I : Ingin Mengakhiri Hidup, tapi Seorang Pemuda Datang untuk Garam

⚠️Cerita ini mengandung adegan berbahaya yang tidak untuk ditiru. Harap kebijakan pembaca saat membacanya. Sekali lagi, adegan berbahaya bukan untuk ditiru⚠️

Suara teriakan beradu dengan nyaringnya benda berbahan kaca yang jatuh ke lantai. Semua terperanjat dari tempatnya masing-masing dan seorang wanita tua melangkah terburu-buru ke teras.

"Harold, sudah kubilang untuk berhati-hati," peringat wanita itu, mengusap dadanya yang baru saja dikejutkan dengan insiden gelas pecah ini.

Pria tua yang duduk di kursi goyangnya itu pura-pura tidak terjadi apa-apa dan pura-pura tidak mendengar prolog dari omelan istrinya tersebut.

"Aku tidak sengaja, Margareth," ucap Harold, menggedikan bahu, menutupi rasa bersalahnya.

Margareth menatap tajam suaminya, berkacak pinggang sambil menggelengkan kepalanya pelan. Wanita itu mengambil pecahan kaca dengan hati-hati.

"Itu adalah 'tidak sengaja' ketiga yang aku dengar minggu ini. Sudah kubilang jika gelasnya panas. Kau harus membiarkan kopimu lebih dingin," omel Margareth dan seperti pertengkaran di teras yang seringkali mereka lakukan, Harold hanya menutup kedua telinganya.

Sembari membereskan kekacauan yang dibuat suaminya, Margareth terus mengomel hingga seorang wanita usia 33 tahun keluar dari rumah.

"Kakek memecahkan gelas lagi?" tanya wanita berambut pirang itu, lumayan sibuk dengan bayinya yang terus menangis menjerit-jerit.

"Seperti yang kita tahu, Gracy. Kakekmu memang keras kepala. Tunggu saja sampai kita minum memakai mangkuk sup," sungut Margareth, menatap tajam suaminya yang malah menjulurkan lidah.

"Dasar pria tua yang menyebalkan!" Margareth menampar lengan suaminya dengan sekuat tenaga dengan pecahan kaca di tangannya yang lain.

Harold masih mengabaikan omelan istrinya dengan pura-pura tidak mendengar dan tidak peduli. Dia pikir energi mengomel istrinya tidak berkurang bahkan masih sama sejak rambutnya masih hitam sempurna.

Gracy tidak begitu peduli dengan pertengkaran lumrah yang terjadi di rumah ini, memilih menimang putri kecilnya agar tenang. Bayi 8 bulan itu amat susah ditenangkan hingga membuatnya cukup migrain.

"Hei, Sheia! Kau baru pulang, Nak? Ingin menikmati teh bersama kami?" Alih-alih mendengarkan istrinya, Harold justru menyapa seorang gadis muda yang menapaki teras rumahnya di sebelah kanan dari rumah Harold dan Margareth.

Gadis itu menjawabnya dengan senyuman yang dipaksa ditarik dan anggukan lemah, lantas memasuki rumahnya tanpa bersuara. Hening juga turut melingkupi Harold dan Margareth sejenak setelah melihat gadis itu.

"Kau tahu? Sepertinya gadis itu masih tidak baik-baik saja. Apakah aku perlu membawakan sepiring kue untuknya?" Margareth menatap penuh iba pada teras rumah yang sepi itu.

"Sepertinya lain kali kau harus melakukannya," sahut Harold, turut sedih dengan keadaan tetangganya dan sedikit lega karena tiba-tiba istrinya berubah menjadi ibu peri yang memiliki rasa iba seluas Samudra Hindia.

"Aku akan membuat kue untuk Sheia dan tetangga baru kita," ucap Margareth.

Wanita 76 tahun itu langsung memasuki rumahnya sembari membawa pecahan cangkir Harold, membuat pria itu menghela napas lega. Sepertinya keadaan tetangga mereka lebih diprioritaskan otak Margareth dibandingkan cangkir pecah itu.

Sementara itu, di bawah atap rumah yang lain ada seorang gadis yang dilingkari keheningan yang mencengkramnya erat. Bisa didengarnya detak jantungnya sendiri dan helaan napas yang mungkin akan menjadi suara terakhir yang ia dengar.

Logikanya kalut, hidupnya penuh kemelut, jiwanya tak lagi lembut. Ia sudah menyerah atas hidupnya, atas segala yang membuatnya patah. Ia lelah, sungguh. Tak ada lagi hal yang tersisa untuk diperjuangkannya.

Tangannya masih menggenggam erat sebuah tali. Sekali lagi, ia menyisir ruangan ini dengan matanya yang memerah. Sofa kecokelatan yang seringkali didudukinya dan kedua orang tuanya saat menonton pertunjukan sirkus di televisi, tangga yang jadi tempat ternyaman untuknya membaca novel, dan sebuah akuarium dengan ikan mas koki berjenis lionhead ada di ruangan tersebut.

"Hei, Poobie, Bibsie, aku akan sangat merindukan kalian. Kuharap Mrs. Johnson akan membawamu setelah aku tiada." Gadis berambut hitam bergelombang itu menatap kedua ikannya dari tempatnya berdiri di atas sebuah kursi, berderai air mata saat melihat ikan-ikan itu menatapnya tak mengerti.

"Tak apa, kalian tidak harus mengerti apa yang kurasakan. Terima kasih karena telah mendengar semua keluhanku. Aku menyayangi kalian berdua." Gadis mengangguk-angguk pelan sembari menggulung lengan kemeja biru mudanya.

Perasaan hampa, berat, putus asa melahirkan niat yang tak pernah ia duga akan muncul di benaknya hingga membulatkan keputusan yang tidak disangka akan diambil. Semua yang terjadi di dunia ini begitu memuakkan dan melelahkan, membuatnya bertanya apakah dunia ini cukup adil untuk ditinggali manusia.

Gadis itu tertawa kecil dengan senyum miris dan kepala menggeleng lemah. Tidak, tidak, jika dunia ini adil untuk manusia, kenapa untuknya tidak terasa begitu?

Ia menghirup oksigen sebanyak-banyaknya karena mungkin besok dan seterusnya ia tidak akan pernah lagi merasakannya. Disekanya air mata yang membanjiri pipi putih yang dihiasi freckless. Baiklah, ia sudah siap.

Ketukan di pintu rumahnya agak mengalihkannya, membuatnya bertanya-tanya siapa yang ada di luar sana. Akan tetapi, ia akan mengabaikannya meski pun orang tersebut mungkin akan menjadi orang terakhir yang dilihatnya di dunia ini.

Gadis itu benar-benar mengabaikan ketukan pintu tersebut dan dia lebih memilih melakukan ini sesegera mungkin.

Semuanya langsung terasa senyap. Tak ada suara. Benar-benar hening.

Dalam menit yang sama, semua menjadi sangat sunyi, benar-benar terasa sunyi. Tak ada lagi isak tangis yang begitu pilu, tak ada lagi keluhan-keluhan atas dunia yang mengudara di ruangan ini. Tak ada lagi suara dari gadis itu.

"Hei, kau punya garam?"

"Ya Tuhan!"

Gadis itu terperanjat kaget hingga nyaris jatuh dari kursinya. Diusapnya dadanya yang terasa seperti gong yang dipukul begitu keras. Bukankah ia telah melakukannya barusan? Ia kira dirinya sudah tiada.

Suara pemuda itu benar-benar membuat tubuhnya lemas karena terkejut. Namun, pemuda berambut kecokelatan itu menatapnya biasa saja dengan sebuah mangkuk bening kecil di tangannya.

"Ahm ... ya," sahut gadis itu, bingung sekaligus merasa sangat canggung karena merasa tertangkap basah.

"Boleh aku memintanya sedikit?" pinta pemuda jangkung itu dan gadis tersebut hanya mengangguk kecil.

"Masuk saja ke dapur. Ada di dekat kompor."

Pemuda itu melenggang pergi ke arah dapur seperti tak melihat sesuatu yang harusnya membuatnya terkejut. Gadis itu benar-benar merasa canggung dengan respons lelaki tersebut hingga wajahnya semerah kepiting rebus. Ia sangat malu dan ingin menenggelamkan dirinya di lapisan terdalam bumi.

Sekarang bagaimana ia harus bersikap? Apakah ini harus dilanjutkan atau menunggu pemuda itu keluar dulu? Apakah pemuda itu akan merasa trauma setelah mengambil garam tetapi malah disuguhi mayat seorang gadis?

"Maaf karena lancang memasuki rumahmu tanpa izin." Pemuda itu kembali dari dapur bersama wadah berisi garam. "Bisakah kau memberikan sebanyak apa garam yang boleh kubawa?"

"Tidak apa-apa dan kau boleh mengambil sebanyak yang kau perlukan," sahut gadis itu, agak memalingkan wajahnya ke mana saja karena canggung.

"Bisakah mengambilnya untukku? Berapa pun yang kau berikan."

"Ambil saja. Aku tidak tahu sebanyak apa garam yang kau butuhkan."

Pemuda itu mengangguk kecil.

"Baiklah, terima kasih, Shella." Pemuda itu tersenyum kecil dengan percaya dirinya.

"Namaku Sheia," koreksinya dan pemuda itu hanya mengangguk-angguk seakan mengakui kesalahannya.

Entah apa yang terjadi pada memori otaknya, tapi tetangga baru Sheia itu tidak dapat mengingat namanya dengan baik.

"Bisakah kau memegangkan ini untukku? Aku kesulitan untuk menuangkannya pada mangkukku." Pemuda itu menyerahkan wadah garam Sheia.

Menuruti permintaan pemuda tersebut, Sheia menerima titipan itu. Ia ingin tetangganya ini cepat-cepat pergi dari sini.

Namun, Sheia sedikit tersentak dengan tangan dingin yang tak sengaja menyentuh kulitnya. Begitu dingin hingga rasanya seperti menembus kulit hingga ke tulangnya. Sheia tidak pernah merasakan tangan manusia sedingin ini bahkan ketika musim dingin sekali pun.

Tanpa sadar, itu terjadi lebih lama dari yang seharusnya. Menyadari kebodohannya, Sheia menarik wadah garam itu dan membuka tutupnya.

"Kau adalah gadis yang berumur panjang."

Sontak kalimat itu membius fokus milik Sheia.

Halo!

Selamat datang di kisahnya Sheia. Aku harap kalian menikamati cerita ini! Aku mengikutsertakan cerita ini pada event Writora : Show Your Universe yang diselenggarakan oleh Storamedia. Ayo cek karya-karya lainnya!

See you!💓

Gadis yang Berumur Panjang © 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top