Bab 17 : Masa Lalu
Kemarin adalah kenangan, esok adalah misteri. Namun, tak ada gunanya berkubang dengan dua hal tersebut tanpa benar-benar peduli dan menjalani dengan baik hari ini.
🌸🌸🌸
"Zina! Zina!"
"Arak keliling kampung biar semua orang tahu."
"Nggak tahu malu."
"Dasar pezina! Bikin nama kampung kita tercoreng aja."
"Udah, arak keliling kampung aja. Tunggu apalagi?"
Maudy hanya bisa menunduk diam mendengarkan seruan-seruan dari orang di sekitarnya saat itu. Di sampingnya, Evan melakukan hal serupa. Mereka sama sekali tak punya keberanian untuk sekadar mengangkat wajah.
Membayangkan reaksi orangtuanya membuat Maudy berusaha keras menahan sesak di dada. Ia tidak menangis, tetapi wajah Safitri dan Kurniawan yang berkelebat di benaknya seolah memperbesar ganjalan di hati. Maudy sadar penyesalan tak ada gunanya, selalu datang terlambat.
Semua ini salah Maudy. Seharusnya dia bisa bersikap tegas pada Evan, bukannya justru menuruti keinginan pemuda itu. Jika dia bersikeras mengatakan apa yang dilakukannya atas dasar cinta, maka Maudy dua kali lebih bodoh dari yang ia pikirkan. Dan, begitulah adanya. Maudy bodoh.
"Tenang dulu, Bapak-Bapak. Mari kita bicarakan baik-baik dulu." Suara Lukman Hussein terdengar di antara seruan penuh rasa jijik dari orang lain yang hadir.
Maudy masih bergeming, tetapi kemunculan sahabat ayahnya tersebut memberinya sedikit ketenangan hati. Namun, hanya itu. Selebihnya ia masih merasa jika dirinya memang perempuan hina sekaligus bodoh.
"Dibicarakan dulu gimana, Pak Lukman? Ini sudah jelas. Maudy dan pemuda ini berzina. Kita sudah sama-sama memergoki mereka."
Lelaki paruh baya lawan bicara Lukman Hussein itu benar. Mereka semua kini berada di kamar kos Evan, mengelilingi pemuda itu dan Maudy yang terduduk diam, tertunduk dan dipenuhi rasa malu yang sudah sepantasnya. Saat para lelaki itu mendobrak pintu kamar, yang mereka lihat adalah Evan bertelanjang dada serta dua kancing teratas kemeja Maudy yang terbuka. Keduanya juga tengah berpelukan.
Evan dan Maudy sebenarnya tidak sampai melakukan hal-hal lebih dari berpelukan. Namun, apa bedanya? Tidak akan mengubah keadaan. Di mata orang-orang yang kini mengepungnya, Maudy hanya melihat satu sebutan yang tercetak di pandangan mereka. Evan dan Maudy berzina.
"Saya tahu, Pak Bowo. Kita semua tahu. Tapi mengarak keliling kampung bukan solusi. Hanya menambah pergunjingan." Lukman Hussein merespon ucapan lawan bicaranya, lalu mengalihkan pandangan pada Evan dan Maudy. "Kita juga belum mendengar apa pun dari mereka."
Lelaki bernama Bowo tadi mendengkus kesal. Namun, sebagai salah seorang yang disegani, ucapan Lukman tidak pernah begitu saja dibantah. Orang bisa saja menolak untuk mendengarkan, tetapi pada akhirnya mereka sadar jika kebanyakan ucapan lelaki itu benar adanya.
Maudy kali ini memberanikan diri mengangkat wajah. Dia tahu dia salah, tetapi terus diam tidak akan membuat semuanya berakhir begitu saja. Dia memang harus bicara sekali pun akhirnya tidak berarti apa pun.
"Saya mencintai Evan, Pakde."
Jawaban Maudy sontak memunculkan beragam reaksi. Cibiran, decih sebal, apa pun yang menunjukkan rasa tidak suka. Namun, dia berkata jujur. Maudy memang mencintai Evan. Pemuda asing yang dikenalnya secara tidak sengaja sewaktu hendak mendaftar kuliah. Dia tidak bisa menjabarkan alasannya, tetapi seiring waktu yang mereka lalui bersama Maudy tahu dia mencintai Evan. Dan, Maudy yakin Evan pun mencintainya.
Cinta. Itulah awal masalahnya. Atas nama cinta, Maudy yang begitu sulit menerima seorang laki-laki dalam hidupnya justru rela memberikan segala demi Evan. Hati Maudy telah dimiliki sepenuhnya oleh pemuda itu. Tanpa alasan. Tanpa tuntutan. Namun, membuat keduanya harus berakhir dalam kepungan warga dan mendapat sebutan pezina.
"Halah. Omongan ora mutu."
"Sudah, nikahin aja sekalian kalau gitu."
Baik Evan maupun Maudy tidak menyahut. Solusi yang diucapkan memang hasil akhir, sesuatu yang seharusnya dilakukan sebelum mereka berhak memiliki satu sama lain. Maudy tahu pernikahan bukan sekadar kata, itu adalah tanggung jawab. Terlepas dari itu, ia hanya tahu jikalau harus menikah, setidaknya dia menikah dengan orang yang ia cintai.
"Nduk," ujar Lukman pada Maudy. "Kata-katamu belum sepenuhnya menjelaskan keadaan ini, tapi menurut Pakde satu-satunya jalan memang sebuah pernikahan."
"Maudy mengerti, Pakde." Maudy menjawab dengan suara pelan. Ia membiarkan orang-orang di sana, yang selama ini ia remehkan, memutuskan nasib hidupnya. Hilang sudah kesombongan yang selama ini melekat pada diri Maudy. Sekali lagi, ia merelakan semua yang terjadi demi cintanya pada Evan.
Setelah semua orang di sana sepakat untuk menikahkan dua muda mudi yang berdalih atas nama cinta itu, mereka pun menggiring keduanya menuju rumah Maudy. Karena sebelum melakukan apa pun, hal pertama yang perlu dijalani adalah menghadapi Kurniawan. Ayah Maudy itu harus tahu apa yang sudah terjadi, tepatnya yang sudah dilakukan putri semata wayangnya.
Maudy tidak bisa memikirkan hal lain selain kekecewaan sang ayah, tetapi sewaktu memandang Evan ditemuinya sesuatu yang tak diduga. Keraguan.
***
Para penghuni ruang tamu yang kini diubah menjadi tempat ijab kabul itu berkasak kusuk, tak peduli pada tuan rumah yang tak kalah gelisah. Mempelai perempuan di tengah ruangan yang seharusnya tampak cantik dalam balutan kebaya putih justru terlihat resah. Meski hanya duduk diam di hadapan penghulu, setiap orang yang hadir di sana bisa melihat dengan jelas kekalutannya.
"Pak Kurniawan, bagaimana ini? Apa mempelai prianya sudah dihubungi lagi? Saya harus segera ke tempat lain." Untuk kesekian kali, penghulu menanyakan hal yang sama. Kehadiran Evan sebagai mempelai pria yang tak kunjung datang.
Maudy membisu tatkala sang ayah memberi jawaban pada sang penghulu. Ia berusaha menepis kemungkinan jika Evan sejatinya tak menginginkan pernikahan mereka. Namun, sekali lagi atas dasar cinta ia mencoba untuk terus percaya. Dipikirkannya berbagai kemungkinan akan keterlambatan Evan di hari pernikahan mereka. Apa pun selain keengganan lelaki itu untuk hadir.
Benak Maudy tidak mengharapkan kekecewaan untuk kedua kali bagi orangtuanya. Dia sudah mencoreng kepercayaan Kurniawan dan Safitri dengan kejadian dirinya dipergoki warga bersama Evan. Kini, orang-orang mengenalnya sebagai perempuan tukang zina. Lebih buruk dari julukan gadis kaya sombong yang selama ini tersemat padanya. Setelah bergelut dengan perasaan campur aduk akibat ulah sang putri, Kurniawan berusaha legowo dengan mengadakan pernikahan Evan dan Maudy. Keluarganya yang terpandang tak lagi penting. Ijab kabul yang sakral harus tetap terjadi sekali pun hanya dihadiri segelintir orang dan tanpa perayaan apa pun. Maudy memaklumi dan sadar diri untuk tak meminta lebih.
"Saya tadi sudah meminta Mas Lukman untuk ke tempat kos Evan. Mohon menunggu sebentar lagi, nggih, Pak Penghulu," pinta Kurniawan. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran, tetapi berusaha keras untuk terlihat tenang sekali pun bisik-bisik di sekitar berhasil mengusiknya.
Mendengar hal itu, Maudy semakin gelisah. Kesanggupan Evan untuk menjadikannya istri mendadak terasa kabur. Seolah momen itu hanya salah satu adegan dalam mimpi. Ia sadar, semua memang terlalu cepat. Tak ada perkenalan keluarga dan semacamnya. Evan yang anak rantau hanya bisa mengiakan solusi para warga. Konsekuensi yang harus diterimanya karena berniat berbuat terlalu jauh bersama Maudy.
Maudy terkesiap. Selama mengenal Evan beberapa bulan, ia memang sama sekali tak mengetahui tentang keluarga pemuda itu. Ia hanya tahu jika Evan seorang calon dokter. Selebihnya semua hal tersisihkan oleh perasaan cinta yang menggebu-gebu. Sesuatu yang selama ini Maudy anggap hanya omong kosong.
Maudy menoleh pada Safitri. Ibunya itu tengah berusaha menghubungi nomor telepon Evan. Namun, usahanya sedari tadi itu nihil. Terlihat rona ketakutan di wajah sang ibu. Ketakutan yang tidak Maudy pahami sepenuhnya.
Evan akan datang dan menikah dengannya. Hanya kalimat itu yang Maudy ulang-ulang dalam hati. Ia pura-pura abai akan kenyataan di hadapannya, bahwa lelaki itu tak kunjung memberi kabar atau pun segera muncul.
"Assalamualaikum," seru Lukman Hussein yang akhirnya tiba. Namun, selain ekspresi kalut di wajahnya, tak ada pula sosok Evan yang seharusnya ikut serta.
"Wa'alaikumsalam." Serentak semua yang hadir di sana menjawab. Tak terkecuali Kurniawan yang segera menyongsong sahabatnya itu.
Lukman berusaha tetap tenang. Disentuhnya pundak Kurniawan, lalu ia mulai berucap. Kata-kata yang begitu jelas didengar. "Wan, anak itu nggak ada di kosannya. Dia pergi."
Kalimat pertama yang mengejutkan semua orang. Namun, tak ada yang berani bersuara hingga suara parau Safitri terdengar. "Nggak mungkin, Mas."
Lukman menghela napas sebelum menjawab, sementara sahabatnya, Kurniawan masih mematung. "Pemilik kos bilang kamarnya sudah kosong sejak pagi. Sepertinya anak itu pergi kemarin malam. Dan, tidak ada pesan apa pun."
Semua bentuk kekecewaan dan beragam dugaan mulai bermunculan. Kasak kusuk yang sedari awal hanya terdengar samar, kini mulai lebih jelas didengungkan. Namun, sebelum hal itu menggelembung dan akhirnya bersiap pecah, Safitri yang kini berlinang air mata berseru tertahan melihat sang suami.
Kurniawan roboh sembari memegang dada kirinya. Dengan cekatan Lukman dan beberapa orang terdekat segera meraihnya. Acara yang seharusnya sakral itu berubah kacau. Namun, tidak ada waktu untuk mengusutnya. Satu-satunya hal yang terlintas di benak Maudy kala itu hanya satu. Ia tidak ingin kehilangan ayahnya.
***
Harapan Maudy ternyata tak menjadi kenyataan. Kurniawan berpulang akibat serangan jantung. Safitri yang shock pun mengalami stroke. Seolah itu belum cukup, harta keluarga mereka perlahan habis dan menjadikan Maudy berubah status menjadi orang miskin.
Takdir menjungkirbalikkan hidup Maudy, tetapi perlahan ia bisa menerima kenyataan. Hanya saja, tepat saat Evan meninggalkannya di hari pernikahan mereka, Maudy meyakini satu hal. Cinta, jika itu memang sebutan untuk perasaannya pada Evan, bukanlah segalanya. Dan, jika boleh berharap, ia ingin tak pernah lagi merasakan hal itu ataupun bertemu dengan Evan.
Namun, sekali lagi, siapa yang bisa menebak takdir?
***
Eng ing eng....
Masa lalu Maudy akhirnya terkuak, meski yang diketahui orang lain bukan yang sepenuhnya terjadi. Jadi, gimana bab ini menurut kalian?
Btw, Para Pembaca Kesayangan, mau nanya dong. Misal aku publish cerita di platform berbayar, apakah akan memberatkan untuk kalian jika ingin membacanya? Aku akan publish gratis di sini minimal 30 bab, lalu bab-bab selanjutnya baru diposting di platform berbayar (Karyakarsa). Jadi nggak full berbayar gitu.
Buat yang ngikutin cerita ini, tenang aja. Untuk kisah Maudy dan Rahman tetap bisa kalian nikmati gratis sampai tamat nanti, kok. Cerita yang aku maksud untuk berbayar tentunya cerita lain.
Makasih banyak sebelumnya buat yang mau berbagi pendapat. Dan, tentu saja terima kasih banyak juga buat yang masih setia bersama cerita ini.
Love you. May Allah SWT bless you all. Aamiin
Salam Baca 😉
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top