Bab 5 : Seorang Suami
Seringkali seseorang meributkan kesempurnaan pasangan hidup yang ia dambakan, tetapi lupa pada diri sendiri yang justru perlu terlebih dulu disempurnakan
💮💮💮
"Mas, sarapannya sudah siap." Panggilan Maudy menginterupsi Rahman yang tengah mengancingkan kemeja di kamarnya. Jam di dinding memang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, waktu yang biasa Rahman lalui dengan sarapan sepiring nasi goreng dan segelas teh panas. Kebiasaan yang dengan cepat Maudy ketahui serta penuhi.
"Iya, sebentar," jawab Rahman. Ia memakai kancing baju terakhir lalu bergegas keluar. Di dapur, Safitri dan Maudy telah menunggunya. Ruang makan mereka sejatinya hanya meja persegi panjang yang merapat ke dinding, berada satu ruangan dengan dapur. Sebenarnya meja tersebut bisa menampung lebih dari tiga orang, tinggal menambahkan kursi plastik sesuai jumlah orang. Pengaturan semacam itu membuatnya seperti tempat makan di warung-warung, tetapi sekaligus menghemat tempat mengingat rumah itu sendiri memang tak begitu besar.
"Hari ini aku mungkin pulang lebih sore. Pesanan katering ibu dobel." Rahman memberitahu seraya menarik salah satu kursi plastik berwarna hijau lalu mendudukinya.
"Iya, Mas," jawab Maudy singkat. Ia meletakkan sarapan Rahman di hadapan sang suami, kemudian melakukan hal yang sama untuk ibunya.
"Kalau perlu apa-apa, langsung WA aja, ya," ujar Rahman.
Maudy mengangguk. Ia menjadi yang terakhir bergabung di meja makan. Setelah itu, acara sarapan berlangsung dengan tenang. Tak ada percakapan. Hanya sesekali suara Maudy yang terdengar sedang melayani sang ibu, menanyakan beberapa hal mengenai sarapannya.
Rahman mengunyah nasi gorengnya dengan gusar. Sudah seminggu ia tinggal bersama Maudy dan ibunya. Itu berarti sudah seminggu pula ia menjadi seorang suami serta menantu. Namun, dalam kurun waktu selama itu, Rahman merasa semacam ada batasan tak terlihat antara dirinya dan Maudy. Semua berawal dari malam pertama yang tidak pernah mereka lalui bersama. Sejak itu, keduanya sama-sama menjaga jarak. Terlepas dari kebutuhan biologis, Maudy memang melakukan semua tugasnya dengan baik. Memasak, mencuci, membersihkan rumah, menyiapkan semua kebutuhan Rahman. Akan tetapi, semua hal itu tak ada bedanya dengan sebelum Rahman menjadi bagian dari rumah itu. Justru, keadaannya terkesan seperti Rahman adalah majikan baru di sana.
Apakah Maudy tersinggung?
Pertanyaan itu terus bergaung di benak Rahman. Jelas sekali penolakan Rahman malam itu melukai hati Maudy. Walaupun keduanya dijodohkan dan menikah bukan atas dasar cinta, Maudy sepertinya menyadari alasan sikap Rahman. Namun, mau bagaimana lagi? Rahman selalu menjaga pandangannya dari sang istri sekalipun mereka adalah pasangan yang sudah halal. Sebab yang berkelebat di pikiran Rahman bahkan saat ia baru meniatkan dalam hati bukanlah wajah cantik Maudy, melainkan sosok perempuan yang tengah berpelukan dengan pria lain.
Rahman tahu sikapnya sungguh salah. Namun, lelaki mana yang bisa menerima kenyataan jika istrinya sudah disentuh pria lain. Terlepas dari dia mencintai Maudy atau tidak, Rahman beranggapan jika ia berhak mendapatkan perempuan yang bisa menjaga kesuciannya. Hijrahnya Maudy mungkin bisa menjadi bukti kalau perempuan itu telah berupaya menjadi lebih baik. Sayangnya, bagi Rahman itu belum cukup. Dia menginginkan pendamping yang masih utuh kesuciannya karena dia pun memberikan hal yang sama. Bukankah perempuan baik-baik untuk lelaki baik-baik?
"Aku berangkat, ya," pamit Rahman seraya bangkit berdiri setelah meneguk habis tehnya. Ia mencium punggung tangan sang ibu mertua, lalu membiarkan Maudy melakukan hal yang sama padanya. Rutinitas yang terasa aneh karena di kamar tidur mereka bahkan membuat batasan wilayah. "Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam," balas Maudy. Tak lama, sosok Rahman pun menghilang di balik pintu.
***
Tumpukan kotak-kotak putih berisi makanan menyambut Rahman yang baru kembali dari mengantar pesanan. Kotak-kotak tersebut adalah pesanan kloter kedua. Rahman harus mengantarkannya ke tempat berbeda.
"Yang ini kamu antar ke rumah Bu Sugeng, ya, Man," ujar Nurul Aini.
Mendengar nama Bu Sugeng, Rahman sontak tampak enggan. Bertemu lagi dengan ibu-ibu tukang gosip itu bukan hal yang ia inginkan. Namun, sebagai salah satu pelanggan setia katering, mengecewakan Bu Sugeng sama dengan menurunkan performa usaha katering. Jadi, mau tidak mau Rahman harus mengesampingkan ketidaknyamanan pribadinya terlebih dulu.
"Biar Salwa nemenin kamu ke sana," Nurul Aini yang menangkap keengganan di wajah sang putra segera memberi solusi.
Rahman mengangguk tanpa berkata-kata. Dipindahkannya kotak-kotak tadi ke dalam mobil. Ada sekitar 50 kotak berisi menu spesial, menu yang Bu Sugeng pilih sendiri di luar menu reguler katering.
Salwa sudah menunggu di dalam mobil ketika Rahman selesai memasukkan kotak terakhir. Keduanya segera berangkat menuju rumah Bu Sugeng yang letaknya berada di kelurahan tetangga.
Berbeda dengan Salma, Salwa tidak banyak bicara. Sebenarnya Rahman tidak mempermasalahkan hal itu, hanya saja ketika yang ia temui adalah orang dengan tingkat rasa penasaran yang tinggi, Rahman merasa Salma yang cerewet adalah lawan yang sebanding.
Tak sampai sepuluh menit mobil carry merah tua Rahman sudah memasuki gang besar menuju rumah Bu Sugeng. Salwa menunjukkan rumah perempuan itu pada Rahman. Sebuah rumah besar bergaya modern dengan halaman yang cukup luas dan ditumbuhi banyak tanaman. Pagarnya rendah dan terbuat dari kayu ulin dengan model renggang sehingga bagian dalam bisa terlihat dari luar. Ternyata kediaman perempuan itu bagus dan tampak mentereng dibanding para tetangganya. Bisa jadi Bu Sugeng adalah salah satu orang berada di kampungnya. Sepintas, rumah itu mengingatkan Rahman pada rumah lama Maudy. Namun, ia segera ingat jika rumah kediaman sang istri dulu jauh lebih besar dan mewah.
"Wah, sudah datang. Ayo, Nak Rahman, segera dibawa masuk," ajak Bu Sugeng yang ternyata telah menunggu di depan gerbang. Ia segera menyapa Rahman yang baru saja menepikan mobil.
Rahman dan Salwa kemudian turun dari mobil. Bergantian mereka menurunkan kotak-kotak makanan pesanan Bu Sugeng sementara si pemesan berdiri diam mengawasi.
"Wah, sudah datang, ya, Mi?" Sebuah suara asing muncul beberapa saat kemudian. Suara perempuan. Namun, Rahman tidak merasa tertarik untuk mencari tahu pemiliknya dan tetap melanjutkan tugas.
"Iya. Katering Bu Nurul, kan selalu tepat waktu," jawab Bu Sugeng. "Oh, ya, Nak Rahman, kenalin ini putri bungsu Ibu yang Ibu ceritakan waktu itu, Fathia."
Karena namanya dipanggil, mau tak mau Rahman menghentikan sejenak pekerjaannya dan menoleh. Di samping Bu Sugeng, berdiri seorang gadis sebaya Maudy yang tersenyum padanya. Pakaian yang dikenakannya jauh berbeda dengan sang ibu yang tertutup gamis panjang dan berlapis. Sosok Fathia justru memakai kaus agak kebesaran yang dilapisi jaket dan celana jeans pudar dengan robekan di lutut.
"Halo, Mas Rahman," sapa Fathia. Gadis itu tak tampak canggung berkenalan dengan orang baru. Gayanya begitu santai.
"Halo, Fathia," jawab Rahman datar, sekadar formalitas untuk menghargai lawan bicaranya.
"Nak Rahman ini tadinya mau Ibu jodohkan sama kamu, lho," celetukan Bu Sugeng berhasil membuat kepala Rahman berdenyut-denyut. Sesi bergosip ternyata telah dimulai bahkan dalam keadaan seperti sekarang. Saat Rahman tengah sibuk menurunkan makanan pesanan mereka.
"Eh, siapa yang mau dijodohin sama Fathia, Mi?"
Belum hilang pengar yang tiba-tiba saja muncul di telinga Rahman, sudah muncul lagi perempuan lain. Kali ini lebih tua dari Fathia. Namun, penampilannya membuat Rahman shock. Jika pakaian yang dikenakan Fathia saja sudah membuat heran, pakaian perempuan ketiga itu sukses membuat Rahman menahan napas beberapa detik. Bagaimana tidak, tubuh semampainya tampak seperti lepet-penganan yang biasa menyertai acara lebaran ketupat, dibungkus janur dan diikat kencang-karena begitu ketatnya. Tiap lekuk tubuhnya terekspos jelas, ditambah begitu pendeknya rok yang ia pakai.
"Ini, lho, Fa. Anak tunggal Bu Nurul," terang Bu Sugeng. "Oh, ya, Nak Rahman, ini kakaknya Fathia. Namanya Rifa."
Rahman terpaksa tersenyum meski dalam hati mengucap istighfar berkali-kali. Sungguh ia tak menyangka jika anak-anak Bu Sugeng sungguh beragam penampilannya.
"Wah, Masnya ganteng juga. Terus kenapa nggak jadi? Udah punya pacar, ya, Mas? Atau nggak suka cewek tomboi kaya Fathia?" cecar Rifa.
"Nak Rahman sudah punya istri. Baru menikah seminggu yang lalu." Bu Sugeng memberi penjelasan. "Dan istrinya adalah Maudy."
"Oh, sayang sekali," sesal Rifa. Rahman tidak mengerti apakah penyesalan itu ditujukan untuk status Rahman yang telah beristri atau untuk fakta kalau Maudy adalah istrinya. Lagipula yang Rahman inginkan saat ini hanya segera menyelesaikan tugasnya dan pulang. Meninggalkan tempat dengan tiga perempuan aneh yang pernah Rahman kenal.
"Bu Sugeng," suara Salwa menginterupsi. "Sudah selesai. Apa ada pesan tambahan untuk orderan selanjutnya?"
Rahman jadi merasa bersalah karena membiarkan Salwa menurunkan semua sisa kotak sendirian. Namun, gadis itu tidak tampak kesal.
"Oh, iya, iya. Saya nggak ada order tambahan, Wa. Untuk selanjutnya tetap seperti yang sudah saya pesan langsung ke Bu Nurul, ya."
Salwa mengangguk. "Kotak-kotaknya mau sekalian dibawakan masuk atau dibiarkan di sini, Bu?"
"Nggak usah. Biar nanti dibawa masuk anak dan menantu Ibu. Terima kasih, ya, Salwa, Nak Rahman."
Rahman lega urusan mereka sudah berakhir. Bergegas ia menuju mobil, bersiap untuk segera pergi. Namun, ketika ia baru menyalakan mesin mobil, terdengar suara perempuan memanggilnya. Bukan Bu Sugeng, bukan pula Fathia melainkan Rifa.
"Dah, Mas Rahman." Perempuan itu melambaikan tangan sembari tersenyum ketika Rahman menoleh. Seolah itu belum cukup membuat Rahman bingung, Rifa mengakhiri sapaannya dengan sebuah kedipan mata yang membuat Rahman berakhir dengan ucapan istighfar berkali-kali, kemudian segera melajukan mobilnya tanpa menoleh lagi.
Begitu meninggalkan rumah Bu Sugeng, Salwa tiba-tiba cekikikan, membuat Rahman menoleh dengan heran.
"Ada yang lucu?" tanya Rahman jengkel.
"Mas Rahman, tuh, yang lucu. Ekspresinya ajaib banget," jawab Salwa seraya masih tertawa kecil. "Alhamdulillah, ya, nggak jadi menantunya Bu Sugeng. Kalau jadi, kayanya Mas Rahman bakal ditaksir sama kakak ipar sendiri."
"Itu bukan lucu, Wa. Tapi horor," balas Rahman seraya akhirnya ikut tertawa. Ia jadi membayangkan seperti apa pergaulan anak-anak Bu Sugeng. Satunya seperti laki-laki, satunya genit. Apakah mereka bisa menjaga diri dengan penampilan mereka yang semacam itu? Atau mereka tipikal orang yang tidak begitu peduli dengan hal semacam itu? Kalau benar begitu, kenapa Bu Sugeng justru begitu mempermasalahkan soal sosok Maudy?
"Mas!" Seruan Salwa mengejutkan Rahman dari lamunan. "Hayo, mikirin apa? Nggak boleh tergoda, lho. Ingat, Mas Rahman udah jadi suaminya Mbak Maudy."
Rahman tertegun. Bukan ucapan panjang Salwa yang biasanya pendiam yang Rahman sadari, tetapi kenyataan yang baru saja disampaikan oleh sepupunya itu. Sungguh tidak pantas ia memikirkan perempuan lain saat ia sudah menjadi seorang suami.
Ya, seorang suami dari istri yang tidak ia cintai.
***
Karena hari ini bakal lebih hectic dan takut kelupaan lagi, jadi aku publish pagi. Semoga kalian suka.
Oh, ya. Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Terima kasih.
Salam Baca 😉
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top