Chapter 10 : Namida

Hari itu adalah hari yang paling melelahkan di sekolah. Aku, Reina, dan Sakura berjalan beriringan menuju gerbang sekolah.

Sesekali kami mengobrol lalu kembali terdiam. Atau lebih tepatnya akulah yang paling banyak terdiam. Begitu banyak pikiran yang telah menggangguku.

"Ami.." bisik Reina sembari menghentikan langkahnya.

Kemudian Sakura memegangi lenganku agar aku juga ikut berhenti berjalan.

"Ada apa?" tanyaku.

"Irie-kun" jawab Sakura, ia menunjuk dengan dagunya.

Hufftt.. lagi - lagi si Irie itu berdiri bersandar di gerbang sekolah. Nampaknya ia sedang menunggu pacarnya disana.

"Masa bodoh" balasku ketus.

"He..?" gumam Reina bingung.

Kemudian tanpa memedulikan mereka, aku lanjut berjalan ke arah gerbang sekolah. Aku ingin segera sampai di rumah dan memejamkan mataku.

Begitu sampai di samping Irie, dia memegangi lenganku cukup kuat.

"Ami, aku ingin bicara" pintanya.

".." aku tak menjawab dan tetap memandang ke jalan keluar sekolah.

"Wajar kalau kau marah karena permasalahan jurusan ini, tapi apakah pertemanan kita harus berakhir hanya karena hal ini?" tanya Irie meyakinkanku.

"Ayolah, masalah ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita".

SET!

Aku segera menarik lenganku dengan kasar sampai terlepas dari pegangan Irie.

"Urus saja pacarmu, sana!" ujarku kesal.

"Pa..pacar?" tanya Irie kaget.

Tes...

He? Apa ini? Tiba - tiba saja mataku mengeluarkan air mata dengan sendirinya tanpa bisa kukendalikan. Ini menyebalkan. Aku tidak suka.

Kemudian Irie memegangi pundakku dan menghadapkan badanku ke arahnya. Aku menatapnya dan kulihat wajah Irie yang nampak bingung dan khawatir.

"Ami, aku... tidak mengerti.." ujarnya pelan.

Aku menunduk, mencoba menyembunyikan air mataku yang terus - terusan mengalir.

"Ami, .." gumam Irie.

"Justru akulah yang tidak mengerti!" selaku cepat.

"Tega sekali kamu! IRIE BAKA!!!".

Akupun segera berlari menjauhinya. Namun nampaknya Irie malah mengejarku. Berkali - kali ia memanggil namaku tapi tidak kugubris.

"Menjauhlah, baka!" sahutku dengan diiringi isak tangis yang tak bisa kusembunyikan lagi.

"Matte, Ami - chan!" panggil Irie.

Karena kesal, aku spontan mengeluarkan katana-ku dan langsung menyerang Irie.

SHING!!

Irie menahan seranganku dengan pedang baja hijaunya.

"Ami, kita bisa bicarakan ini baik - baik" pinta Irie iba.

"Tidak!! Kau jahat, Irie!! Dasar tidak tahu malu!! Baka!!" seruku kasar.

Lalu aku melompat mundur dan segera melesat pergi menjauhinya.

"Sial" umpat Irie sembari melemparkan pedangnya ke tanah.

***

Keesokan harinya, para senpai menginformasikan pada seluruh anak kelas satu bahwa jurusan matematika kembali menyerang di Dimensi Dewa.

Kou senpai memintaku untuk bergabung dan mengusir mereka dari daerah kekuasaan jurusan kami.
Dia juga bilang kalau si jubah hijau nampak terlihat dalam penyerangan itu.

Aku tersenyum sinis mendengarnya. Rupanya setelah lari dariku berkali - kali, sekarang ia berani menunjukkan batang hidungnya lagi.
Menarik.

"Baiklah senpai, aku ikut" balasku mengiyakan.

Teman - teman yang lain pergi lebih dulu agar mereka bisa menarik perhatian pasukan yang lain. Sedangkan unit garis depan yang terdiri dari aku, Fuyuki, Tamaki, dan Sakura datang belakangan.

Hal ini dimaksudkan agar kami dapat langsung membunuh pemimpin mereka. Taktik Kou senpai yang satu ini memang strategis.

Maka misipun dimulai.

Unit garis depan mulai melesat keluar dari dalam gedung begitu suara pertempuran mulai terdengar.

Haha! Rupanya teman - teman bekerja dengan sangat baik. Buktinya, sampai saat ini belum ada yang menghalangi kami.

"Fuyuki, aku rasa anak laki - laki disana adalah pemimpin penyerangan mereka!" ujar Tamaki sembari menunjuk anak yang sedang membentengi dirinya dengan perisai.

"Aku rasa kau benar, Tamaki" ujar Fuyuki setuju.

"Ayo kita langsung sikat saja dia!" seru Sakura semangat.

"Tunggu, ini aneh" ujarku.

"Aneh?" gumam Tamaki nampak tak setuju.

"Daripada disebut pemimpin, dia lebih cocok disebut sebagai umpan, kurasa" ujarku.

"Iya juga, pemimpin pasti akan langsung menyerang musuh bukannya membentengi dirinya dengan perisai rendahan seperti itu" ujar Sakura.

BOM!!!

Tiba - tiba saja ledakan yang entah muncul darimana, membuat unit garis depan terpental secara terpisah.

Pusing dan rasanya kepalaku berat sekali. Aku meraba kepalaku dan kulihat telapak tanganku basah dengan dengan darah.

"Sialan" umpatku sambil mencoba berdiri kembali.

"Hehehe... jadi ini Harukaze Ami yang katanya kuat, itu?" ledek seseorang.

"Siapa kau!?" tanyaku waspada.

Kemudian munculah sosok berjubah hijau dari dalam debu bekas ledakan bom tadi.

"Kau..." gumamku kesal.

"Harukaze Ami, banyak yang ingin kukatakan padamu tapi..." ujar si jubah hijau.

"...aku rasa aku masih bisa menunggunya di akhirat nanti!".

SHING!!

Dia menyerangku dengan pedangnya. Aku yang saat itu masih lengahpun terkena sayatan lebar di tangan kiriku.

"Argghh" geramku menahan rasa sakit.

"Aku rasa Harukaze Ami yang asli itu lembek seperti tahu" ledeknya sinis. Lalu ia memukul perutku dengan ujung gagang pedangnya.

"Argh!" geramku lagi.

"Sebenarnya aku tidak ingin menyakitimu tapi perlakuanmu terhadapkulah yang membuatku ingin melakukannya" ujar si jubah hijau.

Ia menginjak luka di tangan kiriku.

Akupun kembali meringis kesakitan. Dan tanpa sadar air mataku keluar dari tempat penampungannya.

"Eh!?" gumam si jubah hijau nampak kaget. Dan dengan alasan yang tidak jelas ia mundur menjauhiku.

Langkahnya sempoyongan hingga akhirnya ia jatuh terduduk.

Ini kesempatanku.

SHING!

Aku bangkit dan segera mengacungkan katana-ku ke depan wajahnya.

"Kau kalah, Green Flash!" ujarku sinis.

Hening. Dia tak bersuara lagi. Topi besar jubahnya menghalangi wajahnya sehingga hanya nampak gelap yang bisa kulihat selama ini.

Yah.. persetan dengan wajahnya. Yang penting sekarang aku bisa membunuhnya sesukaku.

Kualihkan pandanganku dari wajahnya dan kutatap tangannya. Ia gemetar.
He? Apakah hanya itu kemampuan si ahli pedang dari jurusan matematika? Sungguh malang.

Kemudian satu tetes air mata jatuh dari wajahnya dan mengenai tanah. Dia menangis. Ya ampun, penyerang macam apa dia ini? Lemah sekali.

Angin berhembus kencang menghilangkan debu - debu yang beterbangan di sekitar kami.

Dan angin juga menerbangkan topi jubah milik si Green Flash hingga terbuka.

Kini aku bisa melihat jelas wajahnya. Dia menangis.

"Eh..? Kamu..." gumamku pelan. Kemudian air mata ikut membanjiri wajahku.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top