7. Pendarahan
Tubuh Anne kembali terduduk dengan lemas ketika dokter menjelaskan tentang bagaimana keadaan Ibra. Yang cukup parah. Mengalami patah di kaki kanan, benturan di kepala dan mendapatkan beberapa jahitan, juga luka lainnya yang tergolong ringan. Operasi berjalan selama tiga jam dan Ibra sekarang berada dalam ruang pemulihan. Sebelum kemudian akan dibawa ke ruang perawatan jika keadaannya mulai membaik.
Wajahnya masih lembab, oleh air mata yang rasanya tak berhenti mengalir. Luciano benar-benar keterlaluan. Semudah itu Luciano bermain-main dengan nyawa seseorang. Dan betapa tololnya Anne masih mencoba bermain-main dengan pria itu.
Ia benar-benar sudah putus asa. Dan hajar habis-habisan untuk menyerah pada Luciano. Dengan cara yang paling keji dan pengecut.
"Anne?" Suara lembut memanggil dari arah samping Anne. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Eshan?" Bibir Anne bergetar hebat. Menemukan pria tinggi dengan jas putih dan stetoskop yang masih mengalung di leher. Pria itu terheran, menatap pintu ruang operasi dan Anne secara bergantian. Kemudian duduk di samping Anne.
"Ada apa?"
Anne ingin menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan Eshan dan kembali menangis. Menyandarkan tubuhnya yang sudah letih tersebut ke pelukan hangat pria yang ia cintai ini. Akan tetapi, pandangan Anne langsung Mjmenangkap dua pengawal Luciano yang berdiri mengawasinya dengan sikap siaga beberapa meter dari posisinya. Anne pun hanya bisa menggigit bibir bagian dalamnya dengan kesal. Ini jelas menjadi pelajaran yang besar untuknya, telah meletakkan sahabatnya tersebut dalam posisi yang berbahaya. Dan ia tak ingin Eshan mendapatkan hal yang sama.
Beruntung hanya Ibralah yang tahu perasaannya terhadap Eshan. Bahkan Eshan sendiri tak tahu bahwa ia mencintai pria itu.
"Hai, apa yang terjadi?" Suara Eshan sangat lembut dan penuh kasih. Pria itu mengeluarkan sapu tangan dari dalam jas putihnya dan memberikannya pada Anne.
"Ibra mengalami kecelakaan." Suara Anne terdengar nyaris seperti cicitan..
"I-ibra?" Mata Eshan melebar, terkesiap pelan. Kemudian menoleh ke arah pintu ruang operasi, menatap lampu yang ada di atas pintu sudah dipadamkan. Pertanda operasi sudah selesai. "Dia pasti baik-baik saja, Anne. Dokter sudah menanganinya."
Anne menyeka basah di ujung matanya dengan menggunakan sapu tangan pemberian Eshan. Menarik napasnya dalam dan mengembuskan secara perlahan. Sekali lagi pandangannya menatap ke arah pengawal Luciano dan memutuskannya untuk bergegas beranjak. "Aku harus pergi. Ada banyak hal yang harus kuurus. Aku bahkan belum menghubungi keluarganya."
Kening Eshan mengernyit, ikut bangkit berdiri. "Aku akan membantumu."
"Tidak perlu. Kau pasti memiliki lebih banyak kesibukan. Aku tak ingin merepotkanmu."
"Kau tidak merepotkan, Anne. Ibra juga temanku."
Anne menggeleng lagi. "Aku baik-baik saja. Terima kasih atas tawarannya," pungkasnya sambil melangkah pergi. Meninggalkan Eshan yang berdiri tertegun di samping kursi tunggu dengan kekecewaan yang menyelimuti wajah pria itu.
Anne menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat, menahan kuat-kuat keinginannya untuk berbalik dan memeluk Eshan. Sungguh, ia membutuhkan sandaran dan pelukan yang nyaman. Dan ia yakin Eshan akan memberinya apa yang ia inginkan. Tetapi, bahkan keinginan itu akan membuat pria itu dalam bahaya.
Anne mengurus segala administrasi dan keperluan Ibra. Satu jam kemudian pria itu dipindahkan di ruang operasi dan masih belum sadarkan diri hingga jam sebelas malam.
"Nyonya?" Suara pengawal Luciano menyela lamunannya. Menghampiri Anne yang duduk di samping ranjang pasien.
Anne menoleh, menatap ponsel yang diulurkan oleh pria itu. Sudah tentu dari Luciano. Anne tahu ia tak punya pilihan. Dan Luciano pasti sudah tahu ia masih di rumah sakit.
"Kau belum pulang?" Suara tajam dan datar Luciano langsung menyambut indera pendengarannya.
Anne menelan ludahnya. Membasahi tenggorokannya yang kering. "Ibra belum bangun, Luciano. Bisakah aku menjaganya..."
"Sebaiknya kau tahu kalau dia akan lebih aman dijaga pengawalku daripada dirimu sendiri, Anne. Kau tak ingin aku membuatnya tidak bisa bangun untuk selamanya, kan?"
Napas Anne tercekat di tenggorokan. Mulutnya sudah bergerak akan memprotes, tapi ancaman Luciano tak akan menjadi sekedar omong kosong. Terutama setelah apa yang dilakukan oleh pria itu pada Ibra.
"Pulanglah, Anne. Buat hatiku tenang di sini karena tak perlu memikirkanmu yang sedang bermalam di rumah sakit dengan pria lain."
"Dia temanku."
"Dan dia seorang pria yang kau cium di depan umum. Kau pikir itu sebuah candaan jika tertangkap kamera? Terutama apa yang dipikirkan oleh kedua orang tuamu saat mengetahui foto itu terpajang di majalah dan internet? Menemukan putrinya yang polos tengah berselingkuh dengan orang kepercayaan mereka. Kau ingin menambah tumpukan kekecewaan mereka padamu?"
Mulut Anne membeku, segala macam sumpah serapahnya tertahan di ujung lidah. Setelah kekecewaan tentang kehamilannya, Anne benar-benar tolol tak mempertimbangkan perasaan kedua orang tuanya dengan masak-masak. Ini benar-benar keputusan yang sembrono.
Panggilan pun terputus dan dua orang pengawal baru datang ketika Anne berjalan keluar dari ruang perawatan Ibra. Yang akan menjaga Ibra sampai keluarga sahabatnya tersebut datang. Setidaknya Luciano masih sedikit memiliki hati dengan mengabulkan keinginannya.
Di mobil, Anne membaca pesan singkat yang dikirim oleh Eshan. 'Apa kau baik-baik saja?'
Anne ingin mengabaikan saja, tetapi jemarinya bergerak memberi jawaban 'Ya, tentu saja. Aku harus pulang, bisakah kau memberitahuku kabar tentang perkembangan Ibra?'
'Ya. Aku baru saja dari ruangannya dan tidak menemukanmu. Setelah dia sadar, aku akan langsung mengabarimu.'
'Terima kasih, Eshan.'
'Sama-sama.'
Percakapan pun berakhir dan Anne langsung memasukkan ponselnya ke dalam tas sambil menyandarkan kepala di punggung jok. Kepalanya terasa berat dan perutnya terasa tak nyaman. Anne pun memilih untuk memejamkan matanya.
Tetapi, rupanya rasa tak nyaman itu masih tetap bertahan ketika mobil sampai di rumah. Dan semakin parah saat ia naik ke lantai dua. Ia muntah dengan keras di lubang toilet, hampir terpeleset dan tubuhnya jatuh lunglai di lantau depan toilet.
Perutnya bergejolak dengan keras, menguras seluruh isi perut dan tenaganya hingga keringat sebesar biji jagung memenuhi seluruh wajahnya. Beruntung pelayan datang tepat waktu saat mengantarkan teh hangat pesanannya ke kamar. Membantunya berbaring di tempat tidur.
Anne baru saja hendak terlelap ketika suara langkah kali terdengar. Saat menoleh, ia melihat pelayan yang sedang mengantar seorang dokter muncul dari arah tangga.
"Nyonya , saya memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Anda."
Kening Anne berkerut. Ia tak meminta dipanggilkan dokter.
"Tuan Enzio berpesan untuk memanggil dokter jika Anda sedang tidak enak badan."
"Aku baik-baik saja."
Pelayan itu masih memasang senyum sopan dan ramahnya. "Biarkan dokter yang memastikannya untuk Anda."
Anne tak mengatakan apa pun. Membiarkan dokter itu mulai memeriksanya. Mulai dari detak jantung, suhu, tekanan darah dan menanyakan tentang keluhan-keluhannya. Di tengah perbincangan tersebutlah suara langkah kaki lainnya datang. Reene muncul dan berdiri di samping tiang ranjang. Anne mengamati penampilan wanita itu. Yang mengenakan jubah tidur yang tipis menutupi lingerie. Dan wanita itu sama sekali tak repot-repot menalikan jubahnya sehingga bagian depan tubuh wanita itu terlihat samar-samar di balik lingerie yang sangat tipis. Yang hanya menutupi bagian tengah dada dan pangkal paha wanita itu.
Anne merasa tak nyaman melihat Reene berkeliaran di rumah ini hanya mengenakan pakaian seperti itu. Tetapi tak ambil pusing, toh itu urusan Reene untuk menjadi bahan tontonan para pengawal dna pelayan pria di rumah ini. Dan tampaknya wanita itu memang sangat bangga dan terbiasa akan penampilannya yang superseksi.
"Aku sedang terbangun ketika mendengar mobil datang. Kupikir Luciano, tapi ternyata dokter Rian." Pandangan Reene berpindah ke Anne. "Aku sakit?"
"Hanya kelelahan. Tapi pelayan bersikap berlebihan dengan memanggilkan dokter," jawab Anne.
"Itu sudah menjadi tanggung jawab saya, Nyonya." Pelayan itu membalas dengan senyumnya lagi. Kemudian beralih menatap dokter Rian. "Apakah ada yang serius, Dokter?"
Dokter Rian menggeleng. "Ya. Hanya kelelahan dan pengaruh hormon kehamilan. Mual, muntah dan perut yang terasa sangat tidak...."
"Apa?" Suara terkejut memenggal kalimat dokter Rian. Wajah Reene tampak memucat dan menegakkan punggungnya, menatap Anne dan dokter Rian bergantian. "Hormon kehamilan? Apa maksudnya?"
Anne, dokter Rian, dan pelayan tampak terbengong dengan reaksi Reene. Sedangkan Reene sendiri terlihat lebih bingung karena sepertinya hanya dirinyalah yang tidak tahu tentang kehamilan Anne.
"Apa kau hamil?" Wajah Reene benar-benar tak bisa lebih pucat lagi. Dengan kecemburuan yang terlihat jelas menyelimuti wajahnya.
***
"Apa kau sudah tahu, Luciano?" sembur Reene begitu panggilannya tersambung. Ia tak berhenti mondar-mandir di tengah ruang tidur yang luas. Berada di salah satu ruangan di lantai satu. Kamar tidur pribadinya setiap kali bermalam di rumah ini.
"Ada apa, Reene? Kau mengganggu waktuku untuk pertanyaan sialan itu?"
"Anne hamil. Apa kau sudah tahu?"
Luciano mendesah rendah. "Kau sudah tahu."
"Apa maksudnya ini, Luciano?"
Luciano terkekeh pelan. "Pertanyaan macam apa itu, Reene. Istriku hamil, tentu saja aku tahu."
"Kalian baru menikah dua hari dan dia sudah hamil dua bulan. Bagaimana mungkin?"
Luciano kemudian hanya menghela napasnya panjang. Terdengar jengah akan rentetan pertanyaan Reene yang membosankan. "Well, itu urusanku dan Anne, Reene. Kau tak suka tentang kabar ini?"
"Lalu bagaimana denganku?"
"Kau? Kenapa denganmu?"
"Bagaimana dengan rencana pernikahan kita?"
"Ah, itu. Kita akan membahasnya setelah aku pulang. Aku memiliki pekerjaan yang lebih serius."
"Apa kau berpikir akan membatalkan pernikahan kita karena kehamilannya? Kau berjanji akan menikahiku jika kau menikah dengannya?"
Sekali lagi Luciano menghela napas rendah. "Sejujurnya bukan aku yang menjanjikan hal seperti itu secara spesifik."
Reene mengerang, dengan amarah yang bergemuruh di dada.
"Sekali lagi jika kau menggangguku dengan hal sepele seperti ini, aku tak akan mengabaikannya, Reene." Luciano memutus panggilan sebelum Reene sempat membuka mulutnya.
Reene mengerang sambil melempar ponselnya ke dinding. Yang kemudian jatuh ke lantai. Wajahnya merah padam, diselimuti kecemburuan. Jika anak Anne dan Luciano lahir, maka anak itu akan sepenuhnya menggeser posisinya. Ini tak bisa dibiarkan.
***
Pagi itu Anne terbangun dengan rasa mual yanh teramat. Ia menyingkap selimut dan melompat turun dari tempat tidur. Berlari ke kamar mandi dan memuntahkan cairan pahit tepat di lubang toilet. Saking kerasnya muntahan tersebut, air mata merembes di ujung matanya. Rasa pahit yang masih membekas di lidah membuatnya meringis.
"Ini, Nyonya." Secangkir teh hangat diulurkan kepada Anne. Sedangkan pelayan yang lain membantu Anne bangkit terduduk.
Anne mengambil cangkir tersebut dan rasa tak nyaman d perutnya perlahan mereda. Mengambil tisu yang diulurkan pelayan untuk menyeka keringat. Setelah ia merasa lebih baik, keduanya juga membantu Anne kembali ke tempat tidur. Dengan nampan sarapan pagi yang sudah tersedia di nakas.
"Tuan berpesan agar kami memastikan Anda menghabiskan makan pagi dan vitamin dari dokter," ucap pelayan itu ketika Anne menyuruh keduanya keluar karena ia ingin kembali berbaring sejenak sebelum pergi ke rumah sakit lagi.
Anne melirik beberapa butir tablet yang ada di mangkuk kecil di dalam nakas. Yang meyakinkan dirinya bahwa ia sedang sakit karena kehamilan ini.
"Bawa saja. Aku tidak membutuhkannya," sinis Anne.
"Kau harus meminumnya, Anne." Reene muncul dari arah tangga, dengan kedua tangan bersilang dada dan berjalan menghampiri tempat tidur. "Demi anak dalam kandunganmu."
Wajah Anne menyiratkan penolakan yang jelas. "Aku tak menginginkan anak ini," jawabnya dengan dingin dan datar. "Bukankah seharusnya kau yang melakukan tugas ini untuk Luciano?"
Kerutan tersamar di kening Reene. Mengamati dengan cermat ekspresi wajah Anne. 'Tak menginginkan anak ini?' Reene mengulang kalimat Anne dan menyimpulkan bahwa kehamilan tersebut tentu atas kehendak Luciano.
Reene tahu hubungan Anne dan Luciano, sepenuhnya adalah kehendak Luciano yang terobsesi pada Anne dengan alasan yang hingga kini tak pernah ia ketahui dan masih ia gali lebih dalam. Tetapi tak menyangka bahwa Anne ternyata menjadi setidak tahu diri ini. Tak hanya menolak Luciano, Anne bahkan dengan sombongnya menolak darah daging Luciano yang sudah ada di dalam perut wanita itu. Apakah wanita itu begitu bodoh? Atau ini hanyalah trik jual mahal demi menarik perhatian Luciano lebih banyak lagi?
Reene mengembangkan senyum tipisnya, menoleh ke arah dua pelayan yang masih berdiri menunggu. "Kalian pergilah, aku yang akan membujuknya."
Kedua pelayan tersebut tampak ragu, tetapi segera angkat kaki begitu Reene melempari mereka tatapan yang tajam. Reene melangkah ke samping ranjang, lalu duduk di pinggiran sembari mengambil mangkuk bubur dan meletakkannya di pangkuan Anne.
"Makan, Anne. Kau tak akan suka melihat Luciano marah karena kau membahayakan anaknya. Dia juga akan tersinggung jika mendengarmu menolak kehamilanmu. Kau tahu dengan sangat, kalau dia bukan pria baik hati yang pemaaf. Siapa yang tahu apa yang akan dilakukannya jika anak dalam kandunganmu mengalami sesuatu yang tidak diinginkannya."
Anne terdiam. Yang langsung memikirkan keadaan Ibra saat ini. Reene benar, ia tidak bisa membuat Luciano lebih marah lagi demi Ibra. Anne pun mengambil mengambil sendok dan mulai melaha bubur dagingnya hingga habis. Juga vitamin. Ia butuh tenaga untuk pergi ke rumah sakit.
Reene tersenyum puas melihat isi mangkuk dan vitamin Anne yang sudah habis. Juga gelas jusnya. "Bagus. Aku akan membawanya turun. Istirahatlah," ucapnya sembari mengambil nampan dan beranjak. Matanya berkilat licik ketika membawa nampan itu ke arah tangga.
Anne mengambil ponselnya, dan tepat pada saat itu, ponselnya bergetar ringan menampilkan notifikasi dari Eshan. Yang mengatakan kalau Ibra sudah bangun. Dengan penuh kelegaan dan semangat Anne membalas akan segera pergi ke rumah sakit. Kemudian Anne melompat turun dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap ke rumah sakit.
Namun, baru saja ia menutup pintu kamar mandi, tiba-tiba rasa sakit yang tajam menusuk perutnya. Membuat Anne membungkuk dengan tangan mencengkeram perut. Dan saat pandangannya turun ke lantai, saat itulah ia tercengang dengan keras melihat darah yang mengalir di antara kedua pahanya. Tubuh Anne terjatuh di lantai, dengan rasa sakit yang semakin menusuk dan tak tertahankan. Yang perlahan melenyapkan kesadaran wanita itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top