14. Masa Lalu Yang Mengintip
Anne merasa sedikit lega sempat menelan satu pil saat di rumah Ibra kemarin. Memperkirakan hal semacam ini akan terjadi. Rasanya gairah Luciano tak habis-habis terhadapnya. Di kamar mandi, di tempat tidur. Seolah Luciano giat menidurinya hanya demi membuatnya hamil. Seperti sumpah pria itu.
Sepanjang malam pria itu sama sekali tak membiarkannya bernapas. Menuntaskan rasa haus pria itu dalam satu malam setelah berminggu-minggu menahan gairah. Anne dibuat terheran. Setiap malam yang ia habiskan bersama Luciano, rasanya pria itu selalu bergairah untuknya. Membuatnya berpikir bahwa pria itu tidak mencoba mencari wanita lain sebagai pemuas nafsu.
Anne harus membuat Luciano berpaling darinya dan meniduri Reene. Perhatian pria itu harus teralih darinya.
Anne menyingkirkan lengan Luciano yang melilit perut telanjangnya di balik selimut dari belakang. Berusaha sepelan mungkin tanpa membangunkan pria itu.
Ia berhasil menyingkap selimut dan menurunkan kedua kakinya. Membungkuk dan memungut pakaiannya yang dikoyak oleh Luciano tadi malam. Bahkan pakaian itu hanya ia kenakan ketika di ruang ganti dan saat sampai di tempat tidur, Lucu membuatnya teronggok di lantai.
Melihat robekannya yang cukup parah, Anne memutuskan meletakkannya kembali di lantai dan mengambil kaos polos milik Luciano yang terletak di dekat kakinya. Anne baru saja mengenakannya ketika suara langkah kaki dari balik partisi membuatnya menoleh. Dan melihat Reene yang melangkah mendekat.
"Luciano belum bangun?" tanya Reene terheran melihat Luciano yang masih berbaring di tengah tempat tidur. Pandangan Reene terpaku pada tubuh telanjang Luciano yang tengkurap dan hanya bagian bawa pinggang dan setengah kaki yang tertutup selimut.
Wajah wanita itu menajam oleh kecemburuan melihat tempat tidur yang berantakan, dan semakin menajan ketika beralih pada Anne yang duduk di pinggiran tempat tidur dan hanya mengenakan kaos polos kebesaran yang Reene yakin adalah milikk Luciano.
"Apa yang kau lakukan, Anne?"
"Jika kau tidak berani menghadapi apa yang kau lihat, kenapa kau memutuskan masuk ke dalam kamar tidur pasangan suami istri, Reene?" balas Anne tak kalah dinginnya. Seharusnya wanita itu tahu dirinya juga tak mungkin menolak keinginan Luciano. Bahkan di tempat tidur. Ah, terutama di tempat tidur.
Wajah Reene mengeras. Menekan kuat-kuat kecemburuan yang membakar hatinya melihat pemandangan di hadapannya ini. "Ada Faraz di bawah. Sepertinya ada sesuatu yang darurat."
"Kau bisa membangunkannya sendiri," jawab Anne sambil bangkit berdiri, hendak ke kamar mandi lebih dulu.
"Tidak ada yang berani membangunkannya, Anne," desis Reene pelan. "Aku datang ke sini karena Luciano tak pernah bangun selambat ini."
Anne menengok Luciano yang masih memejamkan matanya. "Kalau begitu kau bisa menunggunya. Dia baru tertidur jam tiga pagi. Tidurnya begitu nyenyak." Membuat Anne iri. Tubuhnya pegal semua dan tulang-tulangnya serasa remuk redam. Semburat merah menyelimuti wajahnya mengingat apa yang membuat keduanya tidur sepagi itu.
"Apa?" Kedua mata Reene melebar, dengan kecemburuan yang semakin pekat.
Anne menatap Reene dan segera menggeleng. "Bukan apa-apa. Terserah apa yang kau ingin lakukan padanya," ucapnya kemudian melanjutkan langkahnya menuju pintu kamar mandi.
Reene hanya berdiri membeku, menatap punggung Luciano sekali lagi. Jika ada sesuatu yang paling dibenci Luciano selain pengkhianatan adalah dibangunkan dari tidur. Luciano akan mengamuk dan tak ada yang berani membangunkan pria itu.
Reene pun memutuskan berbalik dan menemui Faraz di lantai satu.
"Masih tidur?" Mata Faraz melebar tak percaya, melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan setengah delapan. "Dia selalu bangun jam enam. Tak pernah lewat satu menit pun."
Reene tahu itu, wajahnya memberengut seperti kertas kusut yang diremas.
"Kenapa dengan wajahmu?"
Reene tak menjawab. Tetapi kemudian kepalanya terdongak dan menatap Faraz. Dengan keseriusan yang mulai memudarkan kekusutan wajahnya. "Memangnya apa yang membuatmu terlihat begitu terburu?"
Faraz menutup mulutnya, dan tepat pada saat itu sebuah mobil berhenti di depan teras. "Mereka sudah datang," gumamnya dan bergegas melangkah keluar. Reene bangkit berdiri dan mengekor di belakang Faraz.
Faraz membuka pintu bagian belakang mobil. "Apa mereka baik-baik saja?"
"Butuh perawatan dokter dengan segera. Mereka masih pingsan," jawab seorang pria yang mengenakan kemeja putih dengan noda lumpur bercampur darah di beberapa bagian.
Faraz melangkah mundur, memberikan ruang bagi pria itu untuk turun dan menggendong seorang wanita dengan pakaian compang-camping yang tak sadarkan diri. "Bawa ke dalam. Ke dalam kamar tamu."
Kemudian Faraz beralih pada mobi lainnya yang ada di belakang, yang juga menurunkan seorang wanita lagi dan mobil ketiga, wanita lainnya sudah terbangun. Meski terlalu lemah untuk berjalan dengan kedua kakinya sendiri.
"Siapa mereka? Kenapa kau membawanya kemari? Kaupikir rumah Luciano penampungan untuk orang-orang seperti mereka?" cela Reene tak mengenali ketiga wanita itu.
"Dan kau pikir karena kau bisa tidur di rumah ini sesukamu kau menjadi lebih istimewa dibandingkan mereka di mata Luciano," dengus Faraz balik mencela. "Jangan bersikap seolah kau nyonya di rumah ini, Reene. Kau bukan dan tidak akan menjadi nyonya di rumah ini. Jangan buang energimu untuk mendalami peran yang bukan milikmu."
Wajah Reene mengeras dan sangat merah padam. Kemarahannya mendidih dan naik ke ubun-ubun. Kedua tangannya mengepal hingga beberapa kuku palsunya patah.
Faraz melewati Reene dan setengah berlari masuk ke dalam rumah meninggalkan Reene yang wajahnya sudah seperti kepiting rebus.
"Aku mendengar keributan." Suara Luciano muncul dari arah tangga. Faraz yang tengah menyeberangi ruang tengah seketika berhenti. Melihat Luciano yang hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada. Dengan rambut kusut khas bangun tidur.
"Dan kau baru saja bangun. Apakah semalam sangat berat?" sindir Faraz dengan kesinisan yang dibuat-buat.
Luciano tak menanggapi candaan tersebut. Ya, tak biasanya ia bangun sesiang ini. Rasanya berada di tempat tidur bersama Anne begitu menyenangkan dan membuatnya lupa diri. Sekaligus membuat sedikit resah akan pengaruh wanita itu yang mulai semakin dalam dan seperti candu. Luciano mengingatkan dirinya sendiri untuk segera mengurangi pengaruh itu atau semua itu tidak akan menjadi baik untuk diriua sendiri. "Katakan saja apa yang terjadi," perintahnya dengan sikap yang serius dan datar.
"Mereka sudah ditemukan. Keadaannya cukup buruk tapi masih hidup."
"Dokter?"
"Dalam perjalanan."
Dan baru saja Faraz menjawab, suara langkah mengalihkan perhatian keduanya. Melihat pria sedikit gemuk berjas putih dan tas kulit hitam di tangan kanan. Faraz pun menunjukkan kamar yang ada di lorong sebelah kiri. Setelah Luciano memerintah untuk memastikan mereka baik-baik saja.
"Apa mereka tiga wanita yang diculik itu?" Reene muncul setelah Faraz pergi. Menahan Luciano yang hendak naik ke lantai dua lagi.
"Ya."
"Kau menyuruh Faraz membawanya kemari?"
"Ya."
"Aku tahu kau begitu pemurah, Luciano. Tapi membawa mereka ke sini juga akan mengundang kecurigaan."
"Aku bisa mengurusnya."
"Kau selalu saja mau membuang waktu untuk sesuatu yang tidak penting."
"Apakah itu termasuk berbicara denganmu sekarang?"
Reene memucat oleh kemarahan yang berusaha ditekannya dalam-dalam. Tetapi ia segera menguasai ekspresi wajahnya ketika Luciano bergerak memutar tumit dan berkata dengan nada yang lebih serius. "Aku melihat salah satu lengan mereka yang terluka."
Luciano berhenti, memutar kepalanya ke samping dan melirik Reene dari balik bahunya.
"Mereka memiliki luka dan tanda yang sama dengan yang dimiliki Esther." Reene berhenti. Mencermati ekspresi Luciano dengan hati-hati sebelum melanjutkan. "Semuanya."
***
Begitu Luciano menerobos masuk ke salah satu kamar tamu yang terdekat, tatapannya langsung bertemu dengan Faraz dan sang dokter yang tengah memeriksan pergelangan tangan wanita yang berbaring di tempat tidur.
Tatapan Faraz menyiratkan sesuatu yang serius, tepat seperti yang dikatakan oleh Reene. Luciano bergegas menghampiri tempat tidur. Melihat tato bunga dengan angka 3 dan luka sayatan di pergerakan tangan. Cukup jelas meski tidak terlalu dalam dan tidak memerlukan jahitan.
Wajah Luciano menggelap dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuhnya. Setelah sepuluh tahun, pria gila itu telah kembali. Dan ini adalah ucapan selamat datangnya. Tiga serangan sekaligus.
***
"Sama persis. Aku yakin ini orang yang sama." Faraz mengangguk sekali dan dengan penuh keyakinan.
Luciano masih terdiam. Bersandar di punggung kursi dengan tangan ujung jemari yang tak berhenti bergerak di lengan kursi. Ekspresinya terlihat setenang air danau, tetapi benaknya tak berhenti memeras otak. Mencerna situasi familiar yang mengembalikan masa lalunya kembali tepat di hadapan.
"Mad Dog?"
Faraz menggeleng. "Aku tak yakin apakah ada hubungannya, tetapi ini bukan perbuatan Mad Dog. Mad Dog biasanya hanya bermain-main seperti anak kecil. Tetapi kau tahu penculik yang kita bicarakan saat ini bukan orang lain."
Luciano tak mengatakan apa pun lagi. "Bagaimana mungkin dia kabur dari rumah sakit jiwa tujuh tahun lalu dan kau baru mengetahuinya?"
"Dia memanipulasi data yang rumah sakit kirim, Luciano. Dan kita terlalu sibuk mengurus bisnis di sini sedangkan rumah sakit tempat pria itu dirawat berada di ujung benua Eropa. Kau pun berpikir semua sudah aman."
Keheningan membentang di antara keduanya.
"Bagaimana kabarnya?"
"Esther?" Salah satu alis Faraz terangkat. Luciano tak pernah menyinggung tentang wanita itu. Tetapi saat pria itu menanyakan tentang satu hal tabu ini, sudah tentu pembicaraan mereka menjadi lebih dari serius.
Luciano tak mengangguk atau menjawab ya sebagai konfirmasinya.
"Ingatannya masih belum kembali. Dan sepertinya memang permanen tak akan kembali."
Sekilas emosi melintasi kedua mata Luciano di balik ketenangan yang masih menghiasi permukaan wajah pria itu.
"Dan…" Faraz mendadak menghentikan kalimatnya, tampak menilai respon Luciano sebelum melanjutkan.
"Apa?" Luciano nyaris tak menggerakkan bibirnya.
"Aku mendengar dia akan kembali ke negara ini."
Kedua mata Luciano melebar, terkejut. Tatapannya menelisik wajah Faraz lebih dalam.
"Kau tahu, perjodohan antar keluarga kelas atas. Lingkungan keluarga tempat kita berkecimpung tetap seperti ini, Luciano. Lingkaran kira masih masih berhubungan."
Tak ada ekspresi di wajah Luciano. "Selidiki tentang perjodohan itu."
"Untuk?"
Luciano tak menjawab, bangkit berdiri dan berjalan memutari meja.
"Kau tidak berencana merusak hidupnya lagi, kan?"
Langkah Luciano membeku. Menoleh ke arah Faraz yang masih duduk di kursi dengan tajam. "Lakukan saja apa yang kuperintahkan," jawabnya dingin lalu melanjutkan langkahnya.
Faraz berdiri dan memutar tubuh menghadap Luciano yang sudah memegang gagang pintu. "Dia tidak akan mengingatmu, Luciano. Akan jauh lebih aman jika kau tidak berusaha membuatnya mengingatmu."
Luciano membeku. Tatapannya semakin tajam saat sekali lagi bertemu dengan kedua mata Faraz. "Aku hanya butuh memastikan pria yang dijodohkannya adalah pria yang tepat. Setidaknya aku tahu pria berengsek hanya dengan melihatnya, kan."
Faraz mengangguk singkat. "Ah, pria berengsek tahu apa yang dipikirkan pria berengsek lainnya," gumamnya mengingat. "Oke. Aku akan mencari tahunya. Kau hanya perlu melihatnya dari jauh, kan? Atau sekedar foto?"
"Terserah," jawab Luciano kemudian membuka pintu dan berjalan keluar.
Begitu turun ke lantai dua dan melewati partisi, Luciano langsung menemukan Anne yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang dililit di dada. Wanita itu terkejut dengan kemunculannya, tetapi terlalu sembrono untuk tubuh seseksi itu ditemukan.
Luciano menyeberangi ruangan dengan langkah besarnya. Menghampiri wanita itu dengan sangat cepat.
Anne sendiri yang belum sempat mencerna keterkejutan, melangkah mundur. Mencoba menjauh dari Luciano yang mencoba menerjangnya. Ia tahu berada dalam masalah, tetapi tak menemukan alasannya. Ia baru saja bangun dan masuk ke kamar mandi dan berendam di bath up karena tubuhnya yang pegal semua. Apakah turun dati tempat tidur lebih dulu juga sebuah kesalahan?
Pria itu langsung menangkap pinggangnya dan mendorong tubuhnya ke dinding, dan dengan satu gerakan yang sama. Luciano juga menangkap bibirnya. Melumatnya dalam satu lumatan yang dalam.
Tangan Luciano menurunkan handuk dari tubuh Anne, kemudian menyeret wanita itu masuk kembali ke kamar mandi sambil berbisik. "Kita berendam?"
Anne membelalak. Lagi?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top