12. Eshan ❤️
Anne masih termenung, menatap Ibra yang menunggu respon darinya. "Lalu apa yang kau ingin aku lakukan? Mengatakan aku tidak mencintai Luciano dan melarikan diri dengannya? Itu yang selalu kupikirkan, tapi aku tidak senaif itu. Aku tak ingin menambah beban kecewa kedua orang tuaku setelah sandiwara kehamilanku. Dan kau pikir berapa lama aku akan melarikan diri? Kedua orang tuaku tak akan berhenti meratapiku sampai mereka menghembuskan napas terakhir."
Semakin Ibra mendengar jawaban Anne, kerutan di kening pria itu semakin dalam. "Kenapa jawabanmu terdengar sinis? Aku hanya mengatakan padamu apa yang dia bilang. Dan saranku, sebaiknya kau menjauhinya dan jangan berhubungan dengannya."
Anne tak setuju dengan ide itu. Dan Ibra menangkap isyarat keras kepala tersebut. "Ck. Aku sudah mengatakan padamu, menjaga hubungan baik-baik saja itu adalah pilihan yang buruk. Tak ada pertemanan antara pria dan wanita tanpa ada salah satu dari kalian yang terluka, Anne. Terutama antara kau dan dia."
"Hanya karena pernikahan yang tak kuinginkan dan aku harus mengakhiri hubungan baikku dengannya? Begitu?"
"Kalian memaksa hubungan itu tetap baik," koreksi Ibra.
"Kau tak tahu apa-apa, Ibra."
"Ya, memang. Tapi kau yang sengaja menjebak dirimu di antara Eshan dan Luciano."
"Luciano bukan siapa-siapa."
Ibra mendesah pendek. "Dia suamimu. Yang menyelipkan cincin di jari manismu. Sekarang ini."
Anne mengangkat tangannya, menatap jari manisnya sejenak dan melepaskan cincin itu dari sana kemudian memasukkannya ke dalam tas.
Ibra terdiam. Keduanya saling tatap dan Anne memutus kontak lebih dulu lalu duduk di sofa. Tubuhnya menghadap jendela kaca, termenung. Ibra memilih mendiamkan Anne, yang selalu butuh waktu untuk diri sendiri sejak Luciano datang di hidup wanita itu.
Keduanya kembali tenggelam dalam keheningan. Sampai kemudian pintu terketuk. Mama Ibra muncul dengan senampan camilan untuk mereka.
"Mama juga membawa seseorang untuk kalian."
Anne dan Ibra menoleh bersamaan. Menatap ke arah pintu. Dan Eshan muncul di belakang mama Ibra. Sungguh saat yang tepat. Mereka baru saja membicarakan pria itu.
***
"Kau diam saja. Apa ada yang kau pikirkan?" Eshan memecah keheningan di antara mereka. Keduanya berada di dalam mobil Eshan, yang hendak mengantar wanita itu pulang.
Saat keduanya pulang dari rumah Ibra bersama-sama, Anne sudah mengambil ponselnya untuk menghubungi sopir, tetapi tiba-tiba dihentikan oleh Eshan. Memaksanya untuk masuk ke dalam mobil pria itu. Ada sesuatu yang perlu mereka bicarakan. Anne sudah menolaknya dan berdalih bahwa ia harus segera pergi. Tetapi tiba-tiba muncul mama Ibra yang malah mendukung Eshan karena hari sudah akan gelap dan tak baik wanita pulang sendirian.
Di sinilah Anne berakhir, duduk di samping Eshan dan keduanya terjebak lalu lintas yang tak biasa.
Anne menggeleng pelan sebagai jawaban. Alasan Eshan yang mengatakan pria itu ingin bicara hanyalah omong kosong. Setengah jam keduanya berada dalam perjalanan, Eshan sama sekali tak bicara dan Anne sendiri sengaja mempertahankan kesunyian tersebut.
Sedikit banyak Anne mengakui kebenaran kalimat Ibra. Mempertahankan hubungan mereka tetap baik-baik saja setelah pengakuan cinta pria itu yang ia tolak adalah pilihan yang buruk. Keraguan akan keputusannya perlahan merambati dadanya. Sekarang keduanya berada dalam kecanggungan. Anne ingin merasa nyaman dengan momen mereka yang berdua seperti ini, tetapi bayang-bayang ketakutannya pada Luciano seolah menggantung penuh ancaman di atas kepalanya.
"Jadi, bagaimana kehidupan setelah menikah?" Eshan berusaha memancing. Tak peduli jika Anne merasa tak nyaman dengan perbincangan ini. "Apakah menyenangkan? Atau sangat menyenangkan?" tambahnya dengan nada bercanda yang dibuat-buat.
Napas Anne tertahan sejenak, kemudian ia menoleh ke samping. Menatap sisi wajah Eshan yang tersenyum. Pria itu menoleh ke samping, menyempatkan memberikan seulas senyum untuk Anne sebelum kembali berkonsentrasi ke arah jalanan. "Aku tak yakin jawabannya cenderung ke mana," jawabnya. Anne sendiri tak tahu kenapa ia memberikan jawaban semacam itu. Ia tahu Eshan tak menyerah pada kisah mereka, tetapi entah kenapa ia malah menyulut api yang dinyalakan oleh pria itu. "Atau mungkin lebih ke pilihan jawaban yang lain."
Kening Eshan berkerut, lampu merah menyala dan ia menginjak pedal rem. "Tidak baik-baik saja?"
Anne tak menjawab.
"Seburuk itu?"
Anne tetap terdiam.
"Kau ingin kita berhenti dan makan sesuatu?"
Anne benar-benar kehilangan akal pikirannya ketika memberikan anggukan pelan sebagai jawaban.
***
"Kau pulang terlambat?" Suara dingin Luciano yang membelah di antara kamar yang gelap menyentakkan Anne. Wanita itu baru saja menutup melewati partisi dan hendak menyalakan lampu di dinding. Berpikir Luciano belum pulang karena lantai dua tampak gelap saat ia menaiki anak tangga.
Anne memutar kepala menatap Luciano yang duduk di sofa tunggal, dengan tangan memegang gelas berisi cairan berwarna merah yang tersisa sedikit. Dan sebotol wine yang tersisa setengah di meja. Apa yang dilakukan pria itu dalam kegelapan, batin Anne.
Luciano mengamati penampilan Anne dari atas ke bawah dengan kedua mata yang tertutup setengah. "Aku tak mengatakan kau boleh pulang semalam ini, Anne," ucapnya dengan nada yang datar, tetapi tersemat ketajaman yang begitu jelas.
Anne tahu itu, tetapi ia memang sengaja melambat. "Aku minta maaf."
Luciano terdiam dengan kata-kata Anne. Butuh dua kali mengulang kalimat tersebut sebelum ia yakin kata-kata itu keluar dari mulut seorang Anne.
Matanya semakin menyipit, mencermati ekspresi di wajah Anne lebih dalam.
Anne terdiam, menampilkan raut semenyesal mungkin yang bisa ia buat.
Luciano mendengus, "Begitukah?"
Anne mengangguk pelan. Mencoba membaca ekspresi di wajah Luciano. Tetapi lapisan emosi pria itu terlalu tebal dan ia kesulitan membacanya.
"Kemarilah." Tangan Luciano terangkat dan salah satunya menepuk pangkuannya.
Anne tak bergerak, menjilat bibirnya yang kering. Jika sudah seperti ini, ia tahu apa yang akan diinginkan oleh pria itu padanya. "Bolehkah aku membersihkan diri lebih dulu. Aku berkeringat."
"Tidak." Jawaban Luciano singkat dan tegas. "Kita akan mandi bersama. Kebetulan aku juga belum mandi."
Anne menelan ludahnya. Ini bahkan lebih parah. Membayangkan akan mandi bersama Luciano, membuat perutnya mual. Seberapa pun ia membiasakan rasa jijik setiap Luciano menyentuhnya, tetap saja ia tak bisa menerima semua sentuhan Luciano. Kebenciannya tak berkurang.
"Aku tidak mengulang perintahku, Anne." Kalimat pungkasan Luciano sekali lagi diselimuti ketegasan yang lebih kuat.
Anne pun mengangguk tipis dan melangkah mendekat. Luciano menarik lengannya dan tubuhnya terjatuh dalam pangkuan pria itu hanya dalam sedetik dan detik berikutnya Luciano menangkap bibirnya. Melumatnya dengan ciuman yang penuh hasrat dan gairah. Tangan pria itu menyelinap di balik pakaiannya. Menyentuh kulit telanjang di perut, mengelus dan perlahan bergerak naik ke dada.
Kedua mata Anne terpejam, menahan diri akan rasa jijik yang muncul setiap Luciano menyentuhnya. Di tengah-tengah lumatan tersebut, mendadak suara dering ponsel menyela. Kedua mata Anne terbuka mengenali itu adalah nada dering miliknya. Yang lain dari semua nada dering di kontaknya karena nada dering itu spesial. Khusus nada dering untuk nomor Eshan.
Seluruh tubuh Anne menegang, dan sialnya reaksi tersebut langsung ditangkap oleh Luciano. Lumatan pria itu berhenti dan tatapan tajam pria itu langsung bertemu dengan kedua mata panik Anne. Dan ia pun bisa merasakan seringai yang tersungging di sela-sela bibir pria itu yang masih menempel di bibirnya.
Luciano menarik wajahnya menjauh. "Kenapa kau setegang ini? Siapa yang menelponmu?"
Anne menggeleng dengan gerakan yang kaku. Kepucatan di wajahnya pun bisa ia rasakan dan tak yakin bisa tersembunyi dari tatapan menelisik Luciano.
"Bukan siapa-siapa?"
Anne mengangguk pelan.
"Lalu kenapa wajahmu sepucat itu?"
Anne menggeleng lagi dan bersamaan saat itu juga Luciano menarik tas Anne yang masih menggantung di pundak wanita itu. "Tidak, Luciano," cegahnya berusaha meraih ponsel yang sudah berada di tangan pria itu. Tetapi sekali lagi ponsel itu berdering, dan Luciano menjauhkan ponsel tersebut dari jangkauannya.
"Eshan?" Salah satu alis Luciano terangkat, menusuk tepat di kedua mata Anne yang mengerjap berkali-kali.
"A-aku…"
"Love?" Luciano mendengus keras. "Apa dia yang membuatmu sulit menerima pernikahan ini? Yang menahan kebencian meleleh untuk suami yang sudah menikahimu?"
"Luciano, a-aku bisa…."
Anne tak sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Luciano menggeser tombol hijau dan menempelkan ponselnya wanita itu ke telinga.
"Anne, kau meninggalkan dompetmu di mobilku." Suara Eshan menyambut telinga Luciano.
"Dompet?" Luciano mengulang.
Anne menggigit bibirnya dengan keras. Teringat dompet yang sempat ia keluarkan untuk membayar makanan mereka dan Eshan mengambilnya. Mencegahnya membayar. Setelah itu ia lupa dan tidak meminta kembali dompetnya. Satu kali keteledorannya membuat Ibra berada dalam bahaya. Dan sekarang Eshan harus terseret dalam kekejaman Luciano juga. Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Dan kedua mata Luciano menunjukkan kesangsian yang begitu jelas.
"Di mana Anne?"
"Dia sedang pergi," dusta Luciano. Yang membuat Anne tak berani membuat suara sekecil apa pun atau Eshan tahu ia bersama Luciano dan mendengar percakapan keduanya. "Dompet, ehm. Bisakah kau mengantarnya ke rumahku. Aku akan memberitahunya."
Eshan tak langsung menjawab. "Ya. Aku masih berada di sekitar rumah kalian."
"Ya. Baguslah. Dia akan menunggumu." Luciano lebih dulu memutus panggilan tersebut dan menurunkan ponsel Anne dari telinga. Kepucatan di wajah Anne benar-benar tak tertolong.
Ketakutan merebak di seluruh permukaan wajah Anne. Bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Luciano pada Eshan. Yang kemudian mengingatkannya akan suara tembakan dan orang yang dibunuh Luciano. Juga pada apa yang terjadi pada Ibra.
"Kenapa wajahmu sepucat itu, Anne?" kekeh Luciano dengan kilatan yang gelap melintasi kedua matanya. "Turunlah, kau harus menyambut tamumu."
Rasanya Anne benar-benar tak bisa bernapas. "Apa yang akan kau lakukan padanya?" tanyanya dengan cicitan yang tak bisa ditahannya.
Kekehan Luciano semakin keras. Semua ketakutan Anne berkumpul jadi satu menyesakkan dadanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top