Bab 3 : Pilihan

Pilihan bukanlah beban, melainkan sebuah ujian tentang perasaan.
Tuluskah kita bersamanya ketika  tertuju pada kebahagiaan?
Ikhlaskah kita menjalaninya saat dihadapkan pada penderitaan?

💮💮💮

"Masih mikirin syarat dari Maudy?" Nurul Aini menegur Rahman yang tengah duduk termenung di ruang tengah. Jam di dinding menunjukkan pukul setengah tujuh malam. "Kan, tinggal diiyakan saja, Man."

Rahman membiarkan sang ibu duduk di sampingnya. Meski menghadap televisi, benda kotak itu justru seolah menggantikan peran sang tuan rumah sebagai penonton.

"Kenapa bukan mereka saja yang pindah ke sini? Cuma beda dua gang aja, Bu. Dan di sini lebih layak." Rahman mengutarakan keheranannya yang ditanggapi Nurul Aini dengan seutas senyum.

Syarat yang diajukan Maudy tempo hari sebenarnya bukan hal yang berlebihan. Gadis itu hanya meminta setelah menikah mereka tetap tinggal di rumahnya, tidak berpindah ke rumah sang mertua. Syarat yang sayangnya bagi Rahman justru aneh.

Bagaimanapun juga, Rahman bekerja bersama ibunya. Bukankah akan lebih baik jika mereka tinggal satu atap? Dan, kehidupan mereka jelas akan lebih terjamin jika keluar dari rumah yang menurut Rahman tak layak huni itu. Jika ia tinggal di sana, mau tak mau harus ada perbaikan sementara ia belum memiliki dana untuk hal tersebut. Dan, lagi, Rahman masih begitu merindukan rumahnya. Satu alasan paling kekanakan yang tiba-tiba saja terselip.

"Justru itu, Man. Cuma beda dua gang, jadi nggak masalah kalau kamu pindah ke sana. Kan, deket dari sini." Nurul Aini sama sekali tidak menunjukkan sikap serupa sang putra. Rahman belakangan terlalu sering berpikir negatif tanpa menyadari jika dampaknya tidak baik untuk dirinya sendiri.

"Iya, sih, Bu. Tapi, kan, malah lebih enak kalau tinggal di sini saja," Rahman masih bersikeras dengan pendapatnya.

"Ternyata kamu masih lebih memikirkan dirimu sendiri, Man," ucapan sang ibu sukses membuat Rahman menoleh dan mengernyit, "coba kamu lihat dari sudut pandang Maudy."

Ada sebersit rasa tersinggung karena sang ibu menuduhnya egois. Dengan kata lain, di mata Nurul Aini posisi calon menantunya masih lebih baik dibanding putranya sendiri. Namun, cepat-cepat Rahman tepis perasaan itu. Orangtuanya selalu punya alasan yang masuk akal untuk setiap hal, dan ia yakin tak terkecuali masalah ini.

"Selama ini dia cuma menjahit di rumah supaya bisa merawat ibunya juga. Nah, kalau mereka pindah ke sini, kira-kira apa yang berubah selain statusnya sebagai istrimu dan menantu ibu?"

Rahman tak menjawab, tetapi kata-kata yang seharusnya terucap itu terangkai dengan jelas di kepalanya.

Melihat begitu hormatnya Maudy pada Nurul Aini, gadis itu pasti akan ikut membantu usaha katering. Dan, itu berarti waktunya untuk mengurus Safitri akan berkurang. Ia bisa memilih untuk tetap merawat Safitri dan berpikir bahwa tak ada keharusan membantu katering. Namun, tindakan kedua jelas tidak akan membuat Maudy mendapat gelar menantu kesayangan.

Pemikiran yang terlintas di benak Rahman dan ibunya sebenarnya tak benar-benar sama. Namun, poin tentang merawat Safitri membuat mereka sepakat tanpa harus saling bicara.

"Rahman mengerti, Bu."

"Lagipula, syarat yang diminta Maudy itu bukan apa-apa, Man. Dia nggak minta pesta mewah atau mahar yang mahal. Bukannya itu juga patut disyukuri."

Rahman tersenyum tipis. Baru teringat akan dua hal penting yang baru disebutkan ibunya. Dengan tabungan yang tak seberapa yang kini ia miliki, pesta mewah dan mahar mahal jelas bukan pilihan yang tepat. Pilihan Maudy untuk menikah sesederhana mungkin setidaknya telah membuat Rahman bernapas lega.

"Yah, paling Rahman harus mulai membiasakan diri dengan rumah mereka, Bu," ujar Rahman pasrah. Kalau Safitri dan Maudy yang dulu lebih kaya saja bisa, maka ia pun tidak boleh kalah.

Nurul Aini tersenyum lalu bangkit dari duduknya. Ia menepuk pelan pundak sang putra sebelum beranjak dan mengatakan sebuah kalimat.

"Memang, rumahku istanaku, seburuk apa pun kelihatannya, kan?"

***

Salma dan Salwa tengah sibuk menghias beberapa kotak berisi seserahan untuk pernikahan Rahman. Meski telah sepakat untuk melangsungkan pernikahan secara sederhana, Nurul Aini tetap ingin memberikan seserahan selayaknya pengantin lain. Rahman, seperti biasa tak banyak protes.

"Mas, nanti kalau udah pindah, aku boleh, ya, main ke rumah Mas," celetuk Salma seraya menggunting sehelai kertas dan membentuknya menjadi sebuah bunga. "Pengin belajar jahit sama Mbak Maudy."

Rahman mengangguk tanpa suara. Pandangannya tertuju pada tumpukan kotak seserahan yang dihias kedua sepupunya. Benda-benda itu menyadarkan Rahman jika dia memang benar-benar akan menikah dengan Maudy.

Sedih atau senang, Rahman bahkan tak tahu pasti dengan perasaannya saat ini. Sebuah keberuntungan mendapatkan jodoh ketika ia sendiri tidak memiliki calon. Tanpa perlu mencari pula. Rahman ingat salah satu rekan kerjanya di kantor dulu, Sandi, yang harus ditolak perempuan berkali-kali sekaligus jadi bulan-bulanan teman-temannya karena masih saja menyandang status jomlo di usia yang tak lagi muda.

Namun, kebahagiaan itu pastinya akan lebih lengkap jika bukan Maudy calon istrinya. Rahman tidak mau munafik. Sebagai lelaki normal, dia menginginkan pendamping hidup yang tak hanya cantik, tetapi juga baik. Maudy mungkin memenuhi syarat pertama, tetapi bukan tipe gadis baik yang Rahman dambakan.
Terbayang olehnya masa lalu gadis itu yang tidak bisa Rahman lupakan. Bukan tidak mungkin setiap kali hendak menyentuh Maudy, Rahman akan selalu teringat jika dia bukan yang pertama. Fakta yang sungguh memuakkan.

"Mas, calon manten jangan suka ngelamun. Nanti kesambet, lho," tegur Salwa yang baru selesai mengikatkan pita di salah satu kotak dan melihat Rahman termenung dengan pandangan kosong.

"Eh, bukan ngelamun jorok, kan? Hayo, ngaku," timpal Salma yang lebih cerewet.

"Apaan, sih? Enak aja kalau nuduh orang," sangkal Rahman. Tak terima dengan tuduhan si kembar yang sama sekali tidak masuk akal. Dia bahkan tak terpikir mengenai hal itu. Isi otak Rahman lebih didominasi oleh cara-cara yang bisa ditempuhnya untuk bisa menerima Maudy apa adanya.

"Habisnya, siang-siang gini ngelamun. Kenapa, sih? Mukanya juga galau gitu. Mas Rahman nggak bahagia, ya, mau nikah?" Salma masih memburunya dengan rentetan pertanyaan.

"Mau tahu aja kamu, Ma." Rahman menjawab dengan santai. Tidak ingin hal yang mengganggu pikirannya terbaca oleh si kembar.

"Ya, jelas, dong. Kalau bukan Mas Rahman, ya, aku nggak peduli. Aku takutnya Mas terpaksa dan bimbang karena di ibukota ternyata sudah punya pacar yang terpaksa ditinggalkan." Salma begitu lancar mengemukakan opini, "Iya, kan, Wa?"

Salwa mengangguk sembari merekatkan sebuah bunga kertas dengan selotip ke kotak berisi baju.

"Mana mungkin. Mas, kan, nggak pernah pacaran."

"Iya, sih. Cuma, ya, ekspresi Mas Rahman, tuh, kaya lagi mengharapkan banget sebuah pilihan tambahan. Dan, aku hanya nebak kondisi yang mendasarinya," terang Salma panjang lebar.

Rahman tertawa kecil. Sepupunya yang satu itu berbakat sekali dengan kata-katanya. Dan, seringkali ucapannya memang benar. Rahman memang berharap mendapatkan lagi pilihan selain menikahi Maudy. Namun, bukan karena ia memiliki tambatan hati lain, melainkan karena ia masih tak sanggup menerima dengan lapang dada kenyataan tentang Maudy.

"Sok tahu," cibir Rahman, tetapi Salma tidak tampak tersinggung. Gadis itu justru kembali berbicara.

"Ya, cuma dugaan, Mas. Lagipula, pilihan ada karena kita yang membuatnya. Jadi, ya, jalani aja. Lagian, Mbak Maudy cantik. Baik, lagi. Aku, sih, setuju aja." Salma kembali berceloteh. "Iya, kan, Wa?"

Salwa yang kali ini sedang melipat sehelai kerudung mengangguk untuk kedua kali. Namun, kali ini Rahman tak tertawa. Kalimat Salma barusan telah menohoknya.

Lukman Hussein memang memberi wasiat, tetapi bukankah Rahman sendiri yang memilih untuk menerimanya. Lalu, kenapa sekarang ia justru tidak konsisten?

Rahman mengembuskan napas panjang. Pernikahan dengan Maudy tidak lagi sekadar wasiat, tetapi juga pilihan yang Rahman ambil sendiri. Pilihan yang sudah seharusnya ia jalani dengan yakin terlepas akan perasaannya pada Maudy.

***
Perasaan pernah lihat notif dari Wattpad kalau ada fitur publish otomatis. Atau memang hanya perasaanku, ya? Kalau beneran ada kan bisa mempermudah. Efektif banget buat aku yang pelupa. Hehehe.

Terima kasih juga buat yang sudah mampir ke sini. Mau baca aja atau sekalian meninggalkan jejak, aku sangat menghargai semuanya. Apalah arti penulis tanpa pembaca, ya, kan?

Btw, gimana kesan kalian dengan 3 bab pertama ini? Boleh dong tulis di sini.

Sekali lagi, makasih ya para pembaca yang budiman 😄

Salam Baca
Suki

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top