21. Gadis Kecil Yang Manis

Setelah merampas ponsel Anne, Luciano meninggalkan Anne setelah mengatakan wanita itu akan dikurung di dalam ruangan ini selama satu minggu. Rasanya hukuman fisik tak cukup menyiksa wanita itu.

Untuk sesaat, Luciano berniat meniduri Anne dengan cara yang kasar seperti sebelumnya sebagai hukuman akan keberanian wanita itu menentangnya. Namun, rupanya Anne sendiri sudah terbiasa dan bahkan lebih dari siap menerima hukuman tersebut. Yang membuta Luciano menahan diri.

Luciano benar-benar kehabisan akal demi membuat wanita itu memahami posisinya. Dan kali ini, cara ini yang ia gunakan untuk membuat wanita itu patuh. Dikurung di dalam ruangan, Luciano akan melihat berapa lama wanita itu akan tahan.

Saat ia turun ke lantai satu, Reene langsung menghadangnya di depan tangga. Dengan senyum semringah yang membungkus kelicikan wanita itu.

Ya, malam itu ia tahu Anne dan Reene merencanakan sesuatu untuk memperdayainya. Ia sendiri hanya mengetes Anne dan ingin mengejutkan wanita itu. Tetapi ia tak menyangka kalau Eshan akan berani menyentuh istrinya, saat pria itu akan bertunangan dengan Esther.

Meski Luciano bisa melihat dengan jelas kejutan rencana pertunangan tersebut ketika orang tua Eshan dan Esther mengumumkan di antara mereka. Eshan jelas tak menginginkan rencana kejutan ini. Tetap saja tidak seharusnya pria itu menyentuh istrinya.

"Aku sudah mengatakan padamu, kan? Kalau dia bukan pilihan yang tepat untuk menjadi istrimu. Ya, meski kau begitu menginginkannya, tetapi ini adalah pengkhinatan, Luciano. Tidak bisa dimaafkan." Saran yang dianjurkan Reene terdengar sepihak dan jelas Luciano tak peduli.

"Hapus semua foto Anne yang ada di ponselmu, juga dari orang yang suruhanmu. Jika foto ini menyebar, maka kaulah yang bertanggung jawab untuk semua hal yang terjadi," perintah Luciano dengan dingin. Bersamaan dengan Faraz yang muncul dari pintu utama.

"Apa? Kenapa?" Senyum Reene lenyap, digantikan keterkejutan dan kekecewaan yang teramat besar. "Apa yang dikatakannya padamu? Apa kau percaya dengannya?"

"Aku tak suka gosip tak penting mengganggu pekerjaanku. Pastikan dengan benar tidak ada jejak apa pun. Apa kau mengerti?"

Reene tak mengangguk. "Dia terlalu banyak berbohong padamu, bagaimana mungkin kau memercayainya, Luciano." Kata-kata Reene diselimuti iri dengki yang dalam.

"Dan bukan berarti aku tak tahu apa yang dia lakukan di belakangku, Reene. Aku sudah mengatakan padamu, jangan ikut campur urusanku dengan Anne. Dan jangan pernah mempertanyakan apa pun keputusanku padanya." Peringatan Luciano tak butuh bantahan sekecil apa pun. Pilihan Reene hanya diam.

"Apa kau mengerti?" Sekali lagi pertanyaan Luciano menegaskan.

Rahang Reene terjatuh rapat, mengangguk singkat dan penuh keterpaksaan. Dengan isyarat singkat pada Faraz, pria itu berbelok menuju lorong kamar tamu. Dan Reene masih menatap punggung Luciano yang berjalan pergi meninggalkannya.

Faraz muncul di samping Reene. Menepuk pundak wanita itu sekali dan setengah berbisik. "Hufftt, sekali lagi kau menjadi bebal, Reene. Apakah kau akan sadar setelah seseorang menendang bokongmu?"

Kepala Reene berputar ke semping dengan tatapan tajamnya yang nyaris membuat bola mata wanita itu keluar. Reene menyentakkan tangan Faraz dari tubuhnya. "Maka akulah yang akan menendang bokongmu lebih dulu," jawabnya kemudian berputar dan sengaja menyenggolkan pundaknya ke pundak Faraz. Berjalan melewati pria itu.

Faraz terkekeh kecil, lalu menyusul Luciano yang sudah memasuki salah satu pintu kamar tamu. Gadis seumuran Anne, 22 tahun itu terduduk di pinggiran tempat tidur. Rautnya sudah tidak pucat, tetapi kedua matanya masih menyiratkan ketakutan yang teramat dalam. Terutama dengan keberadaan Luciano dan Faraz.

Faraz mendekat, dengan suaranya yang melembut bertanya, "Kau tahu siapa dia, kan?"

Gadis itu melirik ke arah Luciano, menatap sejenak sebelum menjawab dengan satu anggukan pelan. "Tuan Enzio."

Senyum Faraz mengembang perlahan. "Dia yang menolongmu. Tak ada yang perlu kau takutkan lagi."

Gadis itu tampak mengerjapkan matanya, ketakutannya perlahan berubah menjadi kebingungan.

"Apakah ada yang ingin kau katakan padanya?"

Sekali lagi gadis itu masih tak menjawab, wajahnya tertunduk menatap pergelangan tangannya yang diplester dan pergelangan satunya yang ditato. Kemudian menangis dengan tersedu.

"D-dia ... dia ingin menukar kami dengan gadis kecil Anda."

Luciano dan Faraz seketika membeku, saling pandang dengan kepucatan yang tak bisa keduanya sembunyikan.

Kepala gadis itu bergerak terangkat, dengan air mata yang merembes dari kedua matanya, mengulang kalimatnya, "D-dia mengembalikan kami untuk menukarnya dengan gadis kecil Anda. Dia ingin memastikan Anda mendengar ini."

Wajah pucat Luciano mengeras, menggeram dengan kedua tangan yang mengepal kuat. Kemudian berjalan keluar dengan langkah besarnya.

"Ya, beristirahatlah. Sekarang biarkan kami yang mengambil alih."

"M-maaf. M-maafkan kami," isak gadis itu dengan kepala yang semakin tertunduk.

"Ya, istirahatlah." Faraz menepuk pundak gadis itu, berusaha menenangkannya sejenak sebelum menyusul Luciano.

***

Luciano menggebrak meja di hadapannya dengan kedua tangannya yang mengepal kuat. Buku-bukunya jarinya memutih, dan kedua matanya yang tampak berapi-api.

"Siapa yang dimaksud dengan gadis kecil, Luciano?" Faraz muncul dan langsung melontarkan kalimat tersebut. "Apakah Esther?"

Luciano menggeleng pelan, membanting tubuhnya di kursi masih dengan geraman yang memenuhi dada. Menatap lurus kedua mata Faraz dan menjawab, "Anne."

Faraz terpaku selama beberapa saat, mencerna jawaban singkat Luciano yang membuatnya tercengang cukup lama. "Anne? Anne Lucas? Is ... istrimu?"

Satu anggukan singkat dan samar Luciano sekali lagi mengejutkan Faraz. "B- bagaimana bisa?"

Luciano menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan keras. "Dia menculik Esther karena ingin bermain-main denganku. Tapi Anne, dia benar-benar menyukai Anne."

Faraz mengedipkan matanya, mendengarkan dengan seksama cerita yang belum pernah dikuak oleh Luciano. Ya, ia tahu penculikan yang terjadi sepuluh tahun lalu yang terulang beberapa hari yang lalu. Esther mengalami kecelakaan dalam penculikan itu hingga kehilangan ingatan. Yang membuat Luciano mundur dari kehidupan wanita itu sebelum kembali ke luar negeri.

Semua jejak Luciano di hidup pria itu dan jejak Esther di hidup Luciano dihapus hingga bersih. Hingga sekarang satu-satunya orang yang mengetahui hubungan Luciano dan Esther hanyalah Luciano, dirinya, dan pria gila itu.

Tetapi Anne? Faraz bahkan tak tahu kalau Anne juga terlibat

"Aku tahu dia gila, tapi saat itu aku tak pernah berpikir dia akan menculik Anne yang masih berumur 12 tahun."

"Dan Anne?"

"Dia tak mungkin mengingatnya. Kedua orang tuanya sudah melakukan segala cara untuk menghapus ingatan itu. Kaupikir dia masih akan senormal itu jika mengingat semuanya."

"Jadi karena itu kau begitu terobsesi dan menikahinya?"

Luciano tak yakin dengan jawabannya. "Aku melakukan sesuatu yang benar."

"Jika dia tahu kau memiliki Anne, apa dia juga tahu tentang pernikahanmu?"

"Dia pasti sudah kembali sejak lama dan mengawasi kehidupan kami."

"Aku masih belum menemukan apa pun. Semua jejaknya bersih sejak keluar dari rumah sakit jiwa. Rapi dan tak ada apa pun. Hilang begitu saja. Seolah ... seolah ..." Kening Faraz mendadak berkerut dalam ketika memikirkan satu-satu kemungkinan yang mungkin sajq terjadi. "Seolah dia merubah identitasnya. Atau ... atau bahkan melakukan operasi plastik. Apakah menurutmu kemungkinan itu bisa terjadi?"

Luciano mengurut hidungnya dan mempertimbangkan kemungkinan tersebut. Di tengah keheningan tersebut, suara ketukan pintu menyela. Faraz menyuruh masuk dan kepala pengawal Luciano muncul dengan satu berkas yang cukup tebal.

"Apa kau sudah mendapatkannya?" Faraz mengulurkan tangannya ke arah kepala pengawal tersebut. Mengambil berkasnya dan membukanya lebih dulu. Lembaran pertama, lembaran kedua dan semakin Faraz mengetahui lebih banyak. Keterkejutan di wajah pria itu semakin pekat. Kemudian dia mengangkat wajahnya menatap Luciano dengan keseriusan yang lebih besar. "Dia meninggal lima tahun yang lalu. Kebakaran di salah satu apartemen di London."

"Kau tahu dia masih hidup."

Faraz mengangguk. Meyakinkan keduanya akan kemungkinan yang baru saja mereka bicarakan. Sembari meletakkan berkas yang sudah terbuka ke hadapan Luciano.

Luciano tak bergerak, tetapi matanya bergerak turun. Menatap lembaran yang terbuka. Menampilkan wajah pria gila itu. Mata coklat gelap, rambut pirang dan bergelombang sebahu, hidung mancung yang kecil, bibir tipis dan garis wajah yang runcing ke bawah. Sangat mirip dengan wajah ibu mereka.

Dengan nama yang tertera jelas di atas foto itu. Lionel Enzio.

***

Ini hari ketiga Anne menjalani hukumannya. Tak ada yang dilakukannya selain melamun, makan dan tidur. Setelah pulang dari kantor, Luciano datang hanya akan membersihkan diri dan mengganti pakaiannya kemudian pergi lagi. Dan muncul pagi harinya saat akan bersiap ke kantor.

Anne masih di tempat tidur dan selalu di tempat tidur. Terkadang memang tidur, atau berpura-pura tidur, dan bahkan hanya berbaring saja seperti segumpal darah dan daging yang tak berguna.

Pagi kelima ini Anne benar-benar sudah muak dengan tidak melakukan apa pun yang seperti siksaan ini. Ia sudah bangun saat hari masih gelap, menunggu sampai saat Luciano muncul dari balik partisi dan bangun terduduk.

Luciano hanya meliriknya sekilas dan menyeberangi ruangan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Anne menyusul, membuka pintu kamar mandi tepat ketika pria itu menutupnya.

Luciano melirik kedatangan wanita itu lewat bahunya, sambil melepaskan kancing pakaian tidurnya berkata dalam nada yang dingin setengah mengejek, "Kau ingin mandi bersamaku?"

"Aku tidak tahan lagi dikurung seperti ini."

"Tidak tahan dikurung atau tidak tahan tidak kusentuh selama beberapa malam ini?" Luciano melempar bajunya ke keranjang, menyusul celana karetnya.

"Katakan itu pada dirimu sendiri, Luciano," sambar Anne dengan sinis. Wajahnya yang memerah berpaling ketika tanpa tahu malu Luciano telanjang bulat di hadapannya dan berjalan ke balik shower. Tanpa menggeser pintu kaca, pria itu membiarkan air mengguyur kepala dan jatuh ke pundak, kemudian mengalir di sepanjang punggung dan lengan berotot. Membiarkan tubuh seksi pria itu menjadi tontonan dengan penuh kepercayaan diri.

Anne tak bisa bersikap munafik dengan mengatakan tubuh Luciano tidak seksi. Dengan lengan berotor, dada bidang, dan perut berpetak. Ditambah wajah tampak dan berkharisma pria itu. Luciano merupakan paket lengkap segala kesenangan yang memanjakan pandangan wanita. Ya, semua wanita. Tua, dewasa, dan muda, semua senang menikmati apa yang dimiliki Luciano. Didukung kuasa pria itu dan kebaikan hati yang tertulis di setiap artikel, semua wanita tak punya alasan untuk tidak jatuh cinta pada Luciano. Wanita manapun. Kecuali dirinya.

Kesempurnaan pria masih tak cukup mengurangi kebenciannya pada Luciano.

"Kau ingin keluar?"

Anne tak menjawab ya. Tak yakin itu pertanyaan sungguhan atau pria itu hanya ingin mempermainkannya saja.

"Bergabunglah denganku dan aku akan mempertimbangkan memotong hukumanmu untuk dua hari ke depan."

Penolakan Anne sudah berada di ujung lidah wanita itu karena syaratnya yang konyol, tetapi kembali tertelan. "Aku ingin pergi ke rumah orang tuaku."

"Ya. Lakukanlah."

Kening Anne sedikit berkerut. "Hanya mandi?"

Luciano terkekeh pelan lalu mengulang. "Hanya mandi."

Anne masih bergeming di tempatnya. Wajahnya berputar ke arah bilik shower, yang sudah semerah kepiting rebus. Menghela napasnya dalam hati dan mulai mengangkat kakinya perlahan. Ikut bergabung di bawah shower.

Luciano mengulurkan botol sabun dan busa kepada Anne begitu wanita itu berada di belakangnya. "Gosok punggungku."

Anne mengambil botol tersebut, menuangkan cairan sabun ke busa dan menggosokkannya ke punggung pria itu. Anne bisa merasakan seringai kepuasan yang tersungging di ujung bibir Luciano begitu telapak tangannya menyentuh kulit punggung pria itu yang keras dan dipenuhi otot.

"Seharusnya kau menyentuhku seperti itu ketika kau berada di bawahku, Anne," kekeh Luciano. Kemudian pria itu mengerang pelan, menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh Anne.

Wajah Anne yang terguyur air tak bisa lebih merah padam lagi. Begitu kontras dengan guyuran air dingin dan wajahnya yang memanas.

"Ada deretan wanita yang rela melakukan apa saja demi menginginkan hal ini untukku."

Anne menebalkan telinganya, menekan dalam-dalam keinginannya untuk menyemprotkan sabun ke mata Luciano. Deretan wanita itu tidak termasuk dirinya kan. Karena ia akan melakukan apa pun untuk lepas dari jerat pernikahan pria itu.

Kemudian tiba-tiba tubuh Luciano berputar, membuat Anne terlonjak kaget tetapi dengan segera kedua tangannya ditangkap oleh pria itu dan diletakkan di dada. "Sekarang di sini."

Anne menggigit bibir bagian dalamnya, menetralisir kegugupannya dan pandangannya tak berani bergerak ke atas maupun ke bawah. Mengarah lurus ke dada bidang Luciano. Dan untuk pertama kalinya Anne menyadari ada bekas luka tepat di dada kiri Luciano.

Luciano mengikuti arah pandangan Anne terpaku. "Aku mendapatkannya sepuluh tahun yang lalu," ucapnya kemudian.

Anne tak bertanya. Telapak tangannya mulai bergerak menggosok dada Luciano. Dari leher, pundak, dada, dan turun ke perut. Tak berani lebih ke bawah lagi.

"Luka tembakan," lanjut Luciano. Mengamati lebih dalam ekspresi kaku yang terpasang di wajah Anne. Semburat merah memenuhi pipi wanita itu, di bawah guyuran air. Tatapan Luciano lebih ke bawah. Pakaian tidur yang pakai Anne terbuat dari bahan yang tipis. Dengan tali spaghetti, menampilkan belahan dada Anne dan hanya sampai di tengah paha wanita itu. Ya, semua pakaian tidur Anne adalah pilihannya. Tentu saja memilih dengan mempertimbangkan bentuk tubuh Anne yang bisa ia nikmati sepanjang malam.

Sialan. Gairah mulai menerjangnya dan Luciano menekan kuat-kuat keinginannya untuk menyetubuhi Anne di sini, sekarang juga.

Membuang pikiran panas membakar tersebut, ia pun melanjutkan kisahnya. "Aku mendapatkannya karena menyelamatkan seorang gadis kecil yang manis."

Anne mendengarkannya dengan jengah. Jelas kisah itu dibuat-buat. Seorang sekejam Luciano, bagaimana mungkin melakukan pengorbanan sebesar itu. Apakah pria itu pikir dirinya akan terkesan dengan cerita memilukan tersebut? Cih, mimpi saja.

"Sepertimu." Senyum Luciano melengkung lebih tinggi.

Anne benar-benar akan muntah mendengar bualan tersebut

"Nama gadis itu juga sama denganmu." Luciano berhenti sejenak. Mengamati ekspresi di wajah Anne. Tangannya terulur, menyentuh ujung dagu Anne dan melanjutkan. "Anne."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top