Satu

Let the game begin!
.
.
.
.

Suara bising kendaraan mengisi pagi di kota metropolitan yang dulunya merupakan ibu kota republik ini. Kemacetan di pagi hari tentunya akan sangat menyebalkan bagi siapapun. Beruntung bagi Laras karena ia selalu berangkat lebih awal. Ia hanya perlu mengayuh sepedanya sejauh lima ratus meter lagi untuk sampai di gerbang sekolahnya dan sekarang baru jam 06.25. Masih ada sekitar tiga puluh lima menit lagi sebelum bel berbunyi.

Meninggalkan jalan raya yang begitu padat, Laras mengayuh sepedanya berbelok ke sebuah gang dengan jalan yang lebih kecil, hanya muat untuk satu mobil. Bahkan di dalam gang pun, sudah banyak penduduk berlalu lalang. Dapat Laras lihat seorang penjual nasi uduk yang ramai dikerumuni pembeli. Beberapa siswa mengenakan seragam merah putih juga terlihat hendak berangkat ke sekolah masing-masing.

Saat SMA Laras sudah tinggal sepelemparan batu, Laras melihat salah satu temannya bernama Aris sedang mengobrol bersama anak-anak satu gengnya di sebuah warung kopi dekat sekolah. Laras mendengus, tidak heran. Tukang bolos satu itu pastilah hendak melakukan aksi serupa hari ini. Apapun itu, Laras hanya tidak mau terlibat. Baru saja hendak mengayuh lebih cepat, Laras dikejutkan dengan Aris yang tiba-tiba melompat tepat di depannya. Mau tak mau, Laras segera mengerem sepedanya dan menopangnya dengan kakinya. Sebal, tapi Laras tidak mau berkomentar. Ia sudah berniat kembali mengayuh menuju sekolah, teman-teman Aris justru berkumpul mengelilinginya.

“Jangan pergi dulu dong. Emang kenapa buru-buru, sih?” tanya Aris dengan wajah yang begitu tengil dan menyebalkan.

“Sebentar lagi bel masuk,” jawab Laras singkat.

Seorang gadis berambut sebahu maju, Laras lebih dari tahu siapa itu. Alea, pacar si ketua geng alias Aris. “Aduh, jangan rajin-rajin amat kenapa sih, Ras? Masih muda tuh banyak-banyakin nikmatin hidup, nakal sesekali nggak apa-apa kali.”

Laras menggeleng, “Kalau kalian mau bolos, silakan, Gue mau sekolah.”

Salah satu teman Aris, menahan bagian belakang sepeda Laras.

“Lepasin!”

Aris tertawa, “Lagian lo sekolah tuh biar apa sih, Ras? Nggak guna tau nggak, sih?”

Laras hanya menjawab singkat, “Ya terserah gue.”

Aris menggeleng, “Dasar nggak asik!”

Setelahnya, ia hanya melenggang pergi kembali ke tempat duduk yang ada di warung kopi kecil itu. Laras buru-buru mengayuh sepedanya menuju sekolah. Moodnya jadi tidak enak gara-gara dihadang oleh geng tidak jelas itu pagi-pagi begini.

Laras pikir, Aris dan teman-temannya tidak akan berangkat sekolah hari ini, tapi ia salah. Aris dan Alea yang memang satu kelas dengan Laras datang meskipun nyaris mendekati bel masuk. Mereka terlihat malas-malasan saat jam pelajaran pertama dan kedua. Saat jam istirahat tiba, dua orang itu dengan penuh semangat segera keluar dari kelas, bahkan ketika guru yang mengajar belum mencapai pintu.

Laras yang melihat itu hanya menggeleng. Ia ingin serius dengan pendidikannya, tanpa bolos, tanpa absen kalau memang tidak karena sakit parah. Ia ingin belajar sungguh-sungguh agar bisa membuat Bapak Ibunya bangga. Apalagi di kelas sepuluh ini, ia ingin mengenal baik para gurunya, memahami karakteristik mereka dalam mengajar, dan beradaptasi dengan baik.

Yah, hal itu memang sulit dengan lingkungan sekolah Laras saat ini. Perpustakaan yang menjadi tempat favorit Laras, buku yang ada disana tidak begitu banyak, tidak banyak variasi yang tersedia. Penjaga perpustakannya sangat jutek, terkesan ogah-ogahan dalam menjawab pertanyaan atau ketika ada siswa yang hendak meminjam buku. Akibatnya, perpustakaan lebih sering sepi, hanya satu-dua orang, termasuk Laras, yang betah membaca disana. Ruang kelas pun tidak lebih baik. Bangku kayu yang punya banyak coretan, beberapa bahkan sudah menonjol pakunya. Hanya ada satu kipas angin tua yang sudah berderit baling-balingnya yang berfungsi menyejukkan ruangan, itupun tidak maksimal. Tiga puluh lima orang dalam satu kelas berukuran 8x8 meter tak pelak membuat seluruh murid sumpek dan bau badan karena keringat yang tak henti bercucuran.

Kendati demikian, Laras tak pernah mengeluh. Ia lebih fokus dengan apa yang bisa ia lakukan ketimbang mengeluh. Jam istirahat kali ini, seperti biasa, ia hendk menghabiskan waktu di perpustakaan. Saat ia melewati kantin, para siswa terlihat berdesakan menyerbu jajanan yang tersedia. Laras merogoh kantong rok abu-abunya dan hanya menemukan selembar uang lima ribu disana. Ya sudahlah, ia pun tidak begitu lapar. Laras melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan.

Saat hendak berbelok di lorong, ekor mata Laras tak sengaja menangkap gerombolan Aris berdiri di dekat tembok belakang sekolah. Entah apa yang hendak mereka lakukan, tapi Laras punya firasat kalau mereka akan bolos. Laras sempat berhenti dan mengintip apa yang mereka lakukan, sepertinya salah satu dari mereka pun melihat Laras tapi memilih mengabaikannya. Saat salah seorang memanjat tembok, Laras mantap mengambil kesimpulan bahwa geng itu pasti mau bolos.

Laras mengedikkan bahu dan memilih pergi ke perpustakaan seperti niat awalnya. Sempat terlintas di pikirannya untuk melaporkan kejadian ini pada salah satu guru.

“Apa laporin aja, ya? Ah, nggak deh. Males berurusan sama mereka,” pungkas Laras yang pada akhirnya memutuskan membaca sebuah novel hingga jam masuk berbunyi.

~


Laras pikir tidak akan ada kejadian menyebalkan lagi hari ini. Tapi ternyata ia salah. Banyak kejadian tak terduga yang menunggunya. Seperti sekarang, hari sudah siang dan para siswa berlalu lalang menikmati waktu istirahat kedua. Beberapa menjalankan ibadah sholat di mushola. Tiba-tiba, suara Bu Retno yang notabene adalah guru BK, menggelegar ke seluruh sekolah melalui pengeras suara. Dari pengeras suara tersebut, Laras dapat mendengar panggilan untuk beberapa siswa, yang terdiri dari Aris, Alea, dan seluruh gengnya.

Laras mengernyit, sepertinya ada yang melapor. Aris yang tadinya sedang duduk ongkang-ongkang kaki mengobrol bersama Alea seketika terhenyak. “Siapa yang ngaduin?!” teriaknya marah. Tak satupun anggota kelas yang menjawab. Masih dengan geraman marah, Aris dan Alea berjalan menuju kantor guru.

Laras mengintip melalui jendela kelas, ia dapat melihat sekitar delapan anak yang dihukum berdiri di lapangan. Karena hari sudah siang, Laras tak dapat membayangkan betapa tersiksanya mendapat hukuman dijemur seperti itu. Belum lagi rasa malu karena dilihat seisi sekolah, termasuk kakak kelas dan guru lainnya. Laras penasaran, siapakah gerangan yang begitu berani melapor? Apakah kakak kelas? Ah, tapi kakak kelas juga banyak yang bertingkah nakal, membolos adalah makanan sehari-hari. Anak-anak di kelasnya juga sama-sama tahu, bahwa lebih baik diam dan mengurus urusan sendiri daripada melapor kepada guru.

Waktu terus berjalan, mereka masih dijemur hingga jam sekolah usai sekitar satu jam kemudian. Setelahnya, mereka digiring masuk oleh Bu Retno ke ruangan BK selama beberapa menit sebelum akhirnya mereka keluar dengan muka sebal tidak karuan. Laras sendiri sempat dimintai bantuan oleh guru matematikanya untuk mengumpulkan pekerjaan teman-temannya dan menyerahkannya ke kantor guru. Ia sempat bertanya beberapa materi sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang.

Bangunan sekolah sudah cukup sepi, semua siswa sepertinya bergegas pulang begitu lonceng berbunyi. Laras melangkah ringan menuju sepeda merah mudanya yang terparkir di lahan parkir.

“Eh? Kok bannya kempes?” gumam Laras saat melihat ban sepedanya kempes, nyaris seperti bocor. Padahal tadi pagi baik-baik saja, pikirnya. Ia menoleh ke sekelilingnya, dan ya, rombongan Aris dengan raut wajah marah melangkah ke arahnya.

Tanpa banyak kata, Aris menarik kerah seragam Laras, membuatnya sedikit tercekik.

“Maksud lo apa, babi?! Lo kan yang ngaduin kita ke Bu Retno?!”

Alis Laras bertaut, “Nggak kok, gue nggak ngaduin apa-apa.”

Alea menyahut, “Alah bohong! Ngaku aja lo!”

Belum sempat Laras buka mulut, salah satu anak yang Laras ketahui bernama Riki menyambar, “Gara-gara lo kita jadi dijemur panas-panasan tau nggak?!”

Sampai disini, Laras bisa menyimpulkan kalau ban sepedanya telah dikempeskan oleh Aris dan komplotannya.

Aris, yang masih menarik kerah seragam Laras, menatapnya dengan nyala amarah yang begitu kentara lewat sorot matanya. “Inget, ya. Lo duluan yang cari gara-gara sama kita! Jangan harap lo bakal hidup tenang setelah ini, Laras!”

Laras terengah ketika Aris akhirnya melepaskannya. Anak laki-laki tu kemudian pergi bersama rombongannya, itupun setelah Riki menendang sepeda Laras hingga ambruk. Hari itu benar-benar mengubah hidup Laras. Kegembiraan hati setiap pergi ke sekolah mulai sirna. Hingga ia sampai berada di tahap tidak ingin lagi berangkat sekolah.

~

Thanks for your attention, guys! Gimana ceritanya? Kasih tau kesanmu di kolom komentar dong! Jangan lupa vote dan share juga, ya!

See you in the next chapter!

Sincerely,
Skyvee

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top