Part 1

Zaman dahulu kala, hiduplah seorang gadis penggembala bebek. Tiap hari ia pergi ke hutan menggembalakan bebek-bebeknya. Pekerjaan yang tidak sulit, tapi membosankan Tapi, apa boleh buat. Hanya inilah pekerjaan yang dapat dilakukannya. Ia tak bisa memasak. Pekerjaan rumah yang selalu dilakukannya bukannya membantu ibunya tapi malah membuat semuanya berantakan. Pun menjahit, butuh waktu seabad.

Maka dari itu, kedua orang tuanya memberi pekerjaan ini padanya, menggembalakan bebek. Pekerjaan lainnya diberikan kepada saudara-saudaranya. Satu-satunya hal yang bisa membuat gadis penggembala itu bertahan dengan pekerjaannya adalah karena dia memiliki waktu yang banyak untuk kesendiriannya.

Suatu hari, di pagi hari yang mendung, gadis itu menjalankan rutinitasnya pergi ke hutan sambil membawa gerombolan bebeknya. Tanah yang sedikit basah, menangkap kakinya hingga terpetak jejak-jejak kecil. Udara lembut dan harum khas hutan, gadis itu menarik napasnya dalam-dalam. Seakan-akan ingin mengisi penuh rongga parunya dengan aroma pagi itu. Sesekali ia mendengar, suara angin, suara dedaunan yang dipermainkan angin. Suara hutan. Dipincingkan matanya, mengintip dibalik rimbun dedaunan. Kelabu. Langit seperti tumpahan air susu. Seakan menjanjikan derasan hujan. Segera.

"Sepertinya aku tak bisa berlama-lama di hutan ini", katanya sedih. Sadar akan hujan yang segera turun.

Gadis itu, mengumpulkan semua pasukan bebeknya untuk kembali ke rumah. Ia mulai merasakan rintik-rintik hujan berjatuhan.

"Hei, kamu yang disana." Kata seseorang tiba-tiba. Gadis itu menghentikan langkahnya. Spontan ia berbalik, ingin melihat siapa yang memanggilnya.

Ternyata orang yang memanggilnya adalah seorang pemuda berbaju compang-camping. Rambutnya sedikit gondrong, tak terurus. Kulitnya kering dan kusam. Ia membawa tas kumal yang digendong di bahunya. Dan sebuah bambu?

"Kamu sedang apa di tempat ini?" Tanya pemuda itu. Gadis itu hanya diam saja. Bukankah sudah jelas bahwa ia sedang menggembalakan bebeknya?

"Apa kamu tersesat?" Tanya pemuda itu sekali lagi. Pertanyaan aneh macam apa itu? Jika dibandingkan dengan dirinya, pemuda itu lebih cocok dikatakan seorang pengemis yang tersesat di hutan belantara selama seminggu.

"Kenapa diam saja? Apa kamu bisu?" Tanya pemuda itu tak sabar. Lama-lama ia jengkel juga karena semua pertanyaannya tak dijawab sama sekali oleh gadis itu.

"Tidak!" Jawab gadis itu akhirnya.

"Lalu kenapa kamu tak menjawab pertanyaanku tadi?"

"Aku sudah menjawabnya."

Pemuda itu memutar matanya, jengkel. "Oh ya?"

"Ya." Jawab gadis itu. Ia kemudian meletakkan tangannya di atas dadanya. "Dalam hati."

Pemuda itu menghela napasnya kuat-kuat. Gadis ini mempermainkannya. "Okelah, Nona Manis, bolehkah aku tahu siapa namamu?" Tanya pemuda itu.

"Aku tidak mengatakan namaku pada orang asing." Kata gadis itu datar.

Dasar gadis keras kepala. "Baiklah, terserah kamu tidak ingin mengatakan namamu yang sangat berharga itu." Kemudian dia menunjuk dirinya sendiri. "Namaku Zen."

"Ooh, begitu." Gadis itu melihat ke arah langit lagi. Rintik-rintik hujan kini berganti dengan butir hujan sebesar batu. Hujan benar-benar turun membasahi bumi.

Anehnya, pemuda itu, Zen, tidak beranjak dari tempatnya berdiri.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: