Eight

Kerapuhan adalah jalan untuk orang lain masuk dan mengisi puing-puing kehancuran.

Ragil Andrean, 27 Oktober 2020

Kuturuti saja langkah demi langkah yang dibimbing Kalia. Rupanya ia membawaku ke tepi danau yang ada sampan. Kalia melepaskan sepatu, lalu melepas tali tambatan sampan di patok kayu.

"Ayo, Kak. Lepaskan sepatumu," ujarnya seraya menaiki sampan.

Lagi-lagi aku hanya menurut, entah magnet apa yang menarik diriku untuk mengikuti instruksi Kalia dengan mudahnya. Padahal biasanya aku terlalu enggan untuk melakukan hal-hal aneh dengan orang asing sepertinya.

Kalia mengulurkan tangannya yang tidak memegang dayung. "Naik, Kak!"

Kali ini aku tidak menyambut tangan itu, melainkan memegang pinggiran sampan dengan kedua tangan kemudian memanjatnya, sampan sedikit oleng oleh berat badanku. Begitu aku duduk di hadapannya, Kalia menyambutku dengan senyum manis, meski tidak pernah semanis senyum berlesung pipit Naria. Ah, lagi-lagi aku mengingatnya. Sulit bagiku melupakan satu-satunya teman sekaligus cinta pertamaku itu.

Kalia mendayung sampan membelah ketenangan danau berair jernih. Tampaknya ia tidak takut akan jahatnya ultraviolet yang siap menggelapkan kulit kuning langsatnya. Entah ke mana ia akan membawaku. Otakku hanya menikmati nyamannya suasana danau dan angin sepoi-sepoi yang menyapu kulitku, sehingga enggan berpikir ke mana ia membawaku.

"Coba Kakak balik badan, deh." Kalia memecah kebisuan. "Tapi pelan-pelan ya."

Lagi-lagi aku menurut saja. Baru kusadari sampan berhenti di bawah rimbunnya pohon dan ada banyak flamingo yang tengah berenang beberapa meter dari sampan kami. Warna merah jambu mereka terpantul cahaya matahari yang mulai jingga. Sungguh menawan. Perlahan kurasakan kedua sudut bibirku tertarik membentuk seutas senyuman.

"Pandangilah selagi mereka di sana, karena sebentar lagi mereka akan pulang ke sarangnya," bisik Kalia.

Kuperhatikan gerak-gerik hewan berkaki panjang tersebut. Ada yang sekadar berenang, sembari sesekali menenggelamkan kepala berleher panjangnya ke air, ada yang menyusuri pinggiran danau dengan kaki panjangnya, dan ada pula anak-anak flamingo yang berkeliaran di sekitar induknya. Kalia benar, begitu mentari mulai tergelincir ke barat, kelompok flamingo itu pun pergi.

"Apa Kak Ragil suka?" tanya Kalia sembari memutar sampan dengan dayungnya.

"Hemmm." Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Sulit bagiku untuk jujur pada Kalia kalau ini pertama kalinya kulihat flamingo di alam bebas. Dan ... tentulah kata 'sebentar aja' yang diucapkannya tadi akan teringkari.

Hening. Itulah nuansa yang tercipta setelahnya. Perlahan kegelapan mulai menyelimuti kami. Kuraih handphone di saku depan celanaku untuk memberi Kalia penerangan dengan senter android. Meski minim cahaya, Kalia bisa dengan tepat menambatkan sampan di tempat semula, jelas ini bukan kali pertama baginya bersampan di gelap malam seperti ini dan di danau ini.

"Aku boleh nebeng, Kak?" tanya Kalia saat aku sudah duduk di sadel sepeda.

"Hah?" Sepeda yang kupakai cuma sepeda BMX tanpa boncengan tentunya, membuatku melongo menatap Kalia yang nyaris hanya serupa siluet karena hanya lampu-lampu di kejauhan yang menjadi penerangan.

Namun, ternyata Kalia lebih atraktif dari yang kupikirkan. Ia justru melepaskan tangan kiriku yang memegang stang dan duduk di frame sepeda. Aku mematung.

"Ayo jalan, Kak," pintanya. "Masa Kakak tega ninggalin cewek sendirian malam-malam gini."

Seketika aku memperhitungkan tubuhku yang akan terlihat memeluknya dari belakang dengan posisi ini. "Nebeng sampai mana?" 

"Rumah kita satu komplek kok, aku di Blok C."

"Oke, tapi jangan sekali-kali kamu balik badan ya."

"Siap! Enggak usah dianterin sampai rumah enggak apa kok, aku bisa jalan kaki dari Blok A ke Blok C." Kalia berpegangan pada handlebar sepedaku.

Maka, sepanjang perjalanan aku mencium aroma bunga lembut bercampur keringatku sendiri. Sensasi ini sedikit menyenangkan bagiku, hingga aku melupakan duka yang tadinya nyaris meledakkan dada. 

"Kak Ragil," panggil Kalia, suaranya beradu dengan kebisingan jalanan.

"Ya?"

"Boleh ngobrol kan?"

"Hemmm?"

"Habis ini Kakak jangan sedih lagi, ya."

Aku hanya mengernyit, walau aku tahu ia tidak akan melihat alisku yang terangkat karena kalimat terakhirnya.

"Putus cinta itu biasa, Kak. Jangan larut-larut sedihnya ya. Masih banyak kok cewek yang lebih baik darinya."

Kali ini aku tidak bisa menutupi senyum, beruntungnya gadis ini tidak melihatku. Aku tahu ia salah paham akan tangisku tadi sore.

"Aku mau jagung bakar." Kalia menunjuk ke pedagang jagung bakar di pinggir jalan. "Laper."

Dengan berat hati kuturuti maunya. Kuparkir sepeda tidak jauh dari bangku panjang yang disediakan si penjual jagung. Dengan ekspresi kegirangan, Kalia mendekati penjual jagung yang sibuk dengan kipas dan asapnya.

"Pesen dua ya," ujar Kalia yang hanya ditanggapi dengan anggukan oleh penjual berperawakan pendek dengan perut yang sudah tidak lagi singset.

Duduk di bangku panjang yang tersedia di sini rasanya tidak jauh berbeda dengan di rumah sauna. Keringatku menyayingi besarnya biji-biji jagung, hasil pembakaran kalori akibat mengayuh sepeda tadi ditambah asap beraroma sedap, tapi membuat mata perih akan sedapnya.

Namun, di tengah kabut asap dari pembakaran jagung, netraku masih bisa mengenali sosok cantik di dalam mobil mewah berwarna merah mencolok di seberang sana. Ia pun menatap lurus ke arahku. Ada sepercik rasa penasaran akan apa yang tengah dipikirkannya hingga ia menatapku demikian tajamnya. Bibir yang biasanya berwarna merah jambu alami, kini dipoles dengan warna  merah dan tanpa senyuman. Tiada tanda-tanda lesung pipit akan merekah di sana. Tidak lama kemudian, Frans masuk ke balik kemudi mobil merah itu. Kehadiran Frans membakar darahku. Kenapa harus Frans? Apakah tidak ada lelaki lain? Bad boy itu akan menghisap sarimu, Naria.

Aku nyaris berdiri ketika mobil merah itu melintas di depanku. Pergolakan batin kembali terjadi di kepalaku. Apa peduliku lagi akan Naria? Bukankah aku yang memberinya penolakan? Lantas, untuk apa aku bersusah hati menyampuri urusannya?

Kuhela napas berat ketika Kalia kembali duduk di sampingku dengan dua buah jagung bakar di tangannya.

"Ini buat Kakak." Sebuah jagung dengan aroma menggiurkan disodorkan Kalia ke hadapanku.

Kusambut jagung itu dan menyantapnya.

"Loh, Kak itu kan panas!" seru Kalia.

Barulah aku merasakan sensasi terbakar di bibir dan lidah. Namun, sepertinya bara di dadaku jauh lebih panas dibandingkan jagung bakar ini, maka kusantap saja terus jagungnya meski sesekali asap mengepul dari sisa gigitanku.

Sementara Kalia terus menatap heran padaku. Semoga dia berpikir aku ini pemain debus.

Kulemparkan sisa bonggol jagung ke tong sampah. "Bisa pulang sekarang?" tanyaku datar.

"B-baik." Kalia kembali ke frame sepeda dengan jagung bakar di salah satu tangannya. Aku yakin, ia belum sekali pun menyantap jagung itu.

Kukayuh sepeda lebih cepat dari tadi. Membuat Kalia semakin menambah daya cengkramnya di handlebar.[]









Evans, 22 Oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top