11. Rencana Cadangan

Anne tak bisa menolak keinginan Luciano. Selama seminggu penuh, pria itu sengaja menghukumnya dengan menggunakan tubuhnya. Mendapatkan apa pun yang pria itu inginkan dari setiap senti kulit tubuhnya.

Satu pelajaran yang Anne dapat dari semua kepasrahannya membiarkan Luciano melakukan apa pun sesuka pria itu. Pria itu menjadi sedikit melunak dan tak sering bersikap lembut saat ia menjadi patuh. Anne sendiri tak mengharapkan sikap tersebut, tetapi dengan sikap Luciano yang melonggar. Pria itu membiarkan dirinya mendapatkan sedikit kebebasan. Dengan memberikan ponselnya yang pria itu rampas dan ia bisa menghubungi kedua orang tuanya dan Ibra.

Mamanya menanyakan tentang kehamilannya dan bagaimana Luciano memperlakukannya. Dan satu-satunya jawaban yang ia miliki hanya Luciano yang bersikap sangat baik padanya. Ditambah ia bingung bagaimana caranya menjelaskan kegugurannya. Papanya tak banyak bicara, hanya menyuruhnya menjaga sikap dan menjadi istri yang baik untuk Luciano. Anne tak sungguh-sungguh mendengarkan dan memuaskan papanya dengan jawaban patuhnya.

Dan Ibra, sahabatnya itu sudah pulang dari rumah sakit hari ini. Ia berniat meminta ijin pada Luciano untuk menjenguk Ibra, tetapi tak yakin pria itu akan mengijinkannya.

"Luciano?" panggil Anne pada Luciano yang baru saja keluar dari pintu kamar mandi. Pria itu masih mengenakan handuk yang melilit di pinggang dan handuk kecil dikalungkan di leher. Digunakan untuk mengeringkan rambut.

Jika tak salah ingat, hari ini pria itu ada pertemuan pagi sehingga harus pergi lebih awal. Setelah semalam pulang larut karena harus mengecek sesuatu di klub malam dan kasino pria itu. Ck, saat siang hari Luciano bersandiwara sebagai CEO perusahaan di bidang mebel dan pemilik gedung besar hampir di seluruh kota. Malam hari pria itu bekerja sebagai pemilik klub-klub malam dan kasino. Entah bidang apa yang tidak dikuasai oleh Luciano. Anne tak berani memikirkan lebih jauh.

Pria itu pernah membunuh seseorang dengan tanpa rasa bersalah atau penyesalan sedikit pun. Mengatakan terkadang hal tersebut tak terhindarkan. Maka sudah jelas pembunuhan ini bukan yang pertama dan tak akan menjadi yang terakhir kali Luciano lakukan. Apa pun yang digeluti oleh Luciano, dan niatnya yang ingin membuktikan bahwa Luciano bukan pria baik seperti yang dilihat oleh kedua orangtuanya, sirna seketika. Anne tak berani membayangkan lebih jauh.

Tak sekali dua kali Anne melihat orang-orang berwajah mengerikan dan bengis datang ke rumah ini. Anne sering melihatnya di halaman belakang yang luas. Yang terdapat gudang besar. Truk besar, kecil, van, dan minibus sering Megan lihat bermondar-mandir di halaman samping rumah yang langsung terlihat dari balkon yang luas. Anna terkadang merasa bosan di dalam rumah dan duduk di pinggiran kolam dengan kedua kaki masuk ke dalam kolam. Sambil mengamati mobil-mobil itu. Meski posisinya tersembunyi, tetapi ia bisa melihat dengan jelas pemandangan tersebut.

Anne mengabaikan firasat buruk yang menyelimuti hatinya. Menatap Luciano yang berhenti dan menunggunya. "Bolehkah hari ini aku berkunjung ke rumah orang tuaku?"

Luciano berkerut kening, matanya tertutup setengah dengan kecurigaan yang begitu kental pada keinginan Anne. Ya, ia akui selama seminggu ini Anne memang bersikap manis padanya. Wanita itu tak lagi membuat keributan tanpa arti dan menyenangkannya. Membuat suasana hatinya sangat lebih baik. "Untuk?"

Anne menjilat bibirnya yang mendadak kering. Tatapan Luciano menusuknya lekat-lekat. "Apa aku harus punya alasan untuk melihat mereka?" tanyanya dan beruntung suaranya keluar dengan tanpa getaran.

Luciano tahu Anne hanya mencari alasan. Salah satu alis Luciano terangkat ketika melemparkan kecurigaannya secara terus terang. "Atau kau ingin menemui orang lain? ibra contohnya."

Anne menelan ludahnya. Wajahnya terlalu ekspresif di hadapan Luciano, sehingga satu-satunya pilihan hanyalah berkata jujur. "Ibra benar-benar hanya temanku. Aku... melakukan semua itu hanya untuk bermain-main dengannya. Aku bersikap bodoh untuk mengelabuimu."

Luciano tertarik dengan penyesalan yang terlihat di wajah Anne. Kali ini yakin itu adalah sebuah kejujuran.

"Aku menciumnya hanya demi memprovokasimu. Hubungan kami benar-benar tidak berjalan seperti yang kau pikirkan, Luciano. Aku... a-aku minta maaf."

Seringai tertarik di salah satu ujung bibir Luciano. Anne bahkan mengakui kesalahan wanita itu. Pun ia tahu pengakuan itu karena Anne menginginkan sesuatu darinya. Luciano masih bergeming, mempertimbangkan.

"Aku merasa bersalah padanya karena meletakkannya dalam bahaya. Bolehkah aku mengunjunginya?" tambah Anne lagi. Mencoba meyakinkan.

Luciano pun mengangguk singkat.

Anne membeku, mengedipkan matanya sekali. Seolah tak percaya dengan anggukan persetujuan Luciano. Ia terdiam, menunggu Luciano mengatakan sesuatu. Tentang syarat atau apa pun pun. Tetapi pria itu maisu tak membuka mulutnya.

"Kenapa kau malah melamun?"

Anne mengerjap lagi, kemudian menggeleng. "Tidak. A-aku... aku ingin mandi dulu," ucapnya kemudian setengah berlari masuk ke dalam kamar mandi. Meninggalkan Luciano sebelum pikiran pria itu berubah.

***

Setelah memastikan pakaiannya sudah rapi dan make up tipisnya menyamarkan bekas jahitan yang sudah hampir hilang, juga ia sudah memasukkan semua barang-barangnya ke dalam tas. Anne turun ke lantai satu dan bergabung di meja makan. Luciano sudah berangkat ke kantor tanpa sarapan dan hanya ada Reene di meja makan.

Tatapan sinis wanita itu menyambutnya saat ia muncul di ruang makan. Anne mengabaikannya kebencian wanita itu yang semakin hari semakin menggunung untuknya.

Tentu saja Anne tahu alasan wanita itu membencinya, dan ia punya alasan yang kuat untuk membenci wanita itu.

Reene terlibat perang dingin dengan Luciano, yang Anne sendiri tak tahu penyebabnya. Dan tak perlu ingin tahu. Meski ia sedikit was-was jika rencana pernikahan Reene dan Luciano terancam batal. Yang artinya Reene tak bisa menjadi istri cadangan Luciano dan kesempatannya untuk dibuang Luciano semakin menipis.

Luciano jelas bertekad membuatnya hamil, dan tekad pria itu akan semakin kuat jika pendarahannya selesai. Anne masih memikirkan cara untuk lolos dari satu hal ini.

Reene meletakkan sendok dan garpunya, lalu menyilangkan kedua tangan di meja dan mencondongkan tubuhnya ke arah Anne. "Kau pikir kau sudah menang?" dengusnya mengejek.

Anne yang baru saja menyendok nasi ke piring mengangkat kepalanya, menatap Reene dengan raut tidak mengerti. "Menang apa?"

"Karena kau, Luciano membatalkan rencana pernikahan kami. Kau pikir aku akan membiarkan dirimu dikalahkan oleh orang sepertimu?"

Kedua mata Anne melebar, tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Dia sungguh membatalkannya?"

Kepolosan Anne benar-benar membuat Reene semakin murka. "Kenapa Luciano membatalkannya?"

"Jangan bersikap sok polos, Anne," dengus Reene tajam.

Anne meletakkan sendok nasinya dan memasang keseriusan di wajahnya sebelum bicara. "Percayalah, Reene. Aku memang membencimu, tapi aku juga tak menginginkan hal ini. Aku benar-benar berharap Luciano menikah denganmu dan memiliki anak darimu."

Reene tertegun, tampak mencerna kalimat Anne sejenak. Tatapannya mengamati kesungguhan di permukaan wajah Anne. Entah wanita ini memang polos atau bodoh, Reene mencoba membaca keinginan yang tersirat di kedua mata Anne. Anne membenci Luciano, wanita itu terpaksa menikah dengan Luciano karena ketidak berdayaan Anne terhadap kekuasaan Luciano. Sama seperti dirinya.

Reene mempertimbangkan keseriusan Anne, tetapi tetap tak melepaskan kewaspadaannya bahwa Anne mempermainkan dirinya. "Jangan membodohiku, Anne," desisnya.

Anne menggeleng. "Aku tak menginginkan pernikahan ini dan sungguh aku ingin menukar posisi ini denganmu."

"Kau menertawakanku."

"Ya, kau boleh tidak percaya denganku. Aku pun tak akan mempercayaimu setelah apa yang kau lakukan pada anakku. Tapi kita bisa melupakan masalah ini sejenak."

Reene terdiam. Masih menunggu penjelasan Anne lebih lanjut dan mencoba mencermati keseriusan wanita itu lebih dalam lagi.

"Jika bisa, aku akan memberikan Luciano padamu, kau tahu keinginanku bukan apa-apa dibandingkan dengan kekuasaannya di hidupku."

Keduanya terdiam. Tenggelam dalam keheningan masing-masing. Reene belum sepenuhnya memercayai Anne, tapi ia bisa memanfaatkan keinginan wanita itu.

"Kita mungkin bisa bekerja sama, Reene," tambah Anne kemudian dengan suara lebih rendah setelah memutar pandangannya ke sekeliling mereka dan memastikan tidak ada siapa pun yang mendengar mereka.

"Apa yang kau inginkan?"

"Aku ingin bebas dan lepas dari pernikahan ini."

Reene menyangsikan keinginan Anne tersebut, tetapi menahannya dalam hati. "Aku tak berjanji tapi aku akan membantu."

"Jika aku berhasil lepas dari pernikahan ini, kaulah satu-satunya wanita yang akan menggantikan posisiku, bukan? Kita sama-sama diuntungkan."

Reene mengangguk, seringai tersamar di ujung bibirnya. Ia tak sungguh-sungguh berjanji. Yang ia pedulikan hanya keinginannya dan apa pun akan ia lakukan untuk mengabulkan keinginannya tersebut.

"Kita akan membicarakan ini nanti."

Sekali lagi Reene mengangguk. Mengamati Anne yang kembali melanjutkan sarapan pagi wanita itu.

Bahkan dengan Anne yang membunuh darah daging Luciano sendiri saja tidak cukup membuat pria itu mengusir Anne dari rumah ini. Rasanya kesepakatan ini tidak akan buruk.

Anne pun sibuk mengunyah nasi di mulutnya. Apa pun yang ia lakukan telah diketahui oleh Luciano. Sepertinya Reene bukanlah pilihan yang buruk untuk diajak kerjasama. Mereka memiliki keinginan yang sama dan layak dicoba. Luciano pun tak akan memperkirakan hal semacam ini.

Luciano selalu mengawasi setiap gerak-geriknya, lain halnya dengan Reene yang bisa melakukan apa pun sesuka wanita itu di rumah ini. Bahkan Luciano mempercayakan urusannya di rumah sakit pada wanita itu. Satu hal yang Anne pahami, Luciano tak akan tahu apa yang dilakukan Reene kepadanya. Entah karena Reene begitu dipercaya, atau Reene yang memang begitu licik memanfaatkan situasinya.

***

Anne masih menunggu dengan waspada ketika masuk ke dalam mobil. Menatap ponsel ditangannya dan menunggu jika sewaktu-waktu Luciano menelpon dan membatalkan ijin pria itu.

Akan tetapi, sampai di halaman rumahnya. Ponselnya maish tetap bergeming. Tak ada satu pun pesan atau panggilan masuk. Annr melompat turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam pintu rumahnya. Pelayan datang dan langsung menyambutnya.

"Nona?"

"Di mana mama?"

"Nyonya sedang ada di kamarnya."

Anne mengangguk. "Katakan aku datang, tapi aku ingin ke kamarku lebih dulu."

Pelayan tersebut menggangguk dan Anne langsung ke kamarnya di lantai dua. Menutup pintu kamar dan menguncinya, lalu langsung menuju meja riasnya. Membuka laci paling bawah dan menemukan benda itu masih ada di tempatnya.

Pil kontrasepsi. Yang ia dapatkan dari apotek sebelum menikah dengan Luciano. Ya, ia sudah memperkirakan kegagalannya dan mempersiapkan rencana cadangan jika Luciano mencoba membunuh anak dalam kandunganya. Semua rencananya hancur berantakan tetapi nyaris memiliki hasil yang sama. Ia tak menyangka Luciano mengetahui inseminasi buatannya dan Reenelah yang membunuh janin dalam perutnya.

Luciano tak akan tahu tentang pil ini karena ia tidak meminta pada dokter di rumah sakit yang pasti akan tunduk dalam kuasa Luciano.

Anne menyimpan botol tersebut di bagian terdalam tasnya. Kemudian kembali keluar dari kamar. Hanya ini tujuannya datang ke kamar ini.

Julia Lucas menunggu Anne di samping tangga saat putrinya tersebut menuruni anak tangga. Keduanya berpelukan dan saling menanyakan kabar.

Mamanya masih sehangat seperti yang Anne rindukan. Lembut dan penuh kasih. Meski pernah kecewa dengan apa yang ia lakukan, tetapi semua sudah termaafkan karena keluasan hati Luciano yang ditampilkan sempurna oleh pria itu pada kedua orang tuanya.

"Apakah kandunganmu baik-baik saja?" Julia menanyakan dengan hati-hati. Tahu topik pembicaraan ini membuat putrinya tersebut tidak nyaman.

Anne terdiam, mempertimbangkan apakah ia harus memberitahu mamanya tentang kegugurannya. Tetapi sepertinya sekarang bukan saat yang tepat. Anne pun memberikan satu anggukan singkat. Karena Luciano menerima kehamilannya dengan baik, kedua orang tuanya pun ikut memaafkan sikapnya dan mempercayakan semua urusan kehamilannya pada Luciano. Sedalam itu kepercayaan yang diberikan kedua orang tuanya pada Luciano. Dan Anne tak berani menggoyahkannya. Takut jika kedua orang tuanya mengetahui Luciano yang sesungguhnya, bukan tak mungkin pria itu akan menunjukkan taringnya secara langsung pada mereka berdua dan Anne tak ingin meletakkan kedua orang tuanya dalam bahaya.

Keduanya berbincang sejenak dan Anne berpamit. Mengatakan akan pergi ke rumah Ibra untuk menjenguk sahabatnya tersebut. Julia mengantar Anne sampai di teras rumah.

Tak sampai setengah jam, mobil sampai di halaman luas rumah Ibra. Mama Ibra menyambutnya dengan senyum ramahnya untuk Anne. Wanita paruh baya itu memang sudah menganggap Anne seperti putrinya sendiri dan hubungan keluarga mereka sangat baik. Terutama dengan kesediaan papanya Anne untuk mempekerjakan sekaligus mendidik Ibra menjadi mandiri.

"Ibra ada di kamarnya. Kau bisa langsung naik. Tante akan membawakan camilan untuk kalian."

"Tidak perlu repot-repot, Tante."

"Sama sekali tidak. Pergilah." Mama Ibra mendorong Anne ke arah tangga yang ada di ruang keluarga.

Ibra sedang sibuk memainkan game di ponsel ketika Anne masuk ke dalam kamar pria itu. "Hai, kau datang," ucapnya hanya dalam satu lirikan dan kembali berkonsentrasi ke layar di ponselnya. Kedua ibu jarinya sibuk bergerak divatas layar dengan penuh semangat yang menggebu-gebu.

Anne melangkah mendekat dan menyambar ponsel tersebut kemudian melemparnya ke ujung tempat tidur.

"Anne!!!" Kedua mata Ibra melotot sempurna, bola matanya nyaris melompat keluar. "Apa yang kau lakukan?" jeritnya dalam rengekan. Menatap ponsel di ujung tempat tidur dengan merana dan lengannya menggapai dengan gerakan yang berlebihan karena kakinya tak bisa bergerak. "Aku hampir membuat rekor baru!"

Anne tak peduli, duduk di ujung tempat tidur dan bersandar pada tiang ranjang. Kedua tangannya bersilang dada dan menghela napas rendah.

Ibra hampir menangis, tetapi keseriusan di wajah Anne segera membuatnya melupakan tentang permainannya. "Ada apa? Ada masalah lagi dengan Luciano?"

Anne tak menjawab. "Kapan kau sembuh?"

Ibra terdiam, keningnya berkerut dengan kecurigaan yang begitu kental dalam tatapannya. "Kenapa?"

Anne hanya menggeleng. "Kau masih bisa berjalan dengan kedua kakimu, kan?"

Ibra tak langsung mengangguk. "Apa rencana terakhirmu tak berhasil?"

"Aku tak ingin membicarakannya."

Ibra mengedikkan bahunya.

Anne terdiam.

"Kau terlihat muram, Anne. Terakhir kali bertemu di rumah sakit juga begitu. Ada apa?"

Anne menggeleng. "Tidak ada. Aku hanya ingin melihatmu."

"Lalu?"

"Tidak ada." Anne bangkit berdiri dan berjalan ke sofa.

"Anne?" panggil Ibra kemudian.

"Hmm?"

"Eshan menanyakan tentangmu."

Kalimat Ibra seketika menghentikan langkah Anne. Wanita itu memutar tubuh menatap ke arah Ibra.

"Dia berpikir pernikahanmu tidak baik-baik saja dan kupikir ... sepertinya dia tak ingin memyerah."

Anne mengerjap, tubuhnya membeku dan wajahnya seketika memucat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top