19. Program Kehamilan
"Siapa dia?" tanya Anne lagi begitu Luciano sudah ada di depan mereka. Faraz terlihat membungkam, angkat tangan dari situasi ini.
"Naiklah ke atas, Anne," jawab Luciano dengan perintah yang lain.
Anne memasang raut dingin. "Kau tidak menjawab pertanyaanku."
"Memang tidak dan itu bukan urusanmu," tandas Luciano dengan tegas. Mengambil tangan Anne dan setengah menyeret wanita itu kembali ke arah lift. Yang membuat Anne jengkel bukan main.
"Apa hanya aku satu-satunya orang di rumah ini yang paling tidak tahu apa-apa?" ucap Anne setelah keduanya masuk ke dalam lift.
"Itu hanya bukan urusanmu. Dan kau memang tak perlu tahu apa-apa." Luciano menatap lurus kedua mata Anne, dengan seringai yang tersungging rapi di salah satu ujung bibir. "Rasa ingin tahumu berbanding terbalik dengan penolakan dan kebencianmu terhadapku, Anne."
Wajah Anne memias, matanya berkedip dengan gugup dan memalingkan wajah dengan cepat. Pintu lift bergerak membuka dan Anne bergegas keluar lebih dulu. Bisa merasakan tatapan mencemooh Luciano di balik punggungnya.
Ya, ia memang seharusnya tak peduli apa pun itu urusan Luciano di rumah ini. Termasuk wanita mana pun yang dibawa pria itu di rumah ini. Hanya saja ... kenapa dokter juga datang memeriksa wanita itu?
Anne segera menggelengkan kepalanya begitu pertanyaan itu muncul di benaknya. Mengusir rasa penasaran yang mulai menyeruak di dalam dadanya.
Meletakkan tasnya di meja, Anne bergegas ke kamar mandi untuk menghindari Luciano. Mengunci pintunya, yang tak ada kuncinya. Mengerang jengkel, Anne menendang pintu tersebut. Tetapi karena tiba-tiba pintunya didorong terbuka oleh Luciano, Anne kehilangan keseimbangan dan terhuyung belakang. Dan tepat sebeluk tubuhnya terjungkal ke belakang, pinggangnya ditangkap oleh Luciano.
Anne terpekik pelan, dan terkejut Luciano yang menolongnya. Dengan segera, Anne menggeliat dan membebaskan diri dari kungkungan pria itu lalu bergerak menjauh.
"Kau tak tahu cara berterima kasih, ya?"
Anne tak menjawab. Tentu saja ia tahu cara berterima kasih. Tapi ia lebih memilih jatuh ke lantai daripada di tolong oleh Luciano.
Luciano berjalan menghampiri Anne yang berdiri di depan wastafel. Mengamati wanita itu yang membungkuk dan mencuci muka. Sengaja menyibukkan diri daripada menyempatkan menjawab pertanyaannya. "Jadi kau bersekongkol dengan Reene untuk membuatku menghamilinya?"
Gerakan tangan Anne yang sedang mengeringkan wajahnya dengan handuk terhenti sejenak. "Kau terburu hendak memiliki anak, kan?"
"Denganmu ya. Tapi dengan wanita lain, tidak seterburu itu."
"Kenapa?"
"Karena akhir-akhir ini kau sering bersikap menjengkelkan."
"Aku bisa lebih menjengkelkan lagi jika kau mau."
Luciano terkekeh, dengan seringai yang lebih tinggi. "Itu hanya akan membuatku semakin bersemangat menghamilimu."
Wajah Anne memerah, dengan mudahnya Luciano mengatakan kalimat vulgar tersebut. "Kau sudah membaca hasil pemeriksaan kesehatanku, kan? Aku tidak bisa hamil dalam waktu dekat."
"Dan itu membuatmu berpikir meminum pil kontrasepsi secara diam-diam di belakangku?" dengus Luciano.
Anne tersentak pelan, tubuhnya mundur satu langkah dengan wajah yang memucat. Darimana Luciano tahu? Sepertinya itu adalah pertanyaan paling tolol yang muncul di benaknya. Anne mencoba untuk tidak menertawakan ketololannya.
"Aku sudah mengatakan padamu, Anne. Tidak ada yang tidak kuketahui tentangmu. Jadi jangan membuang waktu dan tenagamu untuk hal sia seperti ini. Kenapa kau tidak belajar dengan baik?"
Anne mengangkat sedikit dagunya ke atas. Dengan kedongkolan luar biasa yang memenuhi dadanya. "Lalu kenapa kau lakukan semua ini, Luciano? Jawabannya sama seperti pertanyaan yang kau ajukan. Kenapa kau datang di hidupku? Kenapa harus aku? Kenapa aku harus terikat dengan obsesi gilamu itu? Kenapa harus aku? Kau benar-benar membuatku tak bisa bernapas. Kau benar-benar ...." Anne terhenti. Napasnya terengah karena mengucapkan rentetan kalimat panjang tersebut hanya dalam sekali tarikan napasnya. Sekaligus kehilangan kata-kata untuk mengungkapkan kebencian dan kedongkolannya yang bercampur aduk di dalam dadanya.
Anne mundur, terduduk dengan lunglai di pinggiran bath up dan kedua telapak tangannya menutup wajah. Kemudian terisak pelan.
Luciano terdiam. Hanya mengamati pundak Anne yang bergerak naik turun. Setelah beberapa saat, isakan Anne mereda dan Luciano berjalan mendekat. Membungkuk di depan Anne untuk menurunkan kedua tangan wanita itu. Lalu memegang ujung dagu wanita itu dan mendongakkannya sehingga pandangan mereka menjadi sejajar.
"Berdamailah dengan kekecewaanmu, Anne. Maka hatimu akan menjadi lebih ringan.
"Apakah dengan begitu kau akan membebaskanku?"
Seringai Luciano naik lagi, ujung jemarinya mengusap bibir bagian bawah Anne dengan gerakan yang lembut. "Kau akan mendapatkan kebebasan hanya dengan menerima situasimu saat ini. Itu satu-satunya pilihan yang kau miliki."
Anne menggelengkan kepalanya. "Aku tidak menginginkan semua situasi ini. Aku berada di sini karena dengan keterpaksaanku dan ketidakberdayaanku terhadap kuasamu. Jiwaku terperangkap di dalam tubuhku yang kau letakkan di sini, Luciano. Kau tak memiliki apa pun selain tubuhku."
Sejenak kalimat Anne berhasil mengena di dada Luciano. "Lalu, kau ingin aku membiarkanmu terbebas dan jatuh ke pelukan pria yang kau cintai?" dengusnya dengan nada mencemooh yang begitu kental. "Cinta? Itu hanyalah omong kosong, Anne. Jika cintanya sebesar itu untukmu, hitung usaha apa yang sudah dilakukannya untuk memilikimu? Apakah lebih besar dari cinta sialan itu? Jika tidak, semua yang kau katakan cinta tak lebih dari sekedar omong kosong."
"Itu karena kau tak punya hati. Sehingga kau tak tahu apa yang kami miliki."
Luciano mendengus lebih keras dengan cengkeramannya di rahang Anne yang semakin menguat. "Ya. Tapi aku punya apa pun yang bisa membuatku memilikimu. Tidak seperti kalian berdua. Yang membuang-buang waktu untuk berpikir bisa melewati batasan kalian."
"Kau tak tahu apa pun tentang kami."
"Memang tidak. Dan tak perlu tahu." Luciano mendekatkan wajahnya lebih dekat di wajah Anne. Sama sekali tak terpengaruh dengan rontaan wanita itu.
Untuk sesaat Anne berpikir Luciano akan mencium bibirnya, dan dalam satu menit ke depan pria itu akan menelanjanginya. Akan tetapi, pria itu masih membeku. Menyisakan jarak yang tipis di antara wajah mereka. Sebelum kemudian melepaskan cengkeraman di rahangnya dan menegakkan punggung.
"Bersiaplah. Aku akan membawamu ke rumah sakit."
Anne baru saja bernapas setelah Luciano membentangkan jarak di antara kedua tubuh mereka. Hanya untuk kembali dikejutkan dengan kalimat perintah pria itu. "Apa? Rumah sakit?"
Luciano mengangguk singkat. Memutar tubuhnya sebelum menjawab dengan datar. "Kau mendengarnya, Anne."
"Untuk?" Anne bangkit berdiri, menyusul Luciano yang sudah akan memcapai pintu.
"Kau akan tahu saat kita sampai di sana."
"Tidak. Aku tidak ingin hamil lagi. Aku tidak mau hamil anakmu lagi."
Luciano hanya mendengus keras. "Kalau begitu, terbiasalah kecewa dengan keinginanmu. Sedikit nasehat untukmu karena kau sudah menyenangkanku semalaman."
Anne memutar otaknya di antara kepanikannya. Hingga kepalanya serasa berkarat dan .... dan...
"Aku ... aku akan memberimu anak." Suara Anne lebih kuat -nyaris berteriak- dan langkahnya terhenti. Pikirannya sedang tak waras, tapi sebelum kewarasannya kembali. Lebih baik Sepertinya hanya itu ide terbaik yang ada di kepalanya. Ia tak akan sanggup menghadapi kuasa Luciano. Pria itu selalu sepuluh langkah lebih maju dari rencananya.
Luciano berhenti di tengah ruangan. Kemudian memutar tubuhnya dengan perlahan. Menatap Anne yang masih bergeming di ambang pintu kamar mandi. Terlihat terkejut dengan kalimat yang baru saja wanita itu ucapkan.
Anne menelan ludahnya. Mencoba menawar dan sedikit berkompromi. "Apakah jika aku memberimu anak, aku memiliki kesempatan untuk lepas dari pernikahan ini?"
Luciano terkekeh. "Kau benar-benar ingin mengakhiri pernikahan ini, ya?"
Anne tak mengangguk meski keinginan tersebut teramat besar. Hanya ada permohonan yang tertampil di raut wajahnya.
"Anak hanyalah alat yang kugunakan untuk mengikatmu Anne. Meski aku juga membutuhkannya sebagai ahli waris dan peneruaku. Satu-satunya alasan aku akan melepaskanmu hanyalah jika aku merasa bosan denganmu. Dan saat itu terjadi, percayalah. Kau akan memohon di kakiku agar posisimu kembali seperti semula. Jadi... apa sekarang kau masih ingin bebas dariku?"
Anne merasakan panas yang menyelimuti kedua kelopak matanya. Tubuhnya jatuh ke lantai dan air mata itu akhirnya meleleh.
"Kau hanya perlu menerima semua kebaikan ini dan berdamai dengan situasimu. Masalah selesai," tambah Luciano. "Tapi ... karena kau sudah cukup mengalah dengan egomu yang keras kepala itu untuk berkompromi, setelah pulang dari rumah sakit kau bisa pergi berjalan-jalan. Menghirup udara segar mungkin, lakukan saja apa yang kau sukai. Aku tak akan mengganggumu," pungasnya kemudian berbalik dan melewati partisi. Langsung ke lantai tiga.
Anne masih terdiam, bisa melihat bayangan tubuh Luciano yang menaiki tangga. Dan merasakan gumpalan yang tersangkut di tenggorokannya. Seberapa pun kerasnya ia berusaha, ganjalan itu akan tetap di sana. Ia pun menarik napasnya panjang dan dalam sebelum kemudian mengembuskannya secara perlahan. Punggung tangannya menghapus tetesan air mata yang merembes di sana.
Bangkit berdiri, Anne masuk ke dalam kamar mandi. Jika Luciano bisa melakukan apa pun, maka Anne pun bisa melakukan apa pun sesukanya. Kita lihat siapa di antara mereka yang bisa bertahan sampai di akhir. Sampai kapan pun, ia tak akan berdamai dengan situasi ini.
***
Setelah Anne bersiap, Luciano langsung membawa wanita itu ke rumah sakit. Rahimnya sudah bersih, meski keadaannya masih butuh pemulihan sebelum menerima kehamilan selanjutnya. Anne sempat bernapas dengan vonis tersebut tetapi rupanya Luciano memaksa dan dokter memberikan solusi dengan obat penguat rahim. Dokter itu jelas tak berkutik, rumah sakit ini milik Luciano.
Keduanya keluar setelah dokter menuliskan resep obat yang harus diambil di apotek, juga berbagai macam anjuran pola makan dan kesehatan yang perlu keduanya jaga demi mempersiapkan kehamilan selanjutnya. Anne tak ingin mendengarkan, tetapi saat berpikir ia harus mendengarkan demi melakukan pantangannya, itu adalah ide terbaik yang muncul di kepalanya.
Selesai, Luciano dan Anne menunggu di dalam mobil sementara anak buah Luciano mengurus administrasi dan mengambil obatnya.
Tak lebih dari sepuluh menit, anak buah Luciano muncul dengan tablet kecil yang langsung diserahkan pada pria itu. Luciano sendiri tak mempercayakan benda itu pada Anne, sehingga menyimpan dan akan mengurus jadwal minum Anne.
"Kau ingin aku mengantarmu ke suatu tempat?" tanya Luciano saat mobil mulai meninggalkan halaman rumah sakit.
Tanpa memalingkan wajahnya dari jendela mobil, Anne pun tak menjawab.
Luciano menatap punggung Anne yang tetap bergeming. Kemurungan istrinya terlihat semakin menumpuk, meski begitu tak menyurutkan kehendaknya yang dipaksakan terhadap wanita itu. "Sepertinya kau butuh merilekskan tubuh. Aku akan mengantarmu ke spa."
Anne masih bergeming. Bahkan ketika mobil sampai di salah satu spa terbaik di pusat kota, Luciano membukakan pintu untuk Anne. "Aku ada urusan di sekitar sini. Lakukan apa pun yang kau sukai di sini."
Anne tetap turun meski raut wajahnya menunjukkan penolakan. Luciano mengantarnya masuk, menyuruh pelayan untuk memberikan pelayanan terbaik bagi Anne. Setelah manager spa tersebut turun tangan, menyambut kedatangan Luciano dengan segala penuh kehormatan.
Luciano menundukkan kepala, mendaratkan satu kecupan yang dalam di pelipis Anne sambil berbisik. "Aku harus pergi. Setelah kau selesai dua jam lagi, aku akan menjemputmu."
Anne tak menjawab. Luciano mengurai lengan pria itu dari pinggangnya, kemudian bergegas pergi.
"Sebelah sini, Nyonya Enzio," Manager bernama Flora itu mengarahkannya untuk masuk ke salah satu ruangan terbaik, dan sepanjang perjalanan tak berhenti mengajaknya bicara, menjelaskan segala hal yang membuat Anne mengantuk. Sampai akhirnya Anne memberanikan diri menyuruh manager itu untuk meninggalkannya berendam sendirian.
Di antara kelopak bunga mawar dan aroma segar yang benar-benar merilekskan pikiran dan tubuhnya, Anne mulai merasa nyaman dengan pelayanan di sana. Pijat, perawatan wajah, kuku kaki dan tangan, dan akhirnya semua sesi itu berakhir dua jam kemudian.
Luciano sama sekali tak menghubunginya, Anne pun berpikir untuk pulang dengan naik taksi. Singgah di restoran atau ke mana pun sesukanya hari ini. Seperti yang dijanjikan Luciano sebelum mereka berangkat ke rumah sakit.
Dua pelayan membukakan pintu untuknya ketika Anne melangkah keluar. Senyum mereka hanya dibalas singkat. Langkahnya mendadak terhenti melihat Luciano yang lengannya ditahan oleh seorang wanita. Mata Anne menyipit, mengenali wanita itu adalah Esther.
Keduanya membeku, dengan tatapan yang saling pandang. Anne melangkah lebih dekat dengan kerutan keheranan yang perlahan muncul di keningnya. Dengan jarak yang tidak terlalu dekat maupun tidak terlalu jauh, Anne bisa mendengar kalimat tanya yang dilontarkan oleh Esther.
"Maafkan atas kelancangan saya, Tuan Enzio." Esther bergegas menarik pegangannya dari lengan Luciano. Dengan berkerut kening, seolah mengingat sesuatu. "Apakah kita pernah saling mengenal sebelum ini?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top