24. Tanda Lahir

Jantung Anne serasa digenggam dengan keras, menghentikan napasnya, merasakan tatapan menelisik Luciano yang duduk di sampingnya. Dan ia sangat yakin, pria itu pun menajamkan pendengarannya.

“Ya, Ibra. Ada apa?” Suara Anne berhasil keluar dengan tanpa getaran sedikit pun.

“Aku mengkhawatirkanmu. Itulah sebabnya aku menggunakan ponsel Ibra untuk menghubungimu. Aku tahu Luciano selalu bersamamu.”

“Hmm, ya. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.” Anne tak bisa menahan sudut matanya untuk tidak mengamati reaksi Luciano. Yang tampaknya sengaja menyibukkan diri dengan mac pria itu sendiri. Anne juga melihat dengan jelas Luciano membaca beberapa email. Berharap pria itu sangat serius dan tak cukup peduli dengan percakapannya dengan Eshan.

“Apa kau baik-baik saja?”

“Ya.”

“Aku baru saja mengetahuinya. Kalau papamu dirawat di rumah sakit, dan … aku mendapatkan hal yang cukup mengejutkan. Aku benar-benar minta maaf tidak tahu lebih cepat dan tak bisa berada di dekatmu.”

“Tidak apa-apa.” Suara Anne melemah. Kali ini kepala Luciano bergerak ke samping,  Anne menoleh dengan perlahan.

“Hubungi aku saat kau memiliki waktu, Anne. Aku butuh bertemu denganmu.”

“Hmm,” jawab Anne dalam gumaman yang lirih. Pandangannya bertemu dengan Luciano.

“Kau baik-baik saja?” Ada kecurigaan dalam suara Anne.

Anne kali ini tak menjawab, tatapan tajam Luciano memiaskan wajahnya. Dan sebelum ia sempat menghindar, pria itu sudah merebut ponselnya di telinga. Anne tersentak, dan kepucatan menyelimuti seluruh permukaan wajahnya ketika pria itu menempelkan ponsel di telinga.

Kening Luciano berkerut, menatap lebih dalam kedua mata Anne lalu menurunkan ponsel tersebut. Melihat panggilan telah terputus.

Kelegaan menyerbu tenggorokan Anne melihat panggilan telah berakhir di detik yang tepat. Meski terputusnya panggilan tersebut tak cukup meyakinkan kecurigaan Luciano, tetap saja wajahnya yang pucat bukti telak yang tak bisa disangkalnya. Ia sendirilah yang membongkar pengkhianatannya sendiri. “K-kenapa kau menatapku seperti itu?”

Luciano mendengus tipis. “Dan kenapa wajahnya terlihat sepucat itu?

Anne menjilat bibirnya yang kering.

“Apakah ada rahasia antara kau dan Ibra yang tidak kuketahui?” Salah satu alis Luciano terangkat, dengan tatapan penuh selidik yang lebih kental. Berusaha membaca kedalaman mata Anne lebih jauh.

Anne menelan ludahnya. “Kami sungguh-sungguh hanya bersahabat, Luciano.

“Bukan itu yang kutanyakan.”

“K-kami … dia baru mengetahui tentang keadaan papaku dan mengkhawatirkanku.”

Luciano hanya terdiam. Mencoba mandalami ekspresi di wajah Anne. Meski ia merasa ada yang tidak pada tempatnya, Luciano memutuskan untuk membiarkan. “Apakah itu alasan wajahmu memucat?”

“A-aku … aku hanya merasa tak nyaman dengan pandanganmu. Kau selalu mencurigaiku dan … kau tahu hubungan kita tak pernah baik.”

Luciano mempertimbangkan jawaban Anne yang cukup masuk akal. Ya, sifat dominannya yang selalu membuat Anne tak berkutiklah alasan kuat akan ketakutan yang selalu merebak di wajah Anne. Hanya itu satu-satunya cara yang bisa ia gunakan untuk menaklukkan kekeraskepalaan Anne. Yang kadang bekerja dengan baik, dan lebih sering diabaikan oleh ketololan Anne. Namun, ia tak sungguh-sungguh berniat menakuti Anne hanya dalam tatapannya. “Oke. Aku hanya ingin tahu sedikit pembicaraanmu dengan temanmu. Lagipula, jika ada sesuatu yang tidak kusukai, aku pasti bisa mengendusnya terlebih dulu sebelum rencanamu itu terjadi, kan?”

Anne tak mengatakan apa pun untuk membalas kalimat arogansi Luciano. Pria itu mengembalikan ponselnya dan memasukkan ke dalam tas. Kemudian kembali menatap pinggiran jalan, dan benaknya kembali dipenuhi kepedihan teringat akan keadaan papanya.

Sesampai di rumah, Luciano menurunkan Anne dan menyuruh wanita itu bergegas ke lantai dua untuk istirahat. Kemudian kembali membawa pria itu ke gedung perkantoran.

Di tengah ruang tamu, Anne berpapasan dengan seorang wanita berambut pendek yang wajahnya masih pucat. Dengan pergelangan tangan yang diplester, di sisi kanan dan kiri. Cukup jelas untuk Anne abaikan.

Langkah wanita itu terhenti, terkejut bertemu dengan Anne. Sedangkan Anne, kedua alis wanita bertaut dan kembali melanjutkan langkahnya hingga sampai di hadapan wanita pucat yang mematung di tempat.

“Hai,” sapa Anne memberanikan diri.

Wanita itu menunduk, menggumamkan kata maaf sebelum berbalik dan hendak pergi secepat mungkin.

Anne segera mengejar dan berhasil menangkap lengan wanita itu. “Hai, kenapa kau lari. Aku hanya …”

“Maaf, Nyonya.” Pengawal yang berjaga di depan anak tangga melangkah mendekat. Berusaha menghentikan apa pun yang akan dilakukan oleh Anne. “Tuan tidak mengijinkan Anda untuk …”

“Apa?” penggal Anne dengan emosi. “Aku hanya ingin bicara dengannya.” Suara Anne lebih tegas dan pegangannya pada lengan wanita itu menguat. “Aku hanya ingin tahu kenapa dia ada di sini? Apakah Luciano melukainya? Menyiksanya? Menyekapnya? Menjadikannya tawanan seperti diriku?”

Pengawal tersebut berhenti. Mulutnya masih membuka tetapi taka da sepatah kata pun yang berhasil keluar dari mulutnya menyadari keseriusan dalam amarah sang Nyonya rumah.

“Siapa namamu?” Anne beralih pada wanita itu. “Kenapa kau ada di rumah ini?”

Wanita pucat itu tampak semakin ketakutan dan tubuhnya gemetar.

Anne merasakn genggaman tangannya yang basah dan seketika menyadari ketakutan wanita itu. Genggamannya perlahan melonggar dan tak sampai hati membuat wanita itu lebih takut lagi. Suaranya pun perlahan melunak saat kembali bertanya, “Aku sama sekali tak bermaksud membuatmu ketakutan. Aku hanya butuh tahu alasanmu ada di rumah ini.”

“Alasannya ada di rumah ini tidak seperti yang Anda pikirkan, Nyonya.” Pengawal itu mengambil alih jawaban wanita pucat yang masih menutup mulut.

Wajah Anne berputar kea rah pengawal itu. “Dan apakah itu?”

Pengawal itu tampak mempertimbangkan sejenak sebelum menjawab, “Kami tidak bisa memberikan …”

“Aku tak butuh jawaban semacam itu,” sembur Anne lagi, tahu apa lanjutan kalimat tersebut. Anne menatap wanita pucat itu lagi. “Apa Luciano menyiksamu dan menyembunyikanmu di sini?”

Wanita pucat itu yang sebelumnya tak berani mengangkat wajahnya, kali ini menggeleng.

Gelengan itu pun hanya membuat Anne semakin kesal. “Kau tak perlu takut. Katakan saja apa yang terjadi denganmu? Dokter itu datang untuk memeriksamu, sudah pasti ada yang tidak beres. Aku juga melihat ada bekas memar di lehermu saat itu.”

Sekali lagi wanita pucat itu menggelengkan kepalanya dengan gerakan yang keras. “T-tidak, Nyonya. Bukan tuan Enzio yang menyakiti kami.”

Deheman pengawal Luciano segera menghentikan apa pun penjelasan yang hendak diutarakan oleh wanita pucat itu.

“Kami?” Kedua mata Anne melebar. “Apakah itu artinya bukan hanya kau?”

Wanita pucat itu menoleh ke arah pengawal Luciano, yang segera ditangkap oleh Anne.

“Jika kau tidak mau menjelaskan padaku, sebaiknya kau tak ikut campur …” Pandangan Anne turun ke arah tag name yang terpasang di ujung kerah kemeja putih pengawal itu. Yang hanya bertuliskan inisialnya saja. Ya, semua pengawal Luciano memiliki hal semacam itu. “JG” Anne menekan panggilannya dengan mata mendelik dalam. “Aku adalah nyonya di rumah ini. Aku berhak memerintah kalian anak buah Luciano.”

JG terdiam.

Anne kembali pada wanita pucat tersebut. “Lanjutkan. Siapa saja? Berapa wanita yang ada di rumah ini?”

Wanita pucat itu tampak mempertimbangkan apakah ia harus menjawab pertanyaan Anne.

“Aku istri Luciano.” Beruntung Luciano tidak ada di rumah ini sehingga ia bisa meminjam sedikit kekuasan atas posisi itu pada anak buah Luciano. “Aku memerintahmu untuk memberitahuku apa yang kuinginkan.”

“Tuan Enziolah yang telah menolong kami bertiga. Bahkan menyembunyikan kami di sini demi keamanan kami.”

Anne tampak tak percaya dengan jawaban omong kosong tersebut. Keningnya berkerut dalam dan menyangsikan dengan sangat jelas jawaban tersebut. “Kau tidak membualkan? Luciano tidak mungkin melakukan hal semacam itu.”

“Saya mengatakan yang sesungguhnya, Nyonya. Kami adalah pelayan di klub malam beliau yang …” Wanita itu menjilat bibirnya yang kering. Dengan ketakutan yang merebak di seluruh permukaan wajahnya. “K-kami diculik dan disiksa. Tuan Enzio menyelamatkan kami dan bahkan menyembuhkan kami.”

Anne menyentakkan tangan wanita itu. Jelas tak percaya dengan jawaban mustahil seperti itu. “Ck. Rupanya kau dibayar sangat mahal oleh Luciano untuk mengatakan jawaban konyol seperti itu, ya?”

Wanita pucat itu mengedipkan matanya, tampak kebingungan. Alih-alih menggeleng atau mengangguk.

“Aku tak ingin membuang waktuku untuk hal tolol semacam ini,” caci Anne, kemudian berjalan ke arah tangga.

“Itu yang sebenarnya terjadi, Nyonya. Tuan tidak seperti yang Anda pikirkan. Beliau memang …” JG mencoba meyakinkan sang Nyonya.

“Cih,” decih Anne ketika kakinya sudah menginjak anak tangga pertama. “Kau ingin aku mempercayainya?”

JG dan wanita pucat itu saling pandang.

“Jangan konyol,” dengus Anne lalu melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga. Menertawakan dirinya sendiri yang berusaha menggali di tanah tak kasat mata. Ia tak akan menemukan apa pun tentang Luciano.

Anne menghempaskan tubuhnya di tengah tempat tidur. Kepedihan kembali memenuhi dadanya mengingat tentang papanya. Lalu harapan papanya tentang cucu. Siapkah ia memiliki anak dari Luciano? Hanya membayangkan ia mengandung darah daging Luciano saja membuat kebencian di dalam dadanya semakin menguat. Bagaimana mungkin ia akan jatuh ke dalam lubang yang sama.

Mata Anne terpejam dan air mata merembes di antara kelopak matanya. Menekan kuat-kuat kebencian tersebut dan hanya memikirkan bahwa semua ini adalah satu-satunya harapan yang diinginkan oleh papanya. Untuk terakhir kalinya.

Anne terisak, memiringkan tubuhnya dan memeluk dirinya sendiri. Ia belum siap ditinggalkan oleh papanya. Tidak akan pernah siap. Hanya merekalah satu-satunya hal di dunia ini yang ia miliki. Yang mencintainya dengan tulus dan mengasihinya dengan sepenuh hati.

***

“Tuan, Enzio.”

Luciano baru saja memasuki lobi gedungnya ketika langkahnya tiba-tiba berhenti, mengenali suara familiar tersebut. Raut wajahnya terpasang begitu apik sebelum berbalik dan menatap pergelangan tangannya yang ditahan oleh Esther. “Ya?”

“B-bolehkan saya meminta waktu Anda. Hanya dua menit.” Esther berhenti sejenak. “Ada yang perlu saya tanyakan dan katakana pada Anda.”

Luciano menarik tangannya dan memutuskan untuk memberikannya karena permohonan yang terlihat begitu jelas di kedua mata Esther. Ia pun membawa wanita itu ke sudut lobi yang jauh dari keramaian. “Ada apa?”

“S-saya ...” Esther meragu sejenak, mengamati ekspresi wajah Luciano sebelum meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia perlu mengatakan apa yang dirasakannya. “Semakin saya memikirkannya, saya semakin yakin bahwa kita pernah saling mengenal.”

Ekspresi Luciano masih dan tetap setenang air danau. Menatap keyakinan yang begitu kuat di kedua mata Esther. Ingatan Esther mungkin telah hilang, tetapi seharusnya ia tidak meremehkan perasaan wanita itu kepadanya. Ya, ia dan Esther pernah saling mencintai. Hingga ia menyerahkan sepenuh perasaannya dengan mengikhlaskan kepergian wanita itu untuk yang terbaik. Tetapi, sejak saat itu. Tak ada lagi kata cinta itu di hidupnya. Ia tidak percaya dengan kata-kata sentimentil yang berhubungan dengan kata-kata cinta sialan itu. Ia hanya percaya, semua itu hanyalah sebuah kebodohan.

Apa yang ia miliki, bisa membeli apa pun yang diinginkannya. Termasuk Anne. Hanya cinta dan hati yang tidak ia miliki. Tetapi ia bahkan sama sekali tak tertarik untuk memilikinya.

“Ada beberapa hal yang saya ingat, terasa begitu familiar. Tetapi saya tidak bisa mengingatnya dengan baik. Bahkan saya tidak tahu ingatan apa yang hilang tersebut.”

Luciano masih terdiam, matanya tertunduk, mengamati telapak tangan Esther yang bergerak ke dada wanita itu. Saat ia kembali menatap wajah Esther, wanita itu langsung menangkap pandangannya. Masih dengan senyum penuh ketenangannya untuk wanita itu, ia menjawab, “Bagi saya, itu tidak berarti apa-apa, Nona Esther. Maaf, sebelumnya. Saya tidak benar-benar mengerti, ah bahkan tidak tahu apa yang Anda katakan”

Esther menggelengkan kepalanya. Kemudian wanita itu mengambil satu langkah ke depan. Tangan wanita itu terulur menyentuh pundak Luciano dan berjinjit. Menatap lebih dekat tanda yang ada di balik daun telinga Luciano. “Tanda ini. Saya merasa begitu familiar dan itu tak berhenti mengusik saja sejak beberapa jam yang lalu. Dan saya yakin tak akan berhenti mengusik saya sampai saya mendapatkan jawabannya.”

Kali ini kalimat Esther berhasil membuat seluruh tubuh Luciano menegang. Ya, Esther pasti mengenali tanda lahirnya tersebut. Hanya orang-orang terdekatnyalah yang tahu tanda itu. Dan Esther salah satunya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top