20. Bukti Perselingkuhan

Luciano turun tepat ketika jam di tangannya menunjukkan jam satu siang. Dari balik pintu kaca utama, ia bisa melihat bayangan tubuh Anne yang baru saja muncul di lobi. Senyum tersamar di ujung bibir Luciano, ketika perhatiannya teralih oleh mobil yang berhenti di samping mobilnya. Melihat pintu mobil yang terbuka dan permukaan wajahnya membeku melihat wanita yang melangkah turun dari dalam mobil.

Untuk sejenak, Luciano benar-benar membeku, hingga pandangan mereka bertemu dan Esther memberikan senyum manisnya mengenali Luciano.

"Tuan Enzio, Anda di sini?" sapa Esther ketika berhenti tepat di samping Luciano.

Luciano mengerjap sekali, mengambil kendali dirinya yang sempat terlepas dan terhanyut emosi untuk sepersekian detik. Luciano memasang seulas senyum dan mengangguk.

"Anda ingin masuk?" Senyum Esther terlihat begitu ringan sambil menunjuk ke pintu utama spa.

"Menjemput Anne," jawab Luciano masih dengan seulas senyum.

"Anda benar-benar tipe suami yang romantis," puji Esther dengan tatapan takjubnya dan kedua mata yang berbinar.

Luciano mengangguk singkat, kemudian berpamit. "Saya duluan, istri saya menunggu di dalam."

Esther tak tahu apa yang mendorongnya untuk meraih pergelangan tangan Luciano, menahan pria itu.

Luciano membeku, pandangannya turun ke arah tangan Esther yang menggenggam lengannya dengan kerut keheranan. "Ya?"

"Maafkan atas kelancangan saya, Tuan Enzio." Esther menarik tangannya, lalu mencoba mengingat dan bertanya, "Apakah kita pernah saling mengenal sebelum ini?"

Seluruh tubuh Luciano membeku dan wajahnya memias mendengar pertanyaan Esther. Luciano terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Ya, kemarin malam. Di pesta. Anda masih mengingat nama saya, bukan?"

Esther kemudian menggeleng dengan cepat. "Maksud saya sebelum pesta tadi malam. Wajah Anda..." Esther berhenti, kedua matanya mencoba menyelami permukaan wajah Luciano dengan seksama. "Terasa tidak asing di ingatan saja. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"

Luciano mengerjap, sekali lagi mengembalikan ketenangan emosinya sebelum menjawab, "Bagaimana mungkin saya akan melupakan Anda jika kita pernah bertemu sebelumnya, Nona Esther."

Kedua mata Esther melebar dan wajahnya tersipu malu mendengar pujian yang tersemat dalam kalimat tersebut.

Dan saat itulah Luciano menyadari keberadaan Anne. Memberi anggukan singkat untuk Esther dan menghampiri Anne yang sudah hampir sampai di tempatnya dan Esther berdiri. "Anne sayang, kau sudah keluar?" ucapnya sambil mengambil pinggang Anne dan mendaratkan kecupan di bibir wanita itu.

Esther yang menyaksikan interaksi tersebut hanya terdiam, dengan kerutan di kening yang masih berusaha mendapatkan sesuatu di benaknya.

Wajah Luciano terasa tidak asing di ingatannya. Seolah ia pernah melihat wajah itu, tetapi tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Di suatu tempat yang bahkan tidak bisa ia telaah.

Sejak pertemuannya dengan Luciano di pesta tadi malam, Esther merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Meski ia berkali-kali meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak mungkin Luciano mengenalnya.

Esther membangunkan dirinya dari lamunannya ketika Anne dan Luciano mendekat kepadanya. "Hai, Anne. Apa kau melakukan perawatan di sini juga?"

Anne mengangguk dan tersenyum. "Ya, aku baru saja selesai. Kau ingin masuk?"

"Ya. Mama Eshan merekomendasikan tempat ini, tapi beliau tidak bisa menemani karena tiba-tiba tidak enak badan tadi pagi."

Anne mengangguk-angguk. Ada rasa getir akan kedekatan Esther dengan mama Eshan yang menyelimuti dadanya.

" Mungkin kita bisa pergi bersama-sama nanti?"

"Ya. Boleh."

"Kalau begitu, mungkin kita bisa nertukar nomor ponsel?" Esther mengeluarkan ponselnya. "Berapa nomormu?"

Anne tak langsung menjawab, ia melirik ke arah Luciano sejenak sebelum kemudian menyebutkan deretan angka yang diketik oleh Esther.

Kerutan muncul di kening Luciano, dengan sudut matanya melirik Anne yang mengeluarkan ponsel dari dalam tas ketika ponsel tersebut berdering. "Aku akan menyimpannya."

"Kalau begitu, kami permisi. Silahkan." Luciano membawa Anne ke arah mobil. Membukakan pintu untuk Anne sebelum kemudian memutari bagian depan mobil dan duduk di balik kemudi. Meninggalkan area spa.

Setelah menamai kontak Esther, Anne memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas.

"Rupanya kau berhubungan baik dengan tunangan kekasihmu?" Ada nada mencemooh yang terselip di antara kalimat tersebut.

Anne tak mengatakan apa pun. Hanya melirik ke samping lalu menatap pinggir jalanan dari balik jendela. Matanya terpejam, memilih tidur daripada mendengarkan suara Luciano. Dan didukung tubuhnya yang terasa begitu nyaman, Anne kembali tidur.

Luciano menginjak pedal rem ketika lampu merah menyala. Wajahnua berputar ke samping, mengamati wajah Anne yang diselimuti ketenangan. Dan benaknya berputar sepuluh tahun yang lalu.

Telapak tangannya memegang dadanya yang mengucurkan darah dari luka tembak di sana. Kepalanya mulai pusing dan kesadarannya mulai naik turun. Tubuhnya berbaring miring, mematap gadis kecil yang duduk meringkuk di sudut ruangan yang berantakan tersebut.

Gadis kecil itu terisak, dengan kedua tangan menutup kepalanya. Rambutnya yang hitam lurus dikepang dua, masih mengenakan seragam sekolah dan tas sekolah yang isinya berhamburan memenuhi lantai berdebu disekitar mereka.

"Hai, aku baik-baik saja. Siapakah namamu?" Luciano berusaha bersuara di antara sesak yang memenuhi dadanya.

Isakan gadis itu terhenti, kepalanya perlahan terangkat dan dengan wajah mungil yang dipenuhi air mata.

"Kau ingin menolongku? Aku butuh sedikit bantuan." Luciano tersedak dan darah keluar dari mulutnya. Rasa dingin mulai menyelimuti tubuhnya, tetapi ia harus hidup. Berusaha menggali kesadarannya, ia kembali bertanya, "Kau bisa menggunakan ponsel?"

Gadis berumur sekitar 12 tahun itu mengangguk dan masih terisak.

"A-ada ponsel di sepatuku. Hubungi siapa pun yang ada di sana dan kita berdua akan selamat." Sekali lagi Luciano berhenti dan memuntahkan darah yang lebih banyak. Gadis kecil itu semakin terisak, tetapi merangkak ke arahnnya dan meletakkan telapak tangannya yang mungil di dada Luciano. Dengan air mata yang semakin membanjiri wajah mungilnya.

Senyum tersurai di antara wajahnya yang pucat dan dipenuhi darah. "S-siapa namamu?"

Isakan gadis itu semakin tersedu, tapi dengan polosnya tetap menjawab. "A-anne."

"Anne? Nama yang manis. Hanya Anne?" Kegelapan mulai menyelimuti pandangan Luciano pada wajah mungil gadis itu. Tetapi ia bisa mendengar nama terakhir yang dilirihkan oleh gadis kecil itu.

"A-anne ... L-lucas."

Luciano mengerjap dan kembali ke masa kini. Lampu hijau menyala dan ia menekan pedal gas.

"Anne Lucas. Gadis kecil dan polos yang sudah menjadi milikku," gumamnya lirih. Ia tak pernah menyangka pertemuan itu akan membawa Anne ke dalam pelukannya. Dengan obsesi yang semakin mengembang dan terus berkembang hingga ia kesulitan mengendalikanya. Maka satu-satunya cara untuk menuntaskan obsesi tersebut hanyalah dengan memiliki Anne. Dengan segala cara yang bisa ia lalukan.

Takdir atau kebetulan, tidak ada beda baginya. Anne miliknya.

***

Setengah jam kemudian, Luciano memarkir mobilnya di depan teras rumah. Anne masih terlelap dan Luciano tak beranjak. Pria itu melepaskan sabuk pengamannya, dan tubuhnya condong ke arah Anne. Tangannya terulur, menyelipkan helaian rambut yang menghalangi pemandangan wajah Anne ke balik telinga. Lama ia menatap wajah cantik tersebut dengan senyum yang tanpa sadar semakin mengembang.

Kelopak mata Anne perlahan bergerak, elusan lembut di pipi dan merasa begitu diawasi dengan intens, Anne mulai terbangun. Kedua matanya membuk dan seketika terkejut menemukan wajah Luciano yang berada terlalu dekat dengannya.

"Apa yang kau lakukan, Luciano?" desis Anne sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling mobil. Keduanya sudah sampai, Anne pun melepaskan sabuk pengamannya dan membuka pintu mobil. Turun lebih dulu.

Luciano menyusul dan dengan langkah besarnya berhasil meraih pinggang Anne ketika keduanya sampai di pintu utama. Merasakan pegangannya yang terlalu kuat, wanita itu pun menyerah untuk terlepas.

"Aku ingin minum," ucap Anne mengurai lengan Luciano dari pinggangnya saat mereka hendak naik ke lantai dua. Bersamaan dering ponsel pria itu yang ada di saku.

Luciano menatap nama pemanggil dan melepaskan lengannya dari Anne. Mengangkat panggilan tersebut.

"Ada apa?"

Anne bergegas masuk ke dalam area dapur, dan langkahnya sempat tersendat melihat Reene yang baru saja selesai makan siang. Keduanya terus berjalan dan bertemu di tengah ruang makan. Reene sengaja menghadang langkahnya.

"Minggir, Reene," sergah Anne karena saat ia melangkah ke samping kiri maupun kanan tetap dihadang oleh wanita itu.

"Dasar wanita murahan," caci Reene dengan ujung bibir yang terangkat dan tatapan mencemooh yang dipenuhi kebencian.

"Apa?" Raut wajah Anne seketika berubah dingin. Dengan kedua tangan yang mengepal. "Kau bilang apa?"

"Apa kau tak mendengarnya?" dengus Reene dengan kedua tangan bersilang dada penuh keangkuhan. "Wanita murahan. Kau wanita murahan. Yang tak cukup hanya dengan pelukan satu pria. Kau menikah dengan Luciano tapi kau membiarkan dirimu dipeluk oleh pria lain."

Bibir Anne menipis. "Kau tak tahu apa pun tentangku, Reene. Jadi tutup mulutmu sebelum ..."

"Kebusukanmu terbongkar?" sambar Reene dengan suara yang lebih keras. Kemudian wanita itu menunjukkan ponselnya, yang layarnya menampilkan sebuah gambar yang mengejutkan Anne.

Kening Anne berkerut mengamati gambar tersebut, sebelum kemudian melebar melihat gambar dirinya dan Eshan yang sedang berciuman di tangga darurat.

Reene mendengus, menjauhkan ponselnya saat tangan Anne bergerak hendak merebut ponsel tersebut.

"Berikan padaku, Reene." Anne menahan lengan Reene, tetapi wanita itu berkelit.

"Tidak!"

"Kau benar-benar licik. Apa yang akan kau lakukan dengan foto itu?"

"Setidaknya aku tidak munafik sepertimu." Reene bergerak mundur. Masih sibuk berkelit dari tangan Anne yang berusaha meraihnya. "Dan tentu saja aku akan menunjukkan pada ...."

"Ada apa ini?" Suara bariton Luciano melerai pertengkaran keduanya. Anne menoleh dan Reene menggunakan kesempatan itu untuk mendorong tubuh Anne menjauh. Lalu bergegas menghampiri Luciano yang sudah berada dekat dengan keduanya.

"Aku punya bukti kalau dia berselingkuh di belakangmu, Luciano." Reene dengan penuh antusiasnya memberikan ponselnya pada Luciano. Menunjukkan hasil gambar yang dikirim oleh orang suruhannya.

Seluruh tubuh Anne membeku dengan wajah yang pucat pasi. Bukan dirinya yang ia khawatirkan, tetapi keselamatan Eshanlah yang lebih membuatnya panik.

Melihat gambar tersebut, wajah Luciano menggelap. Anne sudah mundur satu langkah demi menghindar dari terjangan kemarahan Luciano. Namun pergelangan tangannya ditangkap oleh Luciano hanya dalam sekejap mata.

Foto itu diambil saat Anne masih mengenakan gaun pesta, seperti pakaian yang dikenalan oleh Eshan. Beraninya pria itu menyentuh istrinya, geram Luciano.

"Lepaskan, Luciano."

"Tak hanya menemuinya di belakangku, kau bahkan melakukan perbuatan menjijikkan ini, hah?" Luciano menyeret tubuh Anne menuju anak tangga dan naik ke lantai dua.

Anne hanya meringis, merasakan genggaman tangan pria itu yang semakin menguat dan nyaris meremukkan tulang pergelangan tangannya.

Sedangkan Reene, wanita itu menatap derita Anne dengan senyum penuh kepuasan. Berjalan mengikut di belakang dan terkekeh jahat melihat tubuh Anne yang menghilang dari pandangannya di ujung tangga. Ia ingin naik ke atas untuk mendengarkan penderitaan wanita itu lebih dekat. Tetapi kedua pengawal yang berjaga di depan tangga menahannya. Reene pun pergi dengan kedongkolan.

Luciano membanting tubuh Anne ke tengah tempat tidur hingga terpental dua kali. "Apa yang akan kau jelaskan tentang ini?"

Wajah Anne mengeras, menatap tajam kedua mata Luciano saat menjawab, "Aku tidak akan menjelaskan apa pun."

Cukup sudah. Kesabaran Luciano dilibas habis-habisan oleh jawaban angkuh Anne.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top