2 : Intisari
Malam ini tak ada pelanggan. Erhan duduk sambil menonton televisi, sementara Erik sedang merokok di luar.
Seorang pria kurus yang terlihat sangat suram berdiri di depan barbershop. Erik menatapnya sambil menghisap batang rokok, kemudian membuang asapnya. Pria di depan Raven Barbershop itu berjalan maju dan masuk ke dalam.
Erik membuang putung rokoknya yang kebetulan juga sudah habis. Ia menginjaknya untuk memadamkan api, kemudian beranjak masuk mengikuti pria itu.
Pria tadi sudah duduk di kursi, bersiap untuk dipangkas. "Mau potong model apa, Pak?" tanya Erik ramah.
"Gagak kembar," jawab pria itu.
Sontak raut wajah erik berubah. Kebetulan, karena sudah malam ia membalik plang buka toko menjadi tutup. Kini tinggal mereka bertiga di dalam ruangan.
Pria itu memberikan sebuah map cokelat berisi foto dan sejumlah uang. Erik membuka amplop, kemudian menatap foto.
"Jadi, siapa orang ini?" tanya Erik.
"Agus Herlambang," jawab pria itu lesu, tetapi matanya menyiratkan sepercik api dendam yang belum pudar.
"Sistem kami adalah memberikan data target dan uang muka sebesar lima puluh persen. Jumlah uang ini tidak sepadan dengan pekerjaan kami," ucap Erik.
"Untuk uang muka segitu dulu, sisanya saya bayar setelah kalian berhasil."
Erik menunjuk foto itu. "Bapak pikir saya bodoh? Ini orang salah satu pejabat negara, taruhannya nyawa. Apa harga nyawa saya terlihat semurah ini? Ya, untuk harga preman jalanan mungkin kami masih bisa beri korting sedikit, tapi untuk pejabat negara? Big no."
"Saya mohon ...," tiba-tiba pria itu menangis dengan lirih sambil duduk memohon. "Perusahaan saya direbut, lalu istri saya diperkosa di depan mata saya sendiri. Biadab itu harus mati setelah menghancurkan saya dan keluarga saya."
Segellintir kenangan buruk lewat begitu saja di dalam ingatan Erhan. Ia memberikan isyarat pada Erik untuk mengambil tugas itu, tapi Erik bersikeras menolak.
"Lu gila?" tanya Erik pada Erhan. "Ini sama aja lu kayak disuruh berburu singa, terus dibayar permen."
Erhan menatap pria lesu itu. "Biar saya urus," ucap Erhan merebut map cokelat dari tangan Erik.
"Han ... lu gila?" tanya Erik dengan sinis.
"Peraturan nomor dua, jangan ikut campur pilihan di antara kita perihal pekerjaan," ucap Erhan.
"Nomor dua?" Erik memicing. "Sejak kapan kita punya aturan? Terus yang nomor satu apa?"
"Perkataan Kakak selalu mutlak," jawab Erhan.
Singkat cerita, akhirnya tugas berat ini diambil oleh Erhan seorang diri. Sementara Erik tak peduli.
***
Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.
Hari telah menghitam. Erik memacu laju motornya dari Sarang Gagak yang berada di Roa Malaka, menuju Benhil. Mumpung Erhan sedang bekerja, ia memutuskan meliburkan barbershopnya dan pergi ke Bendungan Hilir untuk bertemu dengan seseorang.
Motornya berhenti pada satu bangunan gemerlap bertuliskan 'Intisari' pada plang besar di depan jalan.
Para penjaga klub malam sudah akrab dengan Erik. Mereka menyapa dan membiarkan Erik masuk ke dalam. Sesampainya di dalam, Erik menjumpai seorang pria kekar.
"Madam ada?" tanya Erik.
Pria itu menggerakkan kepala ke arah sebuah ruangan di lantai dua. Erik tersenyum, lalu berjalan ke ruangan tempat Madam berada. Madam merupakan mucikari, sekaligus pemilik tempat hiburan malam ini.
Pintu terbuka, Erik menatap ke dalam ruangan. Madam sedang duduk sambil merokok di dalam ruangan ber AC tersebut.
"Lihat siapa yang datang ini? Gagak kecil," ucap Madam diirngi senyum.
Erik masuk ke dalam ruangan dan duduk di sofa yang berada di depan Madam.
"Apa yang membawamu ke sini?"
Erik terkekeh mendengar pertanyaan itu. "Enggak ada. Bukan kerjaan juga. Cuma butuh waktu menenangkan diri dan pikiran."
"Sudah lama sekali kau tidak pernah ke sini lagi, Erik."
Erik menyalakan rokoknya. "Ya, kau tahu madam ... akhir-akhir ini aku sibuk dengan pekerjaanku."
"Sebagai pemangkas rambut? Atau pemangkas kepala?"
Pria itu terkekeh dengan pertanyaan Madam. "Dua-duanya."
Pintu kembali terbuka. Kini wanita cantik berkulit putih dengan rambut sepanjang bahu masuk ke dalam ruangan. Ia berlari ke arah Erik. Erik fokus pada dada besar wanita itu yang berguncang saat berlari. Waktu seolah melambat untuk Erik.
Wanita itu duduk di pangkuan Erik sambil melingkarkan tangannya di leher Erik. Tanpa aba-aba ia langsung melumat bibir pria itu. Erik membalasnya dengan brutal. Madam hanya menghela napas diiringi kepulan asap melihat cumbuan mereka.
Erik melepas ciumannya, lalu menatap wanita itu dalam-dalam. "Hey, apa kabar? Apa Madam menjagamu dengan baik?" ucap Erik penuh lemah lembut.
Wanita itu tersenyum sembari mengangguk. "Baik, kamu apa kabar? Madam enggak pernah berubah, dia selalu baik sama pekerja-pekerjanya."
Erik terkekeh, lalu menatap Madam. "Madam, aku titip Sandra. Enggak apa-apa ada yang nyentuh dia, tapi jangan sekali-kali melewati batas. Wanita ini milikku."
"Tak perlu mengajariku cara berbisnis," balas Madam.
"Mana Erhan?" tanya Sandra.
"Dia lagi sibuk berburu," jawab Erik.
"Loh, kamu ngapain di sini? Lagi mau cari sesuatu tentang target kalian?"
"Cuma mau cari kamu," jawab Erik. "Terkadang ada kerjaan yang di mana kita enggak sekepala. Jadi ya kalo Erhan mau, dia boleh ambil. Sebaliknya pun gitu. Enggak masalah."
"Jadi sekarang mau ngapain?" tanya Sandra tersenyum nakal.
Erik menatap Madam. "Madam, ada kamar kosong?"
"Kau harus bayar ...."
Erik mengeluarkan sejumlah uang dari dalam dompetnya. "Aku cuma sewa kamar. Untuk Sandra enggak. Dia pacarku, bukan pelacur."
"Sayangnya dia sedang berada di jam kerja," balas Madam.
Erik mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Madam dengan kepala agak mendongak. "Ayolah, kita ini rekan bisnis, kan?"
Madam menghela napas pasrah. Ia bangkit dan mengambil satu kunci kamar dari laci mejanya. "Kamar biasa," ucap Madam.
"Nah, gitu dong." Erik terkekeh, ia berdiri dan berjalan mengambil kunci itu, lalu merangkul Sandra sambil membawanya keluar ruangan Madam.
"Kamu bawa pengaman?" tanya Sandra.
"Enggak butuh gituan. Aku lagi laper banget," jawab Erik.
Sandra mencubit hidung Erik. "Nakal! Awas kalo keluar di dalem."
"Hahaha santai, nanti dicabut pas mau keluar. Aku ini pro."
***
Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Di malam yang sama, tetapi tempat yang berbeda. Erhan sedang berjalan dengan setelan khasnya. Jaket hitam, celana hitam, mengenakan sarung tangan hitam dan juga buff hitam menutupi bagian hidung hingga lehernya.
Ia terlihat baru saja keluar dari sebuah warnet, dan langsung berdiri di pinggir jalan menunggu kehadiran bus kopaja. Begitu bus kopaja datang, Erhan menaikinya dan duduk beberapa menit hingga kopaja tersebut melaju di jalan Gatot Subroto.
Di tahun ini belum seketat sekarang, bus kopaja masih sering berhenti di luar halte pemberhentian. Erhan turun di pinggir jalan dan lanjut berjalan memasuki sebuah gang.
Getar ponselnya membuat Erhan berhenti sejenak, lalu mengangkat panggilan. Panggilan itu dari Erik. Erhan mengangkatnya.
"Di mana?" tanya Erik.
"Gatsu," jawab Erhan singkat.
"Nanti mampir ke Intisari dulu. Jemput gua, mabok nih," ucap Erik.
Samar-samar terdengar suara wanita mendesah dari speaker ponsel Erhan. Erik tiba-tiba mendekatkan ponselnya pada wajah Sandra. Suara desahan itu semakin jelas terdengar diiringi samar-samar kekehan Erik. Erhan langsung mematikan panggilan tersebut. Erik memanglah salah satu spesies manusia bajingan.
Erik memang bodoh, untungnya Erhan sabar dan bersifat tenang. Ia tak begitu peduli dengan semua kelakuan bodoh Erik padanya. Contohnya seperti barusan, Erik sering berhubungan sex dan menelpon Erhan untuk memamerkan desahan pacarnya.
Lanjut pada Erhan. Ia berjalan melewati sebuah rumah besar. Rumah itu penuh dengan penjagaan. Ada dua orang keamanan yang berjaga di pos depan. Terdapat kawat-kawat duri di atas pagar tajamnya, sehingga sulit bagi Erhan untuk masuk dengan memanjat. Membunuh salah satu petinggi negara memang sulit.
'Dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh ....'
Belum lagi tujuh CCTV yang terpasang memantau halaman rumah. Tak ada cara lain, Erhan harus membunuhnya di luar rumah.
Membunuh itu membutuhkan kesabaran, apa lagi jika tak ingin meninggalkan jejak dan bisa bernapas lega tanpa harus mempertaruhkan nyawa. Sayangnya, tak seperti client sebelumnya yang memberikan bayaran tinggi, sehingga Erhan mampu membeli data dan koneksi pada mafia. Misinya kali ini ia tak bisa mengandalkan uang DP dari clientnya.
'Aku akan memantau beberapa hari dan membuntutinya untuk mencari pola kebiasaannya.' Batin Erhan. 'Begitu paham polanya, baru susun rencana.'
Malam ini cukup. Erhan menarik mundur langkahnya dari rumah target, lalu segera menuju Benhil untuk menjemput Erik.
***
Sesampainya di Intisari, Erhan langsung disambut oleh para wanita malam. Wajahnya memang mirip dengan Erik selaku kembarannya, tetapi aura mereka berbeda. Entah mengapa, Erhan lebih tampan di mata para wanita ketimbang Erik.
"Mana Erik?" tanya Erhan pada Madam yang sedang duduk di bar bersama seorang bartender muda.
"Lantai dua, kamar biasa," jawab Madam.
Erhan menaiki tangga dan berjalan hingga ke kamar tempat Erik berada. Ia membuang napas, lalu membuka pintu.
Sandra baru saja keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang menggoda. Di sekujur tubuhnya banyak tanda-tanda merah bekas cupangan. Erhan mengalihkan pandangan darinya, dan menatap Erik yang tertidur di kasur.
"Mau langsung pulang?" tanya Sandra.
"Ya," jawab Erhan singkat. Ia merangkul Erik dan membopong tubuhnya.
"Lu harus cari cewek, Bro ...," gumam Erik sambil memberikan jari jempolnya pada Erhan. "Joss! Hahaha."
"Gila," balas Erhan singkat.
Erhan membawa Erik pulang dengan mengikat tubuh mereka dengan tambang agar Erik tidak terjatuh ketika Erhan mengendarai motor.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top