4 | Peristiwa Luar Biasa

Sekolah kembali seperti hari biasa. Samudra sudah berada di bangkunya sambil menatap pemandangan di luar jendela. Saat itu Galuh baru saja sampai. Galuh tak berani menatap ke arah Samudra sekalipun sebenarnya ia mau-mau saja menatap pemuda itu. Tapi ia lebih malu lagi kalau teman-temannya bertanya yang aneh-aneh. Padahal apa salahnya menatap teman barunya yang duduk di belakangnya bukan?

Galuh menempatkan dirinya di kursi sambil menunggu guru masuk ke dalam kelas. Hampir saja ia tadi lupa bekalnya, untunglah ia masih bertemu dengan ayahnya yang repot-repot menyusulnya membawakan kotak bekal yang sudah disiapkan oleh ibunya. Dan sekarang di sinilah Galuh, di ruang kelasnya yang dipakainya setiap hari untuk belajar. Di ruang kelas itu sudah ada geng sosialita. Hesti, Rona, Ratri dan Lia, minus Windi yang sampai sekarang belum datang. Galuh penasaran dimana Windi. Baru saja ia bertanya-tanya seperti itu perempuan yang ia cari baru saja datang. Dia langsung menuju ke bangku tempat Windi berada.

"Win?" sapa Galuh. Windi langsung menoleh ke arahnya. "Ini bukumu," kata Galuh sambil mengulurkan buku PR Windi kepada gadis itu.

Windi menerimanya. Tak ada kata-kata terima kasih atau sebangsanya. Galuh hanya memberikan senyuman kepadanya. Tanpa ucapan terima kasih itu sudah cukup bagi Galuh. Dia kemudian kembali ke bangkunya. Samudra hanya mengamati tingkah polah gadis itu. Setelah Windi menerima bukunya ia kembali mengobrol dengan teman-temannya.

"Windi..., aku minta maaf," ucap Lia.

Windi tersenyum kepadanya sambil mengangguk.

"Sungguh?" tanya Lia.

Windi kembali mengangguk.

"Makasih ya, Win," ucap Lia sambil memeluknya.

"Adudududuh! Pelan-pelan keles, emangnya gue boneka?" tanya Windi.

Lia tersenyum. Matanya berkaca-kaca karenanya.

"Tapi ingat yah, jaga tuh omongan!" kata Windi.

"Iya iya," ucap Lia sambil tersenyum.

"Syukur deh semuanya bisa kembali seperti semula," kata Ratri. "Awas Lia, kalau sampai elo bikin gara-gara lagi."

"Iya iya," ucap Lia sambil memeluk Ratri, lalu Hesti, kemudian Rona.

"Udah udah, udah clear ,kan? Eh, ntar habis pulang sekolah gue mau nyalon nih. Siapa ikut?" tanya Rona.

"Dasar, salon melulu," ucap Hesti ketus.

"Yee, biarin dah. Mumpung ada diskon di salon langganan. Gue kan butuh perawatan kulit nek," jelas Rona.

"Kalo gue ntar mau shoping-shoping. Butuh tas baru nih," ujar Ratri. "Tas gue robek karena kesangkut pintu pas turun dari taksi kemarin."

"Hah? Tas apaan? Tas elo yang Gucci warna ijo itu?" tanya Hesti penasaran.

"Iyah," jawab Ratri.

"Aduh nek, kasihan. Padahal mahal kan itu?" Rona ikut bersimpati.

"Aku sih nggak tahu apa spesialnya tas-tas kaya' gitu," ucap Lia.

"Dasar lo ya, yang namanya cewek harus bisa ngikuti trend. Lo ini cewek jadi-jadian deh Lia," celetuk Hesti.

"Iya nih, cewek jadi-jadian. Perlu dicek dan ricek ulang nih kelaminnya," ucap Ratri sambil mengerutkan dahi.

Windi senyam-senyum saja melihat kelakuan teman-temannya. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Samudra. Kedua mata mereka bertemu. Pemuda itu mengernyitkan dahi ketika melihat Windi. Windi juga mengernyit. Ada pertanyaan sama di dalam hati mereka. "Kenapa dia melihat aku?"

"Galuh! Kamu ngerjain PR-nya Windi lagi?" celetuk Bella.

"Nah kaan? Kamu itu koq mau-maunya sih? Sudah deh. Mendingan nggak usah elo turuti lagi omongannya!" gerutu Budi.

Galuh hanya tersenyum. "Bukan urusan kalian. Aku melakukannya karena sukarela koq."

"Sukarela? Sukarela kumisnya Einstein botak?" celoteh Cindy.

Samudra yang mendengar percakapan itu hampir saja ketawa ketika mendengarkan perkataan Cindy yang absurd. Kumis Einstein botak? Setahu dia Einstein berkumis lebat dengan rambut yang jeprak, seperti di foto-fotonya yang terkenal. Tapi belum pernah ada sejarah yang menampilkan foto Einstein tanpa kumis. Mendengar Cindy bicara seperti itu membuat Samudra penasaran.

"Sudah deh gaes. Ini urusan pribadiku kuharap kalian mengerti," kata Galuh yang ingin mengakhiri pembicaraan ini.

"Ngomong-ngomong peringkat satu di kelas ini siapa?" celetuk Samudra tiba-tiba.

Galuh, Bella, Cindy dan Budi langsung menatap Samudra dengan pandangan aneh.

"Sorry, tapi aku penasaran saja. Kelihatannya kalian kumpulan orang-orang nerd di kelas ini, apa salah satu dari kalian yang menjadi peringkat satu?"tanya Samudra.

"Di kelas ini ada dua orang yang punya peringkat satu dan setiap semester selalu mereka," jawab Bella. "Kenapa kamu ingin tahu?"

"Yah, aku ingin tahu saja sih," jawab Samudra. "Aku juga ingin tahu, siapa tahu aku bisa menyaingi mereka."

"Tentu saja. Tapi apa kamu bisa mengalahkan mereka?" tanya Budi sambil tersenyum bangga.

"Memangnya siapa?" tanya Samudra.

"Aku dan Windi," jawab Galuh.

"Oh, wow," Samudra terkejut mendengarnya. "Yang benar?"

"Kau bisa lihat di papan peringkat siswa di dekat papan tulis itu," tunjuk Bella. "Di sana ada siapa saja para murid yang mendapatkan peringkat."

"Di sekolah ini peringkat tidak saja dilihat dari nilai rapornya. Setiap ada ulangan atau quiz maka para siswa akan mendapatkan poin. Apabila poin-poin ini diakumulasi maka dia akan mendapatkan nilai rata-rata yang bisa menempatkan dia di peringkat tertentu," jelas Cindy.

"Tidak hanya itu, apabila seorang murid melakukan pelanggaran maka nilainya akan dikurangi seberat pelanggaran yang dilakukannya," terang Budi.

"Jadi ada dua orang yang sama-sama punya peringkat satu di kelas ini?" tanya Samudra.

"Benar sekali," ucap Bella.

"Kamu sepertinya tak suka dengan hal itu, Galuh?" tanya Samudra kepada Galuh.

"Ya, aku tidak suka," ucap Galuh. "Sebab aku merasa terbebani kalau harus punya peringkat yang sama dengan Windi."

Semuanya terdiam. Samudra tak tahu apa yang dimaksud dengan ucapan Galuh tersebut. Dia bertaruh yang lain juga tak mengerti. Tapi biarlah Galuh sendiri yang menjawabnya nanti.

"Nah, berhubung kamu sekarang murid baru, maka nilai yang kamu akumulasikan untuk semester ini adalah mengikuti nilai rapormu terakhir. Kulihat kamu ada di peringkat kelima," ucap Bella.

Samudra menyipitkan matanya untuk bisa melihat tabel yang ada di dekat papan tulis. Tapi karena tulisannya kecil ia tak bisa melihat dengan jelas. Namun Bella adalah orang yang cukup baik untuk bisa menjelaskan tentang isi tabel itu.

"Peringkat pertama ada Windi dan Galuh, peringkat kedua aku, ketiga Bella, keempat Budi dan kelima kamu. Ternyata kamu bukan anak sembarangan," ujar Bella. "Kamu bisa mendapatkan peringkat kelima saja itu cukup wow bagi kami. Apa kamu mau bergabung di kelompok kami?"

"Kelompok?" tanya Samudra. Dia tidak pernah tahu tentang kelompok-kelompok ini kecuali sebagian kecil saja yang ia tahu.

"Iya, di kelas ini banyak kelompok-kelompok kalau kamu memang memperhatikannya. Seperti kami. Aku Galuh, Bella dan Budi adalah kelompok orang-orang nerd orang-orang menjuluki kami kelompok kutu buku atau orang-orang aneh. Kelompok Jimmy adalah kelompok orang-orang yang suka berkelahi dan mengandalkan otot. Mereka menyebut diri mereka dengan sebutan kelompok Sporty. Sedangkan Windi dan gengnya disebut sebagai kelompok sosialita. Mereka selalu update masalah fashion, masalah gosip dan lain-lain bahkan banyak rahasia-rahasia dari orang-orang yang ada di sekolah ini diketahui oleh mereka. Entah bagaimana caranya mereka bisa mengetahuinya," jelas Cindy.

"Ah, begitu ternyata. Aku netral aja deh," ujar Samudra.

"Ketahuilah, Sam. Masing-masing kelompok itu punya keunggulan masing-masing. Seperti kami misalnya, kau bisa dengan mudah menggunakan laboratorium sekolah ketika kau butuhkan. Karena kami memegang kunci laboratorium. Kami juga memegang kunci perpustakaan jadi kalau sewaktu-waktu kami butuh buku, maka kami bisa dengan mudah masuk ke perpustakaan," jelas Bella.

"Koq bisa?" tanya Samudra.

"Semua karena kami pernah mewakili olimpiade Matematika dan Fisika tahun lalu, sehingga tahun ini juga kami berharap untuk bisa ikut dan membanggakan sekolah," lanjut Budi.

"Memangnya juara berapa kalian?" tanya Samudra.

"Kami dapat juara pertama, juara kedua didapatkan oleh SMU Internasional Manchurian, juara ketiga diambil oleh SMU 7," jawab Bella.

"Cuma Galuh nih yang mewakili kita ke tingkat internasional, tapi dia kemudian kalah," jelas Budi sambil menunjuk Galuh.

"Kau sengaja kalah atau memang kalah?" tanya Samudra tiba-tiba.

Galuh mengernyit. "Maksudnya?"

"Orang sepertimu bukan tipe seseorang yang bisa dikalahkan," ujar Samudra. "Aku yakin kau pasti orang yang sengaja untuk kalah."

"Itu tidak benar, memang saingannya berat-berat koq," jelas Galuh.

Samudra tertawa datar. "Aku tak percaya."

"Iya, memang saingannya berat-berat koq," Bella mencoba membela Galuh.

Samudra kembali menoleh ke arah Windi. Kembali kedua mata mereka beradu. Lama-lama Samudra merasa tindakan Windi mencuri-curi pandang ke arahnya memang ada maksud tertentu. Apa kalau begitu maksudnya?

Beberapa saat yang lalu sebelum Windi berangkat sekolah, ia bertemu dengan ajudannya. Namanya Genta Landuni. Genta adalah mantan seorang pasukan khusus divisi Gultor. Wajahnya tampak datar dengan raut wajah khas orang Indonesia Timur. Dia memang berasal dari Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Badannya gempal, tegap dan termasuk orang-orang yang sigap serta lincah ketika melakukan tugas di lapangan. Soal kepiawaiannya dalam dunia intelejen tak perlu diragukan lagi apalagi kemampuannya di medan tempur. Seorang Genta Landuni mau menjadi ajudan gubernur juga memang merupakan sebuah tanda tanya besar. Tapi rahasia itu dipegang rapat-rapat oleh keluarga Nugraha. Tentu saja Windi mengetahui rahasianya.

"Pagi Nona," sapa Genta.

"Oh, pagi juga Genta," sahut Windi yang baru saja keluar dari rumahnya menuju ke garasi. "Oh ya, ada kabar apa hari ini?"

"Mungkin ini agak aneh tapi saya barusan mendapatkan informasi tentang Teuku Samudra," ucap Genta.

Windi tertarik. "Apa itu?"

"Beberapa waktu yang lalu secara tak sengaja seorang turis di Kepulauan Seribu menangkap foto ini," ujar Genta sambil memberikan sebuah foto kepada Windi.

Windi kemudian menerima foto berukuran post card tersebut. Matanya terbelalak ketika melihat gambar di foto itu. Di dalam foto itu ada Samudra dan seorang lagi yang sangat ia kenal.

"Dari mana kamu dapat foto ini?" tanya Windi.

"Dari seorang turis. Foto itu diambil dari akun sosial media miliknya," jawab Genta.

"Samudra kenal dengan orang itu?" gumam Windi.

Kembali kepada Windi yang sekarang ada di kelas. Ia sekarang benar-benar penasaran dengan Samudra. Bagaimana ia bisa mengenal seseorang yang berada di dalam foto tersebut. Yang jelas dia ingin menemui Samudra dan membicarakan hal itu secepatnya. Tentunya tidak di sini dan diketahui oleh orang lain.

* * *

Pelajaran olahraga dimulai. Samudra belum punya baju olahraga sehingga dia memakai kaos lengan panjang warna abu-abu dan celana training warna biru. Tentu saja ia kontras dengan teman-teman lainnya yang mengenakan baju olahraga kaos warna putih dengan lengan bergaris biru bertuliskan SMU Darmawangsa serta celana training warna biru langit. Seperti pelajaran olahraga pada umumnya murid-murid melakukan pemanasan. Mereka lari berkeliling lapangan basket sebanyak lima putaran kemudian diteruskan dengan senam peregangan otot.

Seorang guru olahraga datang. Namanya Pak Gatot. Orangnya tampak atletis. Dengan jaket warna hijau bermerk YONEX dan celana training warna biru dongker dia memberikan intruksi. Orangnya sudah paruh baya mungkin berusia 40-an, namun meskipun begitu orangnya lebih bugar daripada tampangnya. Ada sebuah peluit berwarna hijau yang ia kalungkan di lehernya.

"Anak-anak hari ini kita mau olahraga atletik. Materinya lompat jauh. Sudah tahu caranya lompat jauh bukan?" ucap Pak Gatot.

Murid-murid pun bersiap mengikuti instruksi Pak Gatot. Sementara itu Samudra menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia memukul-mukul tanah dengan ujung sepatunya. Dia sedang galau sebab kalau sampai ia terlalu kuat menghentakkan kakinya bisa-bisa semua orang bakal tercengang melihat ia bisa terbang. Setiap orang memang punya rahasia tapi rahasia yang ada pada dirinya tidak sembarangan orang mengetahuinya bahkan ia sendiri tak meminta bisa terbang. Melawan gravitasi memang adalah salah satu keistimewaan yang ia miliki, namun dengan keistimewaan seperti itu ia malah sering kali kesulitan sendiri untuk menyembunyikannya.

Pak Gatot menggiring murid-murid ke sebuah tempat yang agak jauh dari lapangan basket. Tempat itu merupakan sebuah rute yang lurus dengan ujungnya adalah kolam pasir. Kolam pasir itu ada kurang lebih panjangnya sekitar 9 meter. Tidak sedikit yang sudah mengetahui cara lompat jauh. Sepertinya semuanya juga sudah faham. Murid-murid cewek bergerombol dengan murid-murid cewek, demikian juga murid-murid cowok. Memang mereka sedikit dipisah agar penilaiannya lebih mudah.

"Perempuan dulu yang mencoba setelah itu giliran laki-laki," ucap Pak Gatot.

"Dalam lompat tinggi, berapa skor yang pernah diraih oleh murid di kelas ini?" tanya Samudra kepada Budi.

Budi menipiskan bibirnya. "Hemm... skor tertinggi sekitar 3 meter. Pemegangnya tuh, Si Jimmy." Budi menunjuk ke arah Jimmy. Jimmy tampak tersenyum sinis meremehkan pelajaran olahraga ini. "Dia paling bagus nilai olahraganya. Baik lompat tinggi, lompat jauh, sprint, lari, pokoknya dia pasti skornya paling tinggi."

"Oh, begitu," Samudra manggut-manggut. "Tapi kalau cewek?"

"Kalau cewek yang nilainya bagus itu si Ratri. Dia paling lincah di antara semua cewek yang ada di sekolah ini," ujar Budi.

"Ratri? Temennya Windi yang berjilbab itu?" tunjuk Sam ke arah Ratri.

"Iya, itu dia," jawab Budi.

"Pertama, Galuh!" panggil Pak Gatot.

"Wah, Galuh tuh pertama!" seru Samudra.

"Iya. Ayo Gal, kamu bisa!" seru Budi.

"Tenang saja ya, ini bukan perlombaan tapi tetap saja raih rekor sebaik-baiknya," ucap Pak Gatot. "Siap?"

Galuh lalu mengambil ancang-ancang. Dia melepas kacamatanya dan menitipkannya kepada Bella. "Titip ya Bel?"

"Iya, sanah. Cepetan!" ucap Bella sambil menerima kacamata Galuh.

Pak Gatot sudah menaruh peluit di mulutnya, kemudian peluit pun ditiup. Segera Galuh berlari dengan kencang. Tujuan Galuh adalah balok kayu yang ada di depan kolam pasir. Larinya cukup cepat dan Galuh pun tepat menginjak balok kayu tersebut lalu melompat ke udara. Dia meliukkan tubuhnya dengan membentuk sudut tolakan 45 derajat. Lalu dia mendaratkan kedua kakinya tepat di atas pasir. Setelah itu ia pun berdiri. Dua murid yang menjaga di samping pasir mengukur panjangnya.

"Satu meter tujuh puluh centi," ucap salah satu murid yang mengukur.

Galuh menghela nafas. Dia tak begitu bagus pelajaran olahraga seperti ini apalagi atletik. Dia paling bisa itu berenang, tapi soal lari, lompat, bermain bola dia lebih baik menyerah. Semua orang bertepuk tangan memberikan aplause, paling tidak usaha Galuh dihargai.

"Berikutnya, Windi!" panggil Pak Gatot.

Windi pun maju. Dia mengambil ikat rambut yang ada di pergelangan tangannya lalu mengikat rambutnya. Beberapa teman-temannya menyemangati Windi yang sekarang sudah berada di garis start. Samudra memperhatikan dengan seksama bagaimana gadis itu melakukan pose ancang-ancang.

PRIT! Peluit pun ditiup. Windi berlari dengan cukup kencang, bahkan lebih kencang dari Galuh. Kemudian kakinya menghentak di balok kayu dan tubuhnya pun seperti terbang. Badannya meliuk membentuk sudut 45 derajat sama seperti Galuh tadi. Kemudian dengan kedua kakinya ia pun mendarat di atas kolam pasir. Setelah Windi bangun kedua murid penjaga tadi mengukur panjang jauhnya lompatan Windi.

"Satu meter delapan puluh," ujar si pengukur.

"Wow!" seru Samudra takjub. Semuanya juga bertepuk tangan.

Setelah itu satu persatu murid perempuan pun menyusul untuk melakukan lompatan. Setelah murid perempuan habis, giliran murid laki-laki. Sedikit yang mendapatkan skor lebih dari dua meter. Mungkin karena memang tidak ada yang punya bakat sebagai atlit atletik.

Sampai akhirnya Budi pun telah melakukan lompatan. Dia mendapatkan skor 1,70 meter. Budi hanya menggaruk-garuk rambutnya karena skornya sama dengan Galuh. Dia juga tak punya bakat olahraga. Samudra sepertinya akan dipanggil terakhir karena hampir semua anak sudah dipanggil semua tinggal dia dan Jimmy.

"Jimmy, maju!" perintah Pak Gatot.

Jimmy tersenyum sinis. Dia menganggap dirinya superior dan belum pernah ada yang mengalahkan skornya selama ini. Badannya memang atletis, tampaknya dia juga lincah. Samudra berpendapat pantas saja bahwa Jimmy bisa membuat rekor melompat sejauh itu. Tiga meter itu cukup menakutkan bagi ukuran rata-rata anak SMU.

PRIT! Peluit pun dibunyikan. Jimmy berlari secepatnya. Kakinya lalu bertumpu kepada balok dan melompat. Ia memang seperti terbang kalau dilihat secara slow-motion. Kemudian dengan kedua kakinya dia pun mendarat di kolam pasir. Setelah Jimmy berdiri lagi murid-murid yang berjaga pun menghitung.

"Tiga meter lebih 10 senti," ucap si murid pengukur.

"Yess! Pecah rekor sendiri!" serunya sambil joget-joget nggak jelas. Kedua tangannya bergerak tanpa henti sambil telunjuknya entah menunjuk ke mana-mana.

Samudra hanya nyengir melihat kelakuan Jimmy.

"Terakhir, murid baru! Samudra!" panggil Pak Gatot.

Samudra pun mengambil ancang-ancang di garis start. Samudra sekarang sedikit galau. Dia memukulkan ujung sepatunya ke tanah. Mencoba mencari celah yang tepat agar dia bisa menggunakan kekuatannya dengan baik. Ia tak mau menunjukkan kepada siapapun kalau ia bisa terbang. Ini bukan persoalan ia sok pamer atau apa. Kalau semua orang tahu ia bisa terbang bisa-bisa dia akan jadi artis dalam waktu sekejap dan akan dijadikan bahan penelitian seperti yang ia lihat di film-film. Baiklah itu terlalu berlebihan, tetapi kalau misalnya dia tidak mencoba lompat jauh, maka dia akan terlihat sebagai anak yang tidak normal. Tapi apa bedanya dia melakukan lompat jauh dan tidak, semuanya akan terlihat tidak normal.

"Sudahlah, ini cuma lompat jauh," gumamnya sendiri. Dia mencoba menasehati dirinya sendiri untuk tetap berlagak cool sekali pun itu susah. "Ini sama sekali tidak keren."

PRIT! Peluit berbunyi. Samudra berlari dengan sangat cepat. Baru kali ini semua teman-temannya melihat seorang anak muda berlari sedemikian cepat, bahkan Jimmy yang baru melompat tadi sampai ternganga. Samudra kemudian menghentak di balok kayu.

"Tahan! Tahan! Tahan! Jangan sampai mereka tahu kalau kamu bisa terbang bodoh! Idiot! Kenapa kamu tidak menahan diri? Brengsek!" umpat Samudra dalam hati. Ia terlalu bersemangat. Tubuhnya sekarang melayang cukup tinggi membuat semua mata terbelalak melihatnya.

"Turun! Turun! Turun! Turun!" ucapnya dalam hati.

Tubuhnya pun turun, tapi pendaratan yang dia inginkan bukan seperti yang dia harapkan. Tubuh Samudra meliuk membentuk sudut 45 derajat, kemudian kedua kakinya berusaha mendarat, tetapi tidak di tempat yang empuk. Kedua kakinya mendarat di luar kolam pasir yang mana panjang kolam pasir dari balok kayu itu kurang lebih 9 meter. Kedua kaki Samudra pun menapak di tanah bukan di pasir. Kemudian kedua kakinya menyeret tanah dan kerikil beberapa jengkal hingga membuat debu berterbangan karenanya. Mulut Jimmy terbuka lebar seolah-olah tak percaya terhadap apa yang dia lihat. Dan bukan hanya Jimmy, Pak Gatot dan semua siswa yang melihat peristiwa langka itu merasa ada yang aneh dengan Samudra.

Samudra buru-buru pergi dari tempat ia mendarat. Dia beringsut membaur dengan murid-murid yang lainnya.

"Bisa diukur?" tanya Samudra.

"What the heck was that?" seru Pak Gatot.

"Oh crap!" keluh Samudra.

"Bagaimana kamu bisa melakukan hal itu tadi?" tanya Pak Gatot. "Kamu seperti terbang!"

"Iya, kamu terbang, Sam!" seru Budi.

"Nggak, buktinya saya mendarat. Itu tadi cuma kebetulan saja. Saya terlalu bersemangat," ucap Samudra.

Jimmy langsung memegang bahu Samudra. "Bro, kau harus ikut klub karate. Kamu belum dapat klub bukan? Join ekstrakurikuler karate. Harus!"

Dan begitulah, murid-murid heboh melihat Samudra bisa melompat lebih dari 9 meter. Belum pernah ada dalam sejarah di sekolah itu ada murid yang bisa melompat sejauh itu, bahkan yang nilai olahraganya paling bagus sekalipun belum pernah bisa melompat sejauh itu. Bahkan mungkin apa yang disaksikan oleh para murid adalah rekor dunia. Ya, rekor dunia telah pecah hari itu dan mereka adalah saksinya.

Samudra kemudian mundur teratur, "Pak, saya ijin ke toilet dulu!" Setelah berkata seperti itu ia pun berlari. Rasanya tidak nyaman sekali dilihat oleh teman-temannya seperti itu. Ibaratnya sekarang ini ia seperti seorang alien atau manusia berkemampuan khusus. Dia mengumpat kepada dirinya sendiri kanapa harus sampai terjadi hal seperti ini? Padahal ia sudah benar-benar berusaha menjaga agar tidak melewati batas.

Toilet tempat Samudra minta ijin tadi ada di pojok dan belakang sekolah. Ia memang perlu menenangkan diri setelah kejadian tadi. Samudra mengguyur wajahnya di wastafel. Rasa dingin air yang mengguyur kepalanya hingga rambutnya basah membuat ia merasa segar. Setidaknya kejadian tadi harus bisa ia normalkan. Mungkin dengan memberi alasan "nggak tahu" bagaimana ia bisa melakukannya. Ya, itu lebih baik.

"Sam?" terdengar suara yang mengejutkan dari belakang.

Samudra segera berbalik dan mendapati Windi ada di belakangnya. Di dalam benaknya ia bertanya-tanya kenapa cewek itu sampai menyusulnya ke kamar mandi? Jangan-jangan cewek ini mau menginterogasinya!

"A-aku bisa jelaskan," ucap Sam.

"Oh ya? Coba jelaskan!" pinta Windi sambil tersenyum licik kepadanya.

"A-aku tak tahu kenapa itu bisa terjadi dan.... aku tadi tak mengerti bisa seperti itu. Jadi itu tadi ketidak sengajaan," ucap Sam. Dia berdebar-debar kalau-kalau Windi curiga lebih jauh lagi.

"Bicara apa sih lo ini?" tanya Windi.

"Eh?"

"Gue kira ngomong apaan. Elo seorang atlit pencak silat bukan? Kalau elo bisa melompat sejauh itu gue nggak terkejut. Jimmy juga bisa melompat sejauh itu tapi aku tak terkejut. Mungkin kau terlalu over power. Tapi yang ingin aku tanyakan bukan itu," ujar Windi.

Samudra merasa lega. "Selamat, selamat!" batinnya. Dia menghela nafas. "Ah, baiklah. Lalu apa?"

Windi kemudian menyodorkan sebuah foto kepada Samudra. Samudra yang disodori secarik kertas foto itu tentu saja bertanya-tanya apa yang hendak ditanyakan oleh Windi. Dia pun menerima foto itu dan mulai melihat gambar yang ada di foto tersebut. Ada gambar dia dan seseorang yang sangat ia kenal.

"Kamu kenal bukan dengan orang yang ada di foto itu?" tanya Windi.

Samudra menarik nafas dalam-dalam. Dia mengerti sekarang arah pembicaraan Windi. Tapi dia tak ingin menjawabnya, kalau menjawab sekarang takut misinya selama ini malah akan ketahuan. Samudra menggeleng.

"Aku tidak tahu. Waktu itu aku berlibur tak sengaja ketemu dengan orang ini dan dia pergi begitu saja tanpa menyebutkan nama," jelas Samudra.

"Kau bohong! Katakan kepadaku kalau kau mengenalnya. Ini jelas-jelas kau berjalan bersama orang ini bagaimana mungkin kalian tak bicara satu sama lain?" desak Windi. "Kumohon! Katakan yang sejujurnya, aku ingin bertemu dengan orang ini. Kau pasti mengenalnya, iya kan?"

Samudra menggeleng. "Maaf, aku tak tahu siapa dia. Sudah kubilang kami bertemu tidak sengaja kebetulan saja aku dan dia berada dalam satu frame."

"Bohong! Aku bisa tahu dari raut wajahmu kau berbohong!" ucap Windi.

"Memangnya ada urusan apa kau dengan orang ini?" tanya Samudra.

"Bukan urusanmu!"

"Lho? Siapa tahu aku bisa membantumu. Katakan apa masalahmu!" desak Samudra.

Windi mendekat ke arah Samudra. Tangan Windi kini mencengkeram kaos Samudra. Kedua mata mereka saling menatap. Ada ancaman di mata Windi, ia ingin memberitahukan kepada Samudra bahwa ia bisa berbuat apa saja kepada pemuda itu.

"Aku ingin bertemu dengan dia. Kau pasti tahu di mana dia berada bukan? Dia ada di kepulauan Seribu? Di mana? Di sebelah mana? Tempat itu luas. Aku ingin tahu tepatnya di mana aku bisa bertemu dengannya. Katakan atau aku akan membuat kamu menyesal seumur hidupmu!" ancam Windi.

"Aku bilang aku tak tahu!" ujar Sam. Dia kemudian mendorong Windi. Saat itulah Windi kehilangan keseimbangan dan tubuhnya jatuh ke belakang. Bersamaan dengan itu tangan Windi yang mencengkram kaos Samudra membuat pemuda itu ikut jauh menimpa Windi. Samudra tahu kalau misalnya Windi jatuh pasti kepalanya akan sakit terkena lantai kamar mandi, maka dari itu dengan cepat Sam melindungi kepala Windi bagian belakang dengan tangannya agar tidak terbentur lantai. Hasilnya bisa dipastikan posisinya sungguh tidak nyaman dan menimbulkan fitnah.

BRUK! KRAK!

Samudra meringis merasakan sakit karena pergelangan tangan kanannya menjadi bantal bagi kepala Windi. Ia merasa nyeri sekali. Windi yang menyadari posisinya sekarang menjadi kebingungan. Jelas dengan tubuh Samudra berada di atas menghimpit dirinya dan tangan Samudra seperti merangkulnya dengan hidung mereka bersentuhan tentunya membuat pemandangan fitnah lebih besar. Seolah-olah Samudra sedang memperkosa dirinya.

"Maaf, aku tak sengaja," ucap Samudra.

"Tanganmu! Tanganmu terluka!" seru Windi.

"Windi? Kemana sih itu anak?" terdengar suara dari luar kamar mandi.

"Hesti! Oh tidak, cepat menyingkir!" ucap Windi sambil mendorong tubuh Samudra.

Samudra ingin menyingkir tapi terlambat, Hesti sudah ada di pintu kamar mandi sambil menyaksikan adegan dewasa yang salah sangka. Melihat Windi dan Samudra sedang dalam posisi tumpang tindih seperti itu akhirnya Hesti balik badan. Dia tak ingin ada orang lain yang melihat peristiwa itu.

"Windi, kamu di mana? Di sini nggak ada," seru Hesti seolah-olah bicara kepada yang lain.

Buru-buru Samudra bangun sambil memegangi tangannya yang sakit. Windi kemudian membenarkan bajunya yang awut-awutan dan merapikan lagi rambutnya. Samudra nyengir.

"Pergilah ke UKS atau kalau perlu ke rumah sakit sekarang. Aku akan bayar biayanya. Dan jangan beritahu apapun yang terjadi di tempat ini kepada siapapun. Mengerti?" tanya Windi.

"Siap laksanakan!" ucap Samudra sambil memberi hormat dengan tangan kiri.

"Urusan kita belum selesai! Ingat itu!" ujar Windi sambil menunjuk wajah Samudra.

Windi segera berlari keluar dari kamar mandi lalu menghampiri Hesti. Hesti yang melihat Windi sudah berada di sampingnya senyam-senyum penuh arti.

"Apa?" tanya Windi.

"Nggak, nggak ada apa-apa koq. Aku cuma kagum aja kamu sudah gerak duluan," goda Hesti.

"Ini tidak seperti yang kau kira, mengerti?" ucap Windi sewot. Tentu saja wajah Windi memerah kalau mengingat peristiwa yang baru saja terjadi ditambah dengan godaan Hesti. Yang jelas Hesti pasti akan memberitahukan ke teman-temannya tentang apa yang terjadi. Tidak, ini tidak boleh terjadi bisa geger nanti dan timbul gosip-gosip yang tidak ramah. Hello, dia putri gubernur!

"Tidak seperti yang aku kira kalau Pangeran Samudra menindih Tuan Putri kita, hihihihi," ledek Hesti.

"Awas kalau sampai elo bilang-bilang ke yang lain. Kelar hidup lo!" ancam Windi. Kali ini dia serius.

"Tenang bos, nggak akan koq. Hahahaha," ucap Hesti sambil menggandeng tangan Windi. "Tapi cuma geng kita nggak apa-apa kan?"

"Nggak!" bentak Windi.

"Iya deh, iya deh," ucap Hesti sambil mengelus-elus lengan Windi. Wajah Windi benar-benar memerah seperti warna apel. Entah bagaimana menyimpan rasa malunya nanti di kelas nanti.

Samudra yang ada di kamar mandi segera keluar dari tempat itu. Perkenalan yang tidak menarik dengan Windi, tapi paling tidak ia bisa berinteraksi dengan gadis itu. Foto dirinya dengan guru matematika yang ia temui di kepulauan Seribu ada di tangan Windi. Ia heran bagaimana foto itu bisa diambil. Ia masukkan foto itu ke kantong saku celananya, setelah itu ia pun berjalan sambil meringis ke ruang UKS untuk melakukan pengobatan. Entah ia beruntung atau sial hari itu, tapi yang jelas jantungnya sedikit bersenandung ketika wajahnya sangat dekat dengan Windi tadi, terlebih sampai jatuh dengan posisi tak lazim seperti itu.

* * *

Notes from author:

Saya masih belum bisa menemukan cast yang tepat untuk pemeran Samudra, Galuh ama  Windi. Boleh kalau ada yang mau mengusulkan. Saya akan terima usulan kalian semua. Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top