GAME 04

.

.

.

"Bright, aku menyetujui perjodohan itu."

.

Bright diam, menatap senyum Metawin yang tampak di paksakan tanpa bisa berbuat apa-apa. Sebab ia tak bisa menghalangi hal itu agar tak terjadi, dia tak mampu berteriak dengan lantang jika dia keberatan. Dia bukan tak mau, dia hanya tak bisa..

.

Menyingkirkan orang lain yang berkorban utuknya hanya untuk merengkuh cintanya yang terlalu sukar dia perjuangkan.

.

Maka, dengan gerakan perlahan Bright merengkuh tubuh polos itu. Mendekapnya dalam hangat, mengecup seluruh sisi yang begitu dia kagumi dalam segenap getir yang sukar untuk menepi. "Aku percaya padamu, Win."

.

Ya, Bright mempercayainya. Ia percaya bahwa Metawin akan baik-baik saja. Untuk pilihannya, untuk takdir mereka, untuk sekarang, karena tak ada satu orangpun tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

.

.

.

[─Game-]

.

.

.

"Bagaimana keadaan Bright?"

.

Metawin baru saja sampai dan dia sudah dicekoki pertanyaan macam itu oleh ibunya. Hm, sebenarnya dia ini anak tiri atau bagaimana, kenapa bukan keadaannya yang ditanyakan oleh ibunya sendiri heh?

.

"Metawin ini anaknya siapa sih, Ma. Serius, apa Metawin dulu ketuker sama Bright pas lahiran?" ibu Metawin terkekeh, wanita cantik itu mencubit pelan pipi Metawin lantas mengecup dahinya. "Kamu itu ada-ada saja. Tentu saja Metawin anak mama, kenapa ngambek begitu?"

.

"Yakali, tiap Metawin pulang sekolah yang mama tanyain si Bright terus. Kan Metawin jadi curiga."

.

"Udah, Mama siapin makan. Kamu ganti baju─tunggu." Belaian sayang itu terhenti, mata ibu Metawin memicing saat melihat warna kemerahan yang kontras disekitar leher Metawin. "Leher kamu kenapa?"

.

Mata Metawin bergerak gelisah, ia tersenyum kaku sembari mencengkam kerah kemejanya. "Serangga, ini gigitan seranggga. Ma, sudah. Metawin ke atas dulu."

.

Karena kegelisahan itu tertangkap begitu jelas di mata sang ibu, kebohongan itu dan semua hal yang terlalu kentara itu tak luput dari pandangannya. Karena bukan satu dua hari mereka bersama, bukan satu dua bulan. Namun, bertahun-tahun. Sejak bayi mungil yang dia beri nama Metawin Opasiam-kajorn itu hadir dan membawa tawa dalam kehidupannya. Sejak saat itu dia sudah menghapal diluar kepala kebiasaan Metawin saat dia berbohong, saat dia merasa tak nyaman, juga saat dia tak suka dengan berbagai hal.

.

Metawin selalu tak berani menatapnya, anak itu selalu berkata dengan cepat dan memilih pergi.

.

Dan kali ini, saat bercak itu terlihat. Ibu Metawin tahu jika apapun yang akan terjadi dia akan tetap melanjutkan perjodohan itu dan tak akan ada satu halpun bisa menghalanginya.

.

.

.

.

.

"Kau sudah sembuh?" pertanyaan itu terlontar begitu saja saat Metawin mendapati Bright sudah duduk manis di ruang makan keluarganya pagi ini. Pemuda sialan itu dan senyum menyebalkannya, Metawin jadi ingin menonjok pemilik wajah menyebalkan itu sesekali untuk melegakan hatinya.

.

"Ya, berkat kau." jawabnya dengan senyum jahat yang makin membuat Win berdecak kesal.

.

Berkat kau, tch. Berkat itu membuat Metawin meringis setiap duduk. Dasar menyebalkan.

.

"Ma, selai strawberryku mana?" kerjaban mata lentik Metawin membuat Bright kehilangan focus, pemuda itu menelan bongkahan lembut roti dalam kunyahannya perlahan sebelum meneguk susu. "Ah, mama lupa beli. Oles pakai selain yang lain saja Win!" dari dapur terdengar teriakan Mama Win. Wanita cantik yang masih begitu indah di umurnya yang sudah memiliki anak seusia Metawin, Mama Win termasuk awet muda.

.

Berjalan melewati Bright, Mama mengecup pelipis Metawin sambil mengusap lembut puncak kepalanya. "Nanti pulang sekolah jangan bareng Bright, oke."

.

Metawin menatap mamanya, mencoba bertanya dalam diam yang hanya dibalas dengan senyum indah penuh kasihnya. "Mama meminta tunanganmu menjemput agar kalian lebih akrab, tidak apa kan?"

.

Tidak, tidak begini seharusnya. Namun─ "Ah, itu kebetulan yang sangat bagus. Aku nanti latihan basket dan artinya akan pulang sangat amat terlambat. Metawin pasti akan bosan." Kalimat panjang Bright menohoknya telak. Bright Vachirawit, sejak kapan dia mahir berbohong seperti itu. Sejak kapan dia berlatih basket bersama tim-nya dihari senin. Dia tidak memiliki satupun jadwal kecuali bermain-main dengan lubang senggamanya sepanjang waktu. Jadi...

.

"Ya, akan sangat bagus. Kami berangkat dulu." Metawin akan mengikuti semuanya, semua yang Bright katakan, semua yang dia anggap akan baik-baik saja.

.

Karena mungkin, Metawin harus mengakhiri permainan mereka. Segera sebelum hatinya tak lagi dapat diselamatkan.

.

.

.

.

.

Metawin tenggelam dalam kenikmatan, bibir Bright memerangkap miliknya yang bahkan tak bisa bersuara. Sekolah telah usai lima belas menit yang lalu tepat dimana Bright datang ke kelasnya dengan wajah kelam yang tak pernah bisa dia tafsirkan kenapa. Dengan langkah tertatih mengimbangi derap kaki Bright, tanpa bertanya, tanpa memohon untuk Bright melepas cengkaramn tangannya Metawin hanya diam, pasrah dengan apapun yang coba Bright perbuat padanya hingga sekarang saat penis tumpulnya coba menyapa lubang senggama yang telah terlanjur basah oleh precum serta cairan pasca orgasme.

.

"Maaf." Ungkap Bright begitu dekat, bahkan Metawin merasakan detak jantung yang ikut berpacu sama dengan miliknya. Mereka memang sama, mereka memang bodoh, mereka sudah tak lagi terselamatkan ketika Metawin memilih untuk merengkuh leher Bright agar memperdalam ciumannya.

.

"Diam dan lakukan saja, Bright." Perintah mutlak yang tak pernah salah Bright tafsirkan, tanpa satupun kata Bright memperdalam cimuan mereka, membawa kedua lidah itu saling bertaut dalam hangat nafas serta liur kedaunya. Begitu dalam, begitu intens, begitu tak terbendung hingga keduanya memilih untuk melebur bersama dalam dosa yang terlalu manis.

.

Hentakan keras membuat wajah Metawin terangkat dan memberikan akses penuh bagi Bright agar memberi jejak pada leher jenjangnya. Melumat, menghisap dan memasukkan miliknya dengan begitu konstan. Bright seolah hilang kendali bersama gairah yang entah bagaimana terlalu sulit untuk dia tahan. Persetan dengan tunangan Metawin, persetan dengan apa yang terjadi nanti. Bright tak bisa merelakan Metawin untuk orang lain meskipun dirinya tak bisa mengklaim penuh Metawin sebagai miliknya. Lantas, dengan seluruh kekuatan Bright mendorong lagi miliknya, menghentak bagaikan Alfa yang tengah menyetubuhi Omega nya secara nyata. Membiarkan Metawin kepayahan menerima semua sprema dan pasrah dalam rengkuhan.

.

Dengan semua tanda kepemilikan ini Bright berharap semua akan berakhir. Siapa pun tunangan Metawin, dia harusnya mengerti jika dia sudah kalah bahkan sebelum memulai perang.

.

.

.

.

.

"Aku benar-benar akan mati jika pemuda itu mengadu pada Mama." Metawin membenahi penampilannya yang jelas sekali sungguh teramat sangat berantakan. Beberapa kissmark dan bekas gigitan dilehernya terlalu kentara untuk dia sembunyikan dan Bright malah menyeringai untuknya.

.

"Dia harus menerima bagaimana tabiat calon tunangannya dengan lapang dada, Metawin sayang." Melempar botol air mineral yang ada di dasbor mobil dengan penuh kekesalan pada Bright, Metawin kini mengumpat kesal. Dia benar-benar akan mati. Akan mati jika pemuda itu melih pulang karena lelah menunggunya.

.

"Persetan dengan ocehanmu, Vachirawit. Aku pergi!"

.

Bright menghela nafasnya berat, semua ini begitu membebaninya. Namun, saat layar ponselnya berkedip menampilan satu pesan dengan nama yang selalu sama Bright dengan cepat mengambil ponsel, membaca sekilas sebelum memutar kunci mobil dan pergi dari halaman parkir sekolah tanpa perlu melihat Metawin yang masih menatap kepergiannya dengan tawa pahit tersemat dalam wajah indahnya.

.

Seharusnya Metawin sudah terbiasa, seharusnya dia tak lagi merasakan rasa sakit yang kini mencabik hatinya, seharusnya dia tidak perlu merasa dikhianati oleh Bright sebab mereka bukan siapa-siapa. Ya, mereka bukan siapa-siapa. Mereka hanya sepasang saudara yang saling bersetubuh untuk mencari kepuasan. Ya, hanya sebatas itu.

.

"Metawin?"

.

Sebatas Metawin mengkerjabkan kedua mata saat sosok tinggi dengan senyum rupawan itu memanggil namanya. Sebatas singkat yang mengubah keadaan menyedihkan untuknya.

.

"Ya, anda siapa?" Metawin, dia adalah maya yang tak bisa direngkuh siapapun tanpa terluka.

.

Tawa hangat pemuda tinggi itu membuat Metawin penasaran, untuk apa semua tawa itu dia burai pada langit yang mulai mengelam seperti hatinya?

.

Masih dengan hangat pemuda itu berkata. "Aku Joss, Joss Wayar."

.

Metawin kira dia mengenal nama itu, ya. Dia bahkan sudah menghapalnya hari ini dan hari-hari sebelum ya ketika Mama nya yang cantik jelita itu datang ke kamar lantas berkata jika dia akan di jodohkan dengan anak sahabat Ayah nya.

.

Joss Wayar, jadi... dia orangnya..

.

"Maaf membuatmu menunggu lama, aku datang secepat mungkin setelah meeting dadakan di kantor. Apa kau marah?"

.

Metawin tak tersenyum, dia hanya menatap datar Joss─ sang tunangan- dengan sorot mata tenang yang menyimpan sejuta keindahan.

.

"Tidak, sama sekali tidak. Jadi, apa yang Mama ku inginkan dari kita berdua hari ini?" Metawin tak perlu berbasa-basi. Ya, dia tidak perlu mencoba bersikap manis karena toh dia tak membutuhkan hal tak berguna macam itu untuk membuat Joss terkesan padanya sebab dia menginginkan sebaliknya.

.

Joss kembali tertawa, diam-diam Metawin mengamati bagaimana pemuda tinggi itu tampak tak terganggu dengan sikap sarkasnya. "Ayo kita berkencan!"

.

Dan satu kalimat itu membuat Metawin cukup terkejut padanya, Joss Wayar. Apakah Metawin benar-benar harus menerimanya?

.

.

.

.

.

[w/n : akkhhhhh.. ini sudah saya up ya, saya ga bisa janjiin apapun untuk kalian. Saya mah random orangnya, ga punya target, mager, dan tukang rusuh. Jadi, sekali lagi jangan berharap banyak semua work saya bisa up dengan cepat sebab itu sama dengan hoax. Udah, sekian. Semoga suka! Semoga sehat! Semoga bahagia! Salam Sayang! Lian]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top