Chapter 5 : Death Butterfly

Sekarang kami sudah pergi dari Dimensi Dewa dan dalam sekejap luka-luka yang ada di badan para senpai menghilang dengan sendirinya. Ajaib.

Kemudian aku berjalan pelan ke arah Kou-senpai dan bertanya, "Senpai, apakah temanku dari jurusan matematika masih menungguku...?"

Mendengar pertanyaan dariku, Kou-senpai langsung tersenyum simpul. Tangannya mengelus rambutku pelan.
"Maaf. Kurasa tidak lagi."

Sakit!

Spontan aku langsung berlari ke arah gerbang utama sekolah. Aku berharap Irie ada disana menungguku sama seperti hari-hari sebelumnya.

Namun, sesampainya aku disana ...

"Irie tidak ada," gumamku. Beberapa detik kemudian, air mataku jatuh bercucuran.

🔫

Sejak kejadian itu aku tidak pernah melihat Irie lagi. Kuakui aku sangat merindukannya, tetapi dia adalah musuhku sekarang. Jika aku tetap baik kepadanya maka aku akan dianggap pengkhianat.

Ironi. Di saat aku bisa dekat dengannya, keadaan lagi-lagi memaksaku untuk menjauh. Sebenarnya apa yang salah?

Sore ini, para senpai mengadakan pertemuan kembali. Mereka memberitahukan kepada kami tentang senjata-senjata yang bisa kami munculkan dalam sekejap dengan kekuatan kami.

"Aku sudah resmi jadi seorang chuunibyou, sekarang...," pikirku konyol.

Kou-senpai mengatakan, kalau murid-murid SMA Sakuramigaoka secara alami memang memiliki kekuatan misterius untuk memunculkan senjata bertahan hidup bagi mereka. Senjata bertahan hidup tersebut beraneka ragam tergantung si penggunanya. Namun, ada satu jenis senjata yang amat sangat langka. Konon senjata ini adalah senjata terkuat di antara senjata lainnya.

Jenis senjata yang disebut-sebut adalah 'Death Butterfly'. Senjata jenis ini bentuknya beraneka ragam sama seperti senjata biasa, tetapi yang membedakannya hanyalah anting merah yang terdapat di telinga kiri penggunanya. Anting ini berfungsi sebagai tempat disimpannya senjata 'Death Butterfly' tersebut.

"Wah, pasti keren sekali kalau aku punya senjata jenis itu!" seru Tamaki yang ada di sebelahku.

"Hmm," balasku tak tertarik.

"Bukankah bagus, jika aku bisa menghabisi semua murid jurusan matematika di Dimensi Dewa? Dengan begitu tidak akan ada lagi yang mengingat mereka di dunia nyata," ujar Tamaki berandai-andai.

"Aku tidak tertarik dengan pertarungan apa pun. Aku hanya berharap aku bisa berdamai dengan mereka," ujarku sedih. "Pertarungan ini konyol, kau tahu?"

Hening. Akhirnya Tamaki pun berhenti berceloteh juga. Semakin dia berceloteh, aku jadi semakin memikirkan Irie dan hal itu sangat menyakitkan. Aku ... aku merindukannya....

"Egois. Kamu hanya ingin bisa bersama si Irie itu, kan? Karena itulah kamu ingin berdamai dengan jurusan matematika," gumam Tamaki tertunduk.

"Eh...?" gumamku terkejut.

"Bukan untuk mencari kedamaian, tetapi kamu memiliki tujuan lain yang sia-sia dan tak berguna untuk diupayakan!" ujarnya lagi, tampak kesal.

"Tamaki...," gumamku tak menyangka. Kenapa dia mengatakan hal semenyebalkan itu?

"Aku sangat membenci mereka Karena itulah aku tidak akan pernah membiarkanmu jatuh ke pelukan orang jahat yang berpura-pura baik itu lagi!" lanjut Tamaki terang-terangan, tetapi masih tidak terdengar oleh yang lain.

"Etto ... aku...," gumamku bingung harus membalas apa. Aku benar-benar kehabisan kata sangking kesalnya.

GRAB! Tiba-tiba saja Tamaki memegangi lenganku kencang seakan ia tidak ingin aku pergi.

"Pulanglah bersamaku, Harukaze Ami!" pinta Tamaki dengan raut wajah serius.

Bodoh. Ternyata karena itu.

🔫

Aku berjalan pulang bersama Tamaki di sampingku. Dia terus saja berceloteh tanpa mempedulikan aku yang merasa canggung dengannya.

Tiba-tiba, seorang anak laki-laki menghalangi jalan kami. Ia merentangkan kedua tangannya, seakan kami tidak dibiarkan lewat sebelum membunuh sosoknya.

"Kamu siapa?" tanya Tamaki sinis.

"Irie-kun?" gumamku terkejut begitu sadar siapa sosok yang kini berdiri di depan.

"Kukira kamu hanya mau pulang bersamaku, Ami," sinisnya kesal.

"Eh, itu...," gumamku bingung. Gawat.

"Oh, jadi kamu yang namanya Irie? Sudahlah, jangan berpura-pura baik lagi kepada Ami! Kami sudah tahu siapa kau sebenarnya, dasar Psikopat!!" sahut Tamaki sambil mengacungkan telunjuk ke depan wajah Irie.

GRAB! Refleks, Irie langsung menggenggam telunjuk Tamaki dengan kasar. Tatapan matanya yang tajam memandang wajah Tamaki lekat-lekat.

"Jangan seenaknya mengataiku begitu! Walaupun jurusan kita saling bermusuhan, tetapi bukan berarti hubunganku dan Ami harus seperti itu juga, kan?" tukas Irie geram.

"Irie-kun...?" gumamku terharu.

"He...? Masa bodoh! Cepat atau lambat kau pasti akan membunuh salah satu dari kami!!!" seru Tamaki lalu melayangkan bogem mentah kepada Irie, tepat di wajahnya.

"Memangnya kau pikir, kau tidak akan jadi pembunuh juga?!" seru Irie lalu membalas bogeman Tamaki dengan bogeman yang tidak kalah keras.

"Dasar bodoh!! Pokoknya jauhi Ami!!" seru Tamaki disusul pukulan keras di perut Irie.

"Uhuk! Uhuk! ..., tidak akan pernah!" tolak Irie lalu menyerang Tamaki.

Seluruh badanku gemetar dan suaraku tersekat di tenggorokan. Aku tidak memiliki kekuatan lebih untuk menghentikan perkelahian mereka. Benar-benar sial. Aku hanya bisa merutuki diriku sendiri.

Lalu tanpa diduga, mereka berdua sama-sama berhasil mengeluarkan senjata bertahan hidup dari tangan kanan mereka. Tamaki mengeluarkan sebuah kapak besar sedangkan Irie mengeluarkan sebuah pedang ksatria.

Sial, bagaimana ini? Ini bukanlah di Dimensi Dewa. Dan kenapa hari ini jalanan sangat sepi?! Tak adakah yang bisa hentikan mereka?!

Sekujur kakiku terasa sangat lemas dan akhirnya aku perlahan terduduk ke tanah. Tanganku bergerak menjambak rambutku, tanda kalau aku sedang berputus asa dan stres.

"Harukaze Ami-sama, apa keinginanmu?" Terdengar suara anak perempuan entah dari mana.

Kemudian dalam sekejap, aku mendapati diriku berada di ruangan yang sangat gelap.

"Suara siapa itu?" tanyaku takut.

Lalu munculah anak perempuan berkimono merah dari balik bayang-bayang mendekatiku. Wajahnya cantik, tetapi datar tanpa ekspresi.

"Apa keinginanmu, Harukaze Ami-sama?" tanya anak itu.

"Etto ... aku hanya ingin menghentikan pertarungan mereka!!!" jawabku lantang.

"Tujuan yang sangat mulia, kau layak mendapatkan ini," ujar anak itu sambil menengadahkan telapak tangannya. Lalu dari sana, keluarlah sinar putih yang dikelilingi butiran-butiran cahaya berbentuk kupu-kupu merah.

Perlahan cahaya-cahaya itu membentuk suatu senjata memanjang dengan ujung runcing.

"Death Butterfly, Red Katana."

🔫

Irie dan Tamaki masih dalam pertarungan mereka. Tanpa sadar mereka telah membuat daerah di sekitar mereka rusak parah. Dan anehnya, masih tidak ada satu pun orang yang lewat.

Kemudian dari jarak yang lumayan jauh, Irie dan Tamaki saling melesat untuk menyerang satu sama lain.

Namun, saat senjata mereka hampir bersentuhan ...

BUM!!! Sebuah ledakan hebat terjadi.

Irie dan Tamaki terpental dari tempat mereka sebelumnya.

"Siapa yang be-berani mengganggu pertarunganku?!" umpat Tamaki sambil menahan sakit di punggungnya akibat terpental keras.

"Aku," jawabku datar.

"A-Ami?" gumam Irie terkejut. Matanya tertuju ke arah senjata yang ada di genggamanku.

"Mustahil, itu-tu ... anting dan senjatanya!!" ujar Tamaki kaget. Matanya terbelalak.

"Benar, senjata bertahan hidupku adalah Red Katana dari jenis Death Butterfly," potongku cepat.

"Hufftt, baiklah. Aku tidak akan menyakiti Irie, Ami," ujar Tamaki santai. Menyebalkan, sombong sekali gelagatnya.

"Aku yakin itulah yang kau inginkan."

Syukurlah, aku berhasil menghentikan pertarungan mereka tanpa harus melukai siapa pun. Namun, setelah melakukan ledakan tadi, aku merasa ada sesuatu yang aneh dalam diriku.

Rasanya aku sangat senang dan otakku menyuruhku untuk melakukannya lagi. Aku tenggelam ke dalam sebuah euforia tak berdasar.

🔫

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top