terlipat rapi dalam salah satu rak di dapur.
"Ngulek mau nggak lo?" tanya lelaki itu.
Mendesah pasrah, Aluna meraih alat untuk menggerus kacang tanah. Dicucinya terlebih dahulu benda yang agak kotor akibat lama tersimpan. Meyakinkan agar debu yang menempel sudah disingkirkan.
Gara-gara permintaan lelaki itu pulalah, Aluna terpaksa menjelajah pasar tradisional demi mendapatkan bahan-bahan untuk sambal kacang favoritnya. Barang-barang fresh lagi kriuk yang tak didapatkan di supermarket besar. Diingatnya bahwa lelaki itu menggeleng saat Aluna menawarkan sambal kacang siap saji yang tinggal diguyur air panas. Gampang dibeli di supermarket soalnya. Baru memindahkan bawang putih, kencur, garam dan cabai ke dalam ulekan, ponselnya berbunyi.
"Hape gue bunyi. Bentar," ujar Aluna dengan nada sedikit parau. Ia melepaskan pekerjaannya, meraih ponselnya yang tergeletak di atas kulkas. "Ayah. Gue lupa ngabarin. Duh...."
Sesaat lelaki itu tertarik pada mata Aluna yang agak merah dan suaranya yang berubah. "Sini biar gue aja," lelaki itu menawarkan diri. "Lo terusin ngulek, gue lapar berat, cuy."
Keduanya bersitatap, lelaki itu menunjuk mata Aluna. Aluna hanya mengedikkan bahu ketika lelaki itu menyambar ponsel dari tangannya, menggeser tombol hijau dan menekan opsi loudspeaker.
"Teh, di mana? Udah sore belum nyampe rumah. Macet?" Suara khas Aldebaran diselimuti nada khawatir jelas terdengar.
"Hallo, Om?" Lelaki itu menyahut.
"Lho," Al sejenak terdiam. "Kok kamu yang angkat, Bang? Kapan datang?"
"Tadi agak sorean, dijemput Teteh. Langsung ke rumah lama."
"Oh, sama siapa kamu? Bundamu ikut?"
"Bunda nggak, sendiri aja, Om. Ini Teteh neror—. Ouch." Lelaki itu menghentikan kata-kata yang nyaris meluncur dari bibirnya akibat tendangan Aluna yang bersarang di tulang keringnya.
"Bang?"
"Eng ... nggak, mau liburan aja, Om."
"Oh, kamu mau nginap di rumah situ apa di sini aja?"
"Nanti malem ke sana, Om. Ke sini sekalian ngecek rumah sama ambil baju dulu."
"Oh, oke. Hati-hati. Titip Tetehmu."
"Yoi, Om. Salam buat Tante Lila. Bilangin, Reval nungguin puding lumutnya nanti malam."
Lelaki berkacamata—yang tak lain adalah Reval, sepupu Aluna—itu meletakkan ponsel yang sudah terputus sambungannya di atas microwave kecil di samping kirinya. "Om masih protektif banget, ya?"
"Banget, Bang. Itu juga yang mau gue ceritain," keluh Aluna. Kemudian dengan cekatan memindahkan sambal kacang yang sudah selesai diulek ke mangkuk. Gantian Reval memindahkan beberapa sayuran mentah yang telah dipotong dan beberapa rebusan untuk diaduk menjadi satu sebelum diguyur dengan sambal kacang. Dua piring nasi putih mengepul diboyong Aluna ke ruang keluarga. Aroma khasnya menguar memenuhi indra penciuman keduanya. Tanpa ba-bi-bu, Aluna dan Reval menggasak menu sederhana favorit mereka.
-oo0oo-
Berulangkali menengok ponsel, itu yang dilakukan Judid setiap hari saat pekerjaan tidak menyita waktunya. Mengharapkan ponsel itu kembali meneriakkan ringtone khusus yang disetelnya sebagai nada panggil untuk Aluna. Tapi, sejauh ini rasanya sia-sia. Sudah seminggu lebih gadis itu tidak pernah menghubunginya, apalagi menyambanginya di bengkel seperti yang sudah-sudah.
Judid meremas rambut yang sudah tak keruan lagi bentuknya. Dalam diamnya, ia memaki dirinya sendiri. Salahnyalah Aluna berlaku demikian. Judid bersikap pengecut layaknya banteng terluka, memilih untuk menyembunyikan diri dan menolak segala bentuk interaksi. Dia memutus segala akses, bahkan tanpa tahu apakah Aluna berusaha menghubunginya. Terdengar pengecut, sangat, tapi Judid sangat memerlukan ketenangan super untuk kembali menegakkan dagu di depan Aluna. Ia tak ingin lagi bertindak gegabah, yang pada ujungnya hanya mencederai hati mereka berdua.
Ketika ia membuka seluruh blokir, gadis itu ternyata melakukan hal serupa. Menjauhi Judid dengan segala cara. Setiap panggilan yang dilakukan Judid hanya dijawab oleh mesin suara. Pun dengan pesan singkat, notifikasi terkirim tanpa ada balasan. Menyedihkan. Judid kelabakan, nyaris kehilangan akal sehat untuk menerobos gerbang tinggi pelatnas. Karena rumah Aldebaran Bachtiar, kini seperti istana raja yang tak bisa dimasuki sembarang orang, bahkan mengeluarkan maklumat tidak tertulis bahwa yang namanya Judid diharamkan di situ. Terbukti dari jawaban si kembar yang selalu menggelengkan kepala, isyarat bahwa Aluna enggan ditemui olehnya. Ditambah dengan pandangan Aldebaran yang terang-terangan melotot saat Judid mengetuk pintu rumahnya, disertai ucapan 'Aluna sedang istirahat, tak bisa di ganggu.'
Tanpa diminta, Judid mengulang kenangan dua minggu yang lalu.
"Gue janji jaga lo terus kayak dulu, sekarang, dan nanti."
Badan Aluna menegang kaku. Judid tahu sekali bahwa ia memaksakan diri untuk menyegel Aluna di sisinya. Terbukti dari paras gadis itu yang tiba-tiba dibanjiri air mata. Bukan ekspresi bahagia seperti yang ia harapkan, tapi diselimuti kabut penuh tekanan.
Didekapnya Aluna yang sibuk menyeka air mata ketimbang bereaksi akan ucapan Judid. "Luna," Judid membelai rambut Aluna dalam dekapannya. Meski isakannya tak begitu keras, Judid tahu bahwa diamnya Aluna adalah suatu pertanda.
Seharusnya ia menahan diri dan mereka-reka taktik untuk mengembalikan Aluna sepenuhnya ke sampingnya. Bukan dengan memaksa dibumbui cara memojokkan seperti ini. Mau apa lagi, Judid panik melihat gestur Aluna di sebelah Damar. Keduanya seperti gravitasi, tarik-menarik dengan cara yang tak bisa dideskripsi. Hati Judid bisa merasakan, bahwa ada sesuatu yang spesial di antara mereka.
Ia mendongakkan paksa kepala Aluna yang terkubur di dadanya. Memandang mata gadis itu yang kini memerah. Tangan kiri Judid aktif menyeka, menyingkirkan butiran demi butiran yang turun menjajah pipi mulus gadis itu. Dicekam rasa bersalah, seandainya bisa, Judid ingin sekali mengembalikan waktu ke masa lalu. Di mana ia belum melontarkan ucapan demi ucapan menyakitkan tentang ketulusan. Pengorbanan yang kini harganya ternoda akibat memaksakan kehendak. Judid meminta lebih karena merasa posisinya terancam, dan ia pendek akal, menuruti emosinya. Judid memaksa masuk ke hati Aluna dengan tergesa, bukannya mengetuk pelan dan membiarkan hati gadis itu menerima.
"Luna," ucapnya sekali lagi. Melihat Aluna yang berlinangan membuat Judid dihantam rasa khawatir. "Gue nggak maksa, suer." Tak guna membohongi Aluna, gadis itu hafal dengan baik kapan Judid berkata sebaliknya. Dari awal yang Judid lakukan adalah mengerasi hubungan tanpa status mereka.
Aluna menggeleng kemudian menunduk lagi,"Did." Hanya itu yang keluar dari bibirnya. "Gue nggak tau."
"Katyaluna?"Judid kehilangan semangat dalam suaranya.
Aluna bergeming, hanya isakan yang lolos dari mulutnya. Gadis itu meremas tisu yang disodorkan Judid padanya. Menghela napas, menahan kesakitan asing yang dirasakannya, Judid akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat dagu gadis itu. Sekali lagi. Kali ini ia mendengakkan dengan lembut. Entah dorongan gila dari mana, Judid membuang akal sehatnya ketika menempelkan bibirnya di bibir Aluna yang masih dibasahi air mata. Jantungnya berdegup nyaring sampai ke telinga.
Tak sampai lima detik.
Namun, Judid tahu kiamat sudah menjelma di antara mereka. Jauh lebih baik Aluna mengempaskan badannya atau menolaknya terang-terangan, ketimbang pasrah namun menyiratkan kegundahan bercampur luka di matanya. Judid sadar, Aluna marah dalam diamnya.
Untuk pertama kalinya Judid memahami, bahwa ia sudah kalah selangkah dari Damar. Ia boleh mengorbankan apa saja, tapi perasaan gadis itu di atas pengorbanannya.
-oo0oo-
"Gitu ceritanya, Bang." Aluna terisak, menumpangkan sisi kepalanya ke bahu Reval yang duduk di sisinya. "Gue nggak tau kudu gimana."
"Hmm." Reval malah mengusap daun telinganya.
"Gue minta lo ke sini jauh-jauh bukan cuma pengen dijawab hmm doang lho, Bang," hardik Aluna seraya menegakkan diri, tak lupa menggeplak sisi kepala Reval dengan lipatan koran.
"Ouch!" Menggeser tangannya dari telinga, Reval ganti mengucek rambutnya. "Anarkis. Keturunan siapa sih lo, Teh? Kakaknya Gibran emang lo, ya," sindir Reval. "Gue lagi mikir ini."
"Lama amat mikir, biasanya processor otak lo cepet. Wuss ... wuss ... wuss gitu."
Reval memutar matanya hiperbola,"Ibaratnya komputer, gue masih entry data. Diem dulu napa, Teh. Lo mau gue kasi jawaban ngasal?" ancam Reval.
Aluna menggeleng dua kali, kemudian cepat-cepat memasrahkan kembali kepalanya di bahu Reval. Sementara yang disandari sibuk membaca surel yang masuk di ponselnya, kemudian malah membaca koran online. Merasa jengkel akibat kelakuan Reval, Aluna kemudian beranjak berdiri.
"Mau ke mana, Teh?"
"Nanyain Gibran. Kadang bocah ajaib itu lebih peka soal beginian ketimbang lo," dengus Aluna kesal. "Kan dia udah expert bagian ngejar-ngejar cewek tapi dilepehin juga."
"Lo mau Bang Judid babak belur dihajar anak itu? Dan kali ini, Om Agil dan Om Al jelas mendukung tindakan Gibran," ujar Reval santai, sembari meletakkan ponselnya di nakas. "Cowok mana yang berani nyipok puteri kesayangan mereka, ya ... nggak bakal mereka ngerem Gibran buat gebukin."
"Duh...." Aluna duduk kembali di kursinya, "Gue sensor deh bagian yang itu."
"Ama gue aja, lo kelepasan. Lagian kayak nggak tau politiknya Gibran kalo udah kepo. Bisa kebongkar kelakuan lo yang disembunyiin. Anak itu kan liciknya kayak emaknya."
"Heu ... heu. Laju, gue kudu piye?"
"Menurut gue," Reval menangkup jemarinya. "Selesein satu persatu."
"Jelasin, Val. Nggak semua orang otaknya kayak lo," titah Aluna.
"Bang Judid cinta sama lo, dari lama, udah berkorban ini itu, udah sama-sama, wajar aja dia ngerasa memiliki. Gue juga gitu," ujar Reval pelan. "Maksud gue, ya ... misalnya sebagai cowok yang deket sama temen cewek gue, udah gue jagain sepenuh hati, udah gue tunggu pula buat nyatain, ya ... gue ogah lah direbut gitu aja sama pendatang baru. Selain sakit hati, harga diri, cuy."
"Hah?"
"Lo pikir ngejagain jodoh orang itu enak, Teh?" tembak Reval langsung. "Gimana kalo situasinya dibalik? Lo yang suka setengah mati sama Bang Judid, kemudian ada cewek yang berhasil menyita perhatian dia. Lo jadi nomer sekian. Bisa nahan kagak lo?"
"Gue...."
"Gue yakin lo bakal nangis kejer minta sama dia buat mikirin lagi hubungan kalian."
"Tapi, gue..."
"Karena lo ngerasa Bang Judid selalu ada di sisi lo, terus pas dia merhatiin cewek lain, lo baru nyadar kalo ada perasaan kehilangan. Itu yang bikin lo bakal panik dan mepetin Bang Judid."
"Gini, dengerin gue, Bang. Gue 'kan..."
"Pada dasarnya, cowok sama cewek itu sama aja, Teh. Kalo sayang, bullshit bilang nggak ingin memiliki," potong Reval tak sabar. "Cuma emang kadang nyadarnya itu kudu ada pemicu dulu. Dalam kasus lo, kehadiran orang lain yang bikin Bang Judid kelabakan. Orang sayang, cinta, pasti ingin memiliki," tambah Reval pelan.
Aluna tersentak setelah terdiam sekian lama,"Lo nasihatin gue apa curhat sih, Bang?"
"Dua-duanya," keluh Reval. Kemudian memijat sisi pelipisnya. "Tapi, hari ini bahas lo dulu aja. Gue bisa kapan-kapan."
"Lho?"
"Pikirin baik-baik, Teh. Nggak banyak yang bisa ngejadiin pasangan sebagai sahabat suka dan duka. Kebanyakan orang nikah sama orang yang ini, tapi mencurahkan keluh kesahnya pada yang itu."
"Tapi, gue—"
"Lo kudu nyari tahu perasaan lo ke Bang Damar itu apa," jawab Reval, kemudian memejamkan matanya. "Kalo setiap alasan yang lo pikirin untuk bisa mertahanin Bang Judid, tapi di saat yang sama alasan itu tetep bikin lo lari ke Bang Damar, maka lo tahu siapa yang kudu lo pilih."
"Ugh...."
"Jadi gue kudu kelarin dulu masalah ama Judid, baru ke Damar?"
Reval malah menggeleng,"Menurut gue, sebaliknya."
"Bang." Dahi Aluna benar-benar mengerut.
"Lo kelarin dulu soal Bang Damar, kalo emang lo cinta dan dia juga, ya sudah. Tapi kalo ternyata dia nggak bener-bener, dan lo juga cuma terkesima sesaat, masih ada Bang Judid."
"Tapi ... itu jahat, Bang. Jahat banget. Egois."
"Cinta emang egois, Teh. Tapi cinta tetep aja pengen aman dan terlindungi. Sama Bang Damar mungkin lo ngerasa cinta meledak-ledak, tapi sama Bang Judid hati lo aman, tenteram, terlindungi."
"Seakan gue nganggep Judid cadangan, Bang. Ish!"
"Gue lelaki, Teh, kalo-kalo lo lupa. Dan kalo cewek yang gue cinta balik ke pelukan gue meskipun abis dihempaskan orang lain, gue tetep terima. Gue jaga dia sepenuh hati dan sebisa gue. Gue gak peduli masa lalunya. Yang penting masa depannya gue kasih yang terbaik yang gue bisa."
"Dan kalo sebaliknya?"
"Gue bisa apa? Ikhlasin aja, emang gue masih punya pilihan? Dia yang paling tahu bahagianya dia ada di siapa."
"Eng ... kedengeran nggak adil, Bang."
"Teh," panggil Reval pelan. "Karena lo mikirin kudu adil sama dua-duanya, makanya lo puyeng. Tapi lo lupa, kalo lo juga kudu adil sama hati lo."
"Bang...."
"Segimanapun lo pengen adil dan nggak nyakitin, tetep bakal kejadian. Karena lo udah kecebur di dalamnya."
"Duuh ... gue gimana ini."
"Lha, kok bingung lagi. Ikutin kata gue. Gue di sini emang berusaha ngasi pendapat yang terbaik, tapi gimana pun gue tetep mihak lo. Lo sodara gue. Yang mana yang bikin lo bahagia, jalani itu."
"Tapi, gue masih ngerasa gimana gitu."
"Justru semakin lama lo berkutat di masalah ini, semakin lama lo nyakitin mereka berdua. Percaya kata gue."
"Oh my God."
"Cuma lo yang bisa nyetop drama percintaan seri delapan kayak gini," ujar Reval menyentil kening Aluna. "Jajaki, putuskan yang lo yakini. Makin lama lo gantung, makin tersakiti dan nggak adil buat semuanya. Oke?"
"Gitu? Tapi kalo nih, kalo semisal gue sama Damar, terus Judid marah gimana. Dan dia nyingkir dari gue."
"Bukannya lo yang dari kemarin-kemarin ngehindar?" tanya Reval, mengingat cerita Aluna sebelumnya.
"Iya, gue kan belum siap ketemu dia. Maksud gue, kalo misalnya gue udah mutusin. Terus salah satunya jadi menjauh gimana?"
"Beda ceritanya, Tetehku sayang. Kalo lo udah milih, lo nggak boleh egois lagi. Yang terbaik lo mungkin bakal canggung dengan salah satunya, yang terburuk ya lo kehilangan sama sekali."
"Duh, gue nggak siap."
"Kudu. Itu risiko!"
"Yaelah, nggak ada cara—"
"Nggak ada. Kalo lo mau dua-duanya, berarti egois lo melebihi seharusnya. Lo nggak mikirin apa perasaan Bang Judid ngeliat lo mesra-mesraan sama Bang Damar misalnya? Sesuai keinginan lo, dia tetep di sisi lo. Tapi, lo suguhin pemandangan begituan. Lo setega itu, Teh?"
"Eng ... oke. Tapi, gue belum yakin harus milih yang mana, Val. Gue takut salah."
Reval tersenyum, sejenak membetulkan letak kacamatanya. "Karena cinta punya caranya sendiri buat lari ke pelukan orang yang tepat. Percaya sama gue." Mata Aluna berkaca-kaca saat pelan-pelan ia mencerna ucapan sepupunya, "Ngapa lo, Teh? Terharu?"
"Eng ... adek gue udah besar ternyata. Nggak kaku kayak bapaknya. Udah bisa ngomong cinta."
"Teteh! Gue balik ke Jepang nih!"
Note:
Hehe...tumben bisa update hari kerja, wkwkwk...
Oke, kuis di chapter kemarin sebenarnya udah ada pemenangnya, yaitu : dearestae
cuman karena adek ini pake no 3, yang mana di kota saya #ugh nggak ada isi ulangnya, maka dengan ikhlas dia melemparkan hadiah ke penjawab berikutnya.
Dan jawabannya banyak bener, sampai saya bingung. Hehe...
Karena itu, akhirnya setelah baca sana-sini, jampi-jampi, saya menjatuhkan hadiah pulsa kepada kellyoctavia silakan inbox no hape ya, dear :)
Kemudian, karena Game Point ini termasuk cerita yang belum ada plotline-nya, maka saya berniat melibatkan pembaca untuk menentukan jalan ceritanya. Hip hip huraaay...
Pilihan kalian berpengaruh besar pada jalan cerita, bukan berarti saya penulis yang suka disetir pembaca--tenang saja--tapi, saya ingin melibatkan kalian pada proses pembuatannya.
Silakan masukan pilihan kalian pada inline komen berikut:
1. Aluna akan memastikan perasaannya pada Damar terlebih dahulu. Apa alasan kalian memilih ini?
2. Aluna akan memastikan perasaannya pada Judid terlebih dahulu. Apa alasan kalian memilih ini?
Komen di inline biar saya mudah ngitungnya. Hehehe...Waktu voting berakhir saat saya memutuskan menulis lanjutannya. Mungkin hari Sabtu :)
Daaah...selamat malam, selamat menikmati cerita ini. Hug.
Siapa yang cocok menjadi cast Reval?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top