3 | Putri Kesayangan

Windi sudah sampai di rumah. Dia kesal, bete sampai-sampai dua belas miss-call dari Ratri dia acuhkan. Tahu pasti Ratri ingin membujuk Windi agar tidak marah. Lia orangnya memang sedikit ceplas-ceplos tapi sampai kelepasan seperti itu memang sudah membuat pikiran Windi tidak bisa memaafkan sahabatnya itu. Saat masuk ke dalam rumah, di ruang tamu terlihat Rico sedang bermain Playstation. Kakaknya memasang raut muka jutek, sepertinya dia juga sedang ada masalah. Melihat Windi datang Rico menoleh sebentar kemudian kembali sibuk dengan permainannya.

"Windi dari mana?" sapa seorang yang sekarang duduk di meja makan. Windi melihat papanya sedang duduk di sana sambil menikmati secangkir kopi dengan tablet di tangannya.

"Dari les pa," jawab Windi.

"Akhir-akhir ini banyak sekali jadwal lesmu," kata papanya.

Windi mengangkat bahunya. "Bukannya papa yang inginkan ini? Aku sih nggak masalah."

Ronald Wisnu Nugraha, sang ayah mengangkat wajahnya hingga menatap putri kesayangannya. Seutas senyum dilemparkan kepada sang gadis belia sambil mengangguk seolah-olah faham akan kesibukan putrinya itu. "Bagaimana sekolahmu?"

"Baik," jawab Windi singkat. Dia berjalan ke dapur langsung menuju ke lemari es. Dibukanya pintu lemari pendingin itu untuk mengambil sebotol air putih. Langsung dia buka dan menenggak isinya hingga habis separuh.

"Jangan begitu kalau minum. Duduk dan biarkan perutmu beristirahat. Keselek baru tahu rasa!" Ronald menasehati putrinya.

Windi menyudahi minumnya lalu mengembalikan botol itu ke lemari es. "Kelamaan pa," ucap Windi membantah papanya.

"Besok kamu ikut papa," kata Ronald tiba-tiba.

"Kemana?" tanya Windi.

"Papa mau bertemu dengan Gagah Prambudi," jawab Ronald.

Windi mengernyit. "Pria itu? Kenapa? Ada apa?"

"Kenapa nada bicaramu seperti itu? Kau tak suka dengannya?"

"Tepat sekali. Dia tipe pria-pria playboy. Entah berapa banyak wanita yang sudah jadi korbannya di luar sana. Kenapa papa mau bekerja sama dengan dirinya?"

"Orang tuanya, Setiawan Prambudi adalah rekan bisnis papa selama bertahun-tahun sekaligus juga salah satu donatur terbesar. Dan Gagah ingin memulai bisnisnya. Papa tak mungkin mengabaikan dia bukan? Dia hanya ingin satu syarat untuk bisa membantu papa pada pemilihan yang akan datang," terang Ronald.

"Pemilihan? Maksudnya?" Windi tak mengerti, bukankah papanya sudah menjadi gubernur sekarang ini. Pemilihan apalagi yang ingin diikutinya.

"Jadi presiden, Win. Papa mau jadi presiden," ujar Rico.

Windi mengangkat alisnya. Ia terbelalak. "Papa nggak bercanda, bukan?"

Ronald menatap putrinya dengan pandangan datar. "Memangnya wajah papa seperti ini sedang bercanda?"

"Tapi... papa baru saja jadi gubernur dua tahun yang lalu," ucap Windi. "Koq bisa berambisi menjadi presiden?"

"Namanya juga politik. Sayangku, kau tak perlu pusing memikirkan hal ini. Ikuti saja apa yang papa inginkan. Toh, nanti kau akan mendapatkan keuntungan dari ini semua," ujar Ronald.

Windi kemudian berbalik. Ia merasa ini semua sinting. Kenapa tiba-tiba papanya berambisi ingin jadi presiden. Memang sih papanya tidak pernah terlihat di media masa terkena kasus atau skandal. Bahkan semenjak istrinya meninggal elektibitasnya di mata masyarakat makin tinggi. Berbagai pemberitaan tentang kedukaan keluarga Gubernur Ronald Wisnu Nugraha menghiasi layar kaca tv nasional hampir sebulan lamanya. Yang paling disorot adalah Windi tentu saja. Dalam waktu singkat gadis ini menjadi terkenal semua karena statusnya sebagai anak gubernur dan juga kecantikannya. Dia juga kemudian digeret oleh berbagai produk kecantikan untuk mengisi iklan-iklan mereka. Maka dari itulah terkadang Windi sangat sibuk pemotretan atau pun syuting iklan. Dan dari sini pula ia bisa berbelanja barang-barang mewah yang sekarang memenuhi lemarinya.

Gadis ini tahu sebenarnya ia hanyalah sebuah alat bagi papanya untuk bisa menggaet relasi-relasi. Sedangkan orang yang bernama Gagah Prambudi yang terkenal playboy itu pasti akan sangat senang sekali bertemu dengannya. Terlebih Windi punya urusan yang belum selesai dengan lelaki itu.

"Justru aku tidak suka dengan masalah politik, pa. Kenapa juga aku sampai terseret-seret urusan politik?" tanya Windi.

"Tanpa urusan politik papa, bagaimana mungkin kamu bisa seterkenal sekarang? Sembarangan kamu, Win!" celetuk Rico tiba-tiba.

"Jangan ikut campur! Nyeletuk saja. Main game saja sanah!" ucap Windi ketus.

Windi kemudian mengambil piring di meja makan. Dia mengambil nasi secukupnya. Setelah itu menaruh ayam mentega yang sudah tersedia hasil masakan salah satu pembantunya yang bernama Bi Lasmi. Dia juga tak lupa menaruh beberapa potong buncis. Diraihnya sendok yang ada di meja makan lalu ia mengambil nampan menaruh makanannya di atas nampan. Windi lalu mengambil gelas kemudian mengisinya dengan air minum yang berada di sebuah teko. Tak lama kemudian dia pun membawa makanan dan minumannya meninggalkan meja makan.

"Jangan sampai kotor kalau makan di kamar!" ucap papanya.

"Iya," sahut Windi singkat.

Dia menarik kenop pintu kamarnya lalu masuk. Windi lalu meletakkan nampan yang berisi makanan tersebut di atas meja belajarnya. Dia kembali melihat ponselnya yang sekarang miss call dari Ratri sudah bertambah hingga 20 kali. Windi menipiskan bibirnya. Yang punya salah bukannya Lia? Kenapa dia harus mengacuhkan Ratri?

Jari telunjuknya kemudian menekan layar LCD untuk membuka history call. Dia menekan nomor telepon Ratri. Dari semua sahabatnya sebenarnya Windi lebih dekat dengan Ratri. Ratri memang orangnya tidak terlalu ceplas-ceplos setidaknya dia bisa menahan dirinya untuk tidak menyinggung perasaannya. Dia pun menekan nama Ratri.

Ponsel pun tersambung.

"Halo, Win?" sapa Ratri yang langsung mengangkat ponselnya.

"Ya, ada apa nek?" tanya Windi.

"Aduh buset dah. Susah banget ngubungin elo," jawab Ratri. "Gini. Elu bisa maafin Lia? do'i nangis terus dari sejak elo pergi. Ini salah gue juga sih sebenarnya yang tidak bisa ngasih Lia pengertian. Lo tahu sendiri sikap Lia itu bagaimana, ceplas-ceplos seperti nggak bisa berhenti."

Gaya bicara Ratri yang terkesan akrab membuktikan bahwa ia memang sangat dekat dengannya. Ratri bukan cewek yang memanfaatkan keadaan temannya. Ratri sama sekali tak pernah meminta apapun darinya, membuat Windi terkadang lebih banyak untuk curhat kepada gadis itu.

"Tapi dia keterlaluan, Rat. Sampai sekarang saja sakit hati gue belum hilang ama Pak Daniel. Gue trauma kalau bicarain dia. Elo juga tahu kan alasan gue yang jutek ama Galuh sampai sekarang?" ujar Windi.

Ratri menghela nafas. "Tapi please, Win. Untuk kali ini maafin Lia. Dia sudah berjanji ama kita tidak akan mengulangi lagi. Dia bahkan rela pindah sekolah sejauh-jauhnya dan tak akan menemui kita lagi kalau sampai mengungkit-ungkit nama guru itu."

Windi menipiskan bibirnya. Dia perlu waktu untuk berpikir. Sedetik, sepuluh detik, dua puluh detik. Windi lalu menghela nafas. Ada banyak pertimbangan yang dia pikirkan. Antara lain Lia selama ini baik kepadanya. Sebagai sesama anggota geng memang ia yang paling rame selain Hesti. Tapi untuk soal setia kawan Lia satu-satunya orang yang tidak pernah mengeluh dalam masalah apapun, selain bisa menyemangati Windi, dia juga bisa menghibur semua anggota geng.

"Ini yang terakhir," ucap Windi.

"Nah, begitu dong," ucap Ratri.

"Tapi ingat Rat! Bilang ke Lia, ini yang terakhir. Sekali lagi dia berbuat seperti itu lagi, enyah saja dari hadapanku!" ancam Windi.

"Iya, gue ngerti koq. Tahu nggak tadi kita khawatir banget ama elo. Elo marah banget soalnya. Lia bahkan sampai kepengen bunuh diri kalau sampai elo tidak maafin dia. Dia sayang banget sama elo," jelas Ratri.

Windi tak menyangka Lia sampai seperti itu.

"Dan dia tadi sempat menampar-nampar bibirnya sendiri kalau tidak kita cegah," lanjut Ratri. "Gue harap persahabatan kita tak sampai di sini saja, Win. Toh kita sudah sepakat bahwa susah senang kita akan rasakan bersama. Maka dari itu jangan karena persoalan ini membuat hubungan kita sebagai sahabat renggang."

"Iya, gue ngerti. Maafin gue tadi. Tapi apa yang gue inginkan tolong difahami!" pinta Windi.

"Baiklah, sepakat. Nanti gue sampaikan ke Lia," ujar Ratri.

"Kamu sekarang di mana?"

"Sudah di rumah. Gila lo ya. Pesen banyak tapi nggak makan. Jadinya ya gue habisin sendirian di rumah," keluh Ratri.

"Wah, wah, wah. Nggak boleh tuh. Mubadzir!" ujar Windi.

"Lah, salah sendiri."

"Ya udah deh, besok gue mampir ke rumah elo. Ngambil jatah. Hehehe," gelak Windi.

"Dasar, soal makanan cepet banget deh lo. Gue sampe heran lho ama temen-temen. Lo ini dietnya gimana sih? Perasaan makan elo banyak tapi tetep langsing aja. Jarang ke salon tapi itu kulit koq cerah banget kayak bule?" tanya Ratri penasaran.

"Gue ngedukun nek. Pasang susuk di setiap inchi tubuh gue," jawab Windi ngasal.

Ratri tertawa terbahak-bahak. "Kampret. Dasar, Hello Kitty pake bedak!"

Windi pun akhirnya ikut tertawa sambil memegangi perutnya.

"Tapi serius nek. Kita semua penasaran ama elo. Rona yang sering ke salon saja nggak bisa senatural elo," ujar Ratri.

Windi tak menjawabnya. Dia lebih baik tak memberitahukan rahasia kecantikannya kepada siapapun. Lagipula memang benar koq ia tak pernah melakukan perawatan yang neko-neko. Ke salon juga jarang. Bahkan bedak yang dipakainya juga sama seperti bedak-bedak temannya. Lipstik juga tak beda dengan milik teman-temannya. Siapa yang tak frustasi dan penasaran dengan rahasia kecantikannya kalau seperti itu? Ada yang bilang kalau Windi itu cantik alami. Bisa jadi sih.

"Besok elo ada acara?" tanya Ratri.

"Ada sih, ikut papa nemui salah satu rekannya," jawab Windi.

"Oh, koq elo yang diajak?"

"Tauk ah Rat. Mungkin lobinya lebih lancar kalau sama gue. Elo tahu sendiri gimana papa semenjak gue terkenal. Selalu diajak menemui rekan-rekan politiknya," terang Windi.

"Oh ya, isunya papa lo kepengen ikut jadi calon presiden itu beneran yah?"

"Tahu darimana?"

"Ya ampun, beritanya sudah di mana-mana keles. Emang bener yah?"

"Iya, bener."

"Lho, padahal beliau baru dua tahun jadi gubernur, bukan?"

Windi menggumam. "Hmm."

"Wah, kalau sampai papa lo jadi presiden wow sekali. Gue punya temen putri presiden," ucap Ratri bangga.

"Cih, gue malah eneg sama urusan politik papa. Semenjak mama meninggal papa menghabiskan waktunya untuk pekerjaannya terus. Bahkan mengunjungi makam mama saja tak pernah sampai sekarang," terang Windi.

"Tapi elo kan dapat untungnya juga nanti kalau papa lo jadi presiden."

"Iya sih, tapi entah kenapa itu bertentangan dengan batin gue, Rat. Mendingan gue hidup sederhana, papa gue kerja apa saja yang penting halal, tapi kami bahagia. Semenjak papa sibuk dengan dunia perpolitikan tak ada waktu lagi buatku."

Ratri terdiam. Ia mencoba untuk bisa memposisikan dirinya sebagai Windi. Windi memang anak orang kaya. Putri gubernur, tetapi kekayaan dan jabatan papanya tak membuat dia bahagia.

"Maaf Win. Kalau misalnya gue ngurusi urusan elo. Gue jadi nggak enak," ucap Ratri.

"Enggak apa-apa. Emang kenyataannya begitu," ujar Windi.

Ratri mencoba mencari materi obrolan baru. "Oh ya. Tebak gue tadi ketemu ama siapa?"

"Siapa?" tanya Windi.

"Tebak aja!"

"Artis?"

"Bukan."

"Cowok ganteng?"

"Bukan."

"Trus? Debt Colector ganteng?"

"Sembarangan. Emangnya gue punya tunggakan tagihan kartu kredit apa?"

"Yah, kali aja punya. Hehehe," ucap Windi sambil cekikikan.

"Gue tadi ketemu pengacara," ujar Ratri.

"Buset? Elo mau cerai?" tanya Windi.

"Iya, gue gugat cerai Chris Hemsworth," ujar Ratri.

"Sok jual mahal lo. Sinih buat gue ajah! Hahahaha," canda Windi. Ratri juga ikut tertawa.

"Gue tadi ketemu pengacara. Namanya Adelia gitu. Adiknya Johan Vairus Ghana," jelas Ratri.

"Wow, keren dong. Koq bisa?"

"Dia tadi dengerin pesenanku ke pelayan, membuat dia teringat dengan kakaknya. Trus gue dikasih kartu nama deh. Gitu," ujar Ratri. "Elo mau kontaknya? Siapa tahu elo butuh."

"Nggak deh, emang buat apa pake pengacara segala? Toh selama ini gue nggak terkena kasus apa-apa," ujar Windi. "Selama ada papa gue sih, semuanya aman."

"Baiklah. By the way, makasih yah. Udah maafin Lia," ucap Ratri.

Windi mengangguk. "Hmm."

"Sampai besok," ucap Ratri menutup pembicaraan.

"Sampai besok," jawab Windi. Telepon pun ditutup.

Windi melemparkan ponselnya ke atas ranjang. Dia kemudian menghidupkan komputer iMac yang ada di meja belajarnya. Gadis itu kemudian mulai menyantap makanannya yang tadi ia bawa. Perut Windi benar-benar minta diisi. Segera ia menyantap hidangan yang tadi ia bawa ke dalam kamarnya. Besok adalah hari yang berat. Tapi untung saja hari ini dia tak begitu memikirkan tugas, karena semuanya dikerjakan oleh Galuh. Selama ada gadis itu semuanya akan aman dan baik-baik saja.

* * *

Galuh menatap jendela kamarnya. Tetesan air hujan membentuk sebuah pola di kaca jendelanya. Hujan kini turun rintik-rintik, tak sederas tadi sore. Sementara itu di atas meja belajarnya ada tumpukan buku-buku. Sekarang yang ada di hadapannya adalah buku PR yang merupakan milik Windi. Ada alasan-alasan khusus kenapa Galuh sampai harus rela mengerjakan apapun yang diinginkan oleh Windi. Tak ada alasan bagi Galuh untuk menyesalinya atau merasa direndahkan dengan hal itu. Setidaknya dia mengetahui posisinya sekarang adalah orang yang bersalah. Tapi apa tidak keterlaluan kalau selamanya dia diperlakukan seperti itu oleh Windi? Padahal mereka dulu adalah teman baik.

"Galuh? Sudah makan belum? Makan dulu nak!" terdengar suara dari luar kamarnya.

"Bentar bu, masih nanggung!" sahut Galuh.

"Ya udah, kalau sudah selesai makanannya ibu siapkan di meja," ujar sang ibu.

"Iya bu," ucap Galuh.

Suasana kamar kembali hening. Hanya detik-detik jam beker yang terdengar. Beberapa boneka yang ada di kamar itu seolah-olah sedang mengejek Galuh yang sampai sekarang merasa bersalah. Buat apa memendam perasaan bersalah secara terus-menerus seperti itu?

Dari Winnie The Pooh, Piglet, Hello Kitty dan Pikachu. Satu-satunya boneka yang spesial dia tempatkan di sudut bantal kasurnya. Galuh menatap boneka Hello Kitty. Memori kenangan tentang boneka itu kembali lagi mengusik benaknya. Boneka itu didapatkannya di sebuah pasar malam ketika dia, Windi dan seorang lelaki yang pernah ada di dalam kehidupannya sedang bersama. Mereka bertiga cukup dekat dulu, namun sebuah peristiwa membuat kedekatan itu pun hancur. Itu tak lama. Sampai-sampai Galuh berharap itu hanya mimpi.

"Maafin aku, Win. Kalau kamu bisa mengerti aku maka maafin aku," gumam Galuh.

Galuh melepas kacamatanya sesaat untuk membersihkan air mata yang tiba-tiba menetes. Dengan sedikit gemetar dia kembali menuliskan sesuatu di buku milik Windi.

"Aku akan melakukan apa saja untukmu, Win. Sampai engkau mau memaafkan aku," ucap Galuh.

Malam kian larut dan Galuh masih berada di meja belajarnya. Ia bahkan sudah melupakan rasa lapar yang dari tadi mengganggunya. Menurutnya rasa persahabatan antara dia dan Windi lebih diutamakan daripada rasa laparnya.

Tak terasa malam sudah kian larut. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Pintu kamar Galuh diketuk oleh ibunya tapi tak ada jawaban sama sekali. Sekali lagi diketuk. Akhirnya sang ibu pun masuk ke dalam kamar yang memang tak dikunci. Terlihatlah olehnya putri cantiknya itu sedang tidur dengan menaruh kepalanya di atas meja belajar. Sang ibu hanya menggeleng-geleng saja.

"Kamu terlalu keras nak belajarnya," bisik sang ibu.

Sang ibu menghampiri putrinya sambil membawa selimut. Diselimutilah putrinya itu kemudian dikecupnya kening Galuh. Galuh sedikit menggeliat tapi ia masih tertidur. Diperhatikannya wajah gadis kecilnya ini. Sekarang sudah dewasa, sudah tak bisa lagi disebut anak kecil. Memang selama ini ibunya selalu memberikan dia perlakuan yang kekanakan, tapi itu semua memang karena dia masih sebagai Galuh kecil yang suka diayun-ayunkan dengan kakinya. Kini putri kecil itu sudah tumbuh menjadi wanita dewasa. Waktu tak terasa, semuanya cepat berlalu.

Sang ibu kemudian keluar dari kamar putrinya meninggalkan Galuh yang sudah berada di alam mimpi. Diperhatikannya sebentar kamar putrinya. Boneka-boneka yang berjejer di ranjangnya tampak seolah sedang mengamati peristiwa antara ibu dan anak. Mereka bagaikan para penonton yang terharu atas adegan semi sinetron tersebut. Tapi ini kenyataan, bukan sebuah adegan sinetron yang terkadang peristiwanya tidak masuk akal sama sekali. Pintu kamar pun tertutup. Ruangan pun hening dengan Galuh yang tertidur di atas kursinya dengan selimut tebal yang menyelimuti tubuhnya.

* * *

Suara jam beker itu membangunkan Galuh. Matanya mengerjap-ngerjap mencoba memahami situasi bagaimana dia bisa berada di kursinya dengan kepala tergeletak di atas meja belajar. Yang lebih aneh lagi kenapa bisa ada selimut di punggungnya menutupi tubuhnya. Setelah dipikir-pikir ia pun menghela nafas bahwa ia ketiduran. Lalu soal selimut? Dia lupa bagaimana selimut itu bisa ada di tubuhnya. Apakah dia tidur sambil berjalan? Galuh tak pernah memikirkannya sampai sejauh itu. Dia lebih berharap bahwa selimut itu terbang sendiri lalu membungkus tubuhnya.

Perlahan dia menggeliat sambil mematikan alarm jam bekernya. Dia bangga karena telah mengerjakan pekerjaan rumahnya. Tak ada yang belum selesai. Agar tidak lupa ia segera memasukkan buku-buku itu ke dalam ranselnya. "Tidak ceroboh" itu ia ucapkan berkali-kali ketika memasukkan buku-buku itu.

Galuh menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia benar-benar lupa kalau tertidur di meja belajarnya. Mungkin karena capek dan mengantuk akhirnya terjadilah hal itu. Dilipatnya selimut tebalnya, kemudian dirapikannya lagi boneka-boneka yang ada di atas ranjangnya. Galuh kemudian keluar kamar menggamit handuk untuk mandi. Setidaknya ia tak mau keduluan adiknya.

Acara mandi Galuh tidaklah lama. Setelah ia selesai mandi kemudian berganti baju dengan seragam ia segera turun ke meja makan. Ibunya sudah menyediakan sarapan yang luar biasa pagi ini. Sop buntut, lauk tempe goreng, ikan asin dan sambel kecap. Galuh paling suka dengan sop buntut. Melihat masakan pagi itu membuat matanya berbinar-binar.

"Sop buntut! Whoaaa!" serunya.

"Kesukaanmu kan?" tanya ibunya.

Galuh mengangguk setuju. "Makasih, bu."

Sang ayah kemudian ikut nimbrung. Ayahnya terlihat rapi dengan baju berwarna coklat khas PNS. Melihat sang ayah yang sudah siap untuk berangkat membuat Galuh bertanya-tanya. Tumben.

"Hari ini ada kunjungan gubernur di kantor pagi-pagi. Ayah nggak mau terlambat hari ini," ujar sang ayah. Sebuah papan nama dengan tulisan "Mansyur" di bajunya sedikit miring. Galuh kemudian beringsut untuk membetulkan.

"Miring yah. Biar Galuh betulkan," ucap putrinya.

"Ayah kemarin sore ke rumah teman kamu itu," ucap sang ayah.

"Oh, siapa?" tanya Galuh sambil melepas peniti papan nama ayahnya.

"Lho, kata ayahnya dia satu kelas dengan kamu. Itu lho tetangga baru yang baru saja pindah ke sini. Seorang keluarga polisi. Nama anaknya Teuku Samudra," ujar sang ayah.

Galuh terbelalak. Ternyata ayahnya sudah bertemu dengan keluarga mereka. "Trus?"

"Yah, mereka ternyata orangnya baik dan ramah. Ayah sampai ngobrol banyak dengan mereka tadi malam. Soal pekerjaan, soal politik, macem-macem," lanjut sang ayah.

"Baiklah bapak Mansyur. Papan namanya sudah beres," ucap Galuh sambil menepuk-nepuk papan nama di baju ayahnya.

"Cowok? Wah, ibu jadi kepengen lihat," celetuk ibunya.

"Apa sih bu?" gerutu Galuh.

"Anaknya sih cakep, tampangnya ganteng gitu. Anaknya nggak begitu banyak bicara, tapi dia sangat menghormati orang tua," cerita ayahnya.

"Dia baru saja pindah yah. Paling juga sedang jaim," ucap Galuh.

"Hei, kamu nggak boleh gitu. Selama ini teman kamu itu cuma si Windi itu mana ada teman cowokmu datang kemari? Sekarang gimana tuh kabarnya si anak koq tidak pernah nongol lagi ke sini?" tanya ibunya.

"Lho, itu Cindy, Bella ama Budi?" tanya Galuh mencoba mengingatkan bahwa ia punya temann-teman yang lainnya.

"Mereka? Mereka mana pernah sedekat kamu dengan Windi? Dia sampai rela nginep di sini kan dulu? Kalian kan dulu dekat. Kenapa sekarang nggak kelihatan bersama lagi?" tanya sang ibu.

"Oh, itu mungkin karena dia sibuk. Windi sekarang kan sudah jadi model," jawab Galuh.

"Oh ya? Wah, terkenal dia sekarang," ucap sang ibu.

Kedua orangtua Galuh tak pernah tahu kalau Windi sebenarnya adalah anak gubernur. Hal itu sengaja disembunyikan oleh Galuh atas permintaan Windi. Mereka hanya mengetahui kalau Windi adalah seorang anak konglomerat. Itu saja.

"Kalian masih bersama?" tanya ibunya.

"Masih koq bu," jawab Galuh.

"Ibu tadi malam masuk ke kamarmu. Kamu sudah tidur di meja belajar. Ibu lihat ada buku belajarnya Windi. Berarti kamu masih berhubungan dengan dia kan?"

Galuh mengangguk-angguk. Sebenarnya bukan menjawab pertanyaan ibunya melainkan menjadi faham peristiwa yang terjadi tadi pagi ketika mendapati ia sudah berselimut. Galuh menyunggingkan senyuman. Ia merasa perlakuan ibunya itu spesial.

"Kapan-kapan ajak dia kemari lagi. Ibu suka ketika dia makan dengan lahap rawon buatan ibu. Seperti nggak pernah makan makanan seperti itu sebelumnya," kenang ibunya Galuh.

"Iya, bu," ucap Galuh. Dia berjanji kepada dirinya sendiri untuk bisa membawa Windi kembali ke rumahnya, tapi sepertinya berat. Persoalan mereka lebih berat daripada apa yang dibayangkan.

"Tampang Kak Galuh itu nggak bakal bisa deketin cowok yah," celetuk Ayla yang tiba-tiba sudah ada di meja makan. Adiknya yang sekarang duduk di SMP itu sudah berpakaian rapi. Kedua kakak beradik ini sama-sama memakai kacamata dan ukurannya juga sama minusnya.

"Hei kamu!" ucap Galuh sambil melotot kepada adiknya.

"Sudah deh kak. Akui saja, kakak itu malu kalau deket-deket ama cowok, orang tampangnya kikuk gitu ntar juga jadi perawan tua," ledek Ayla.

"Eh, sembarangan," protes Galuh.

"Kalau memang kakak bisa gaet cowok mana buktinya?" lanjut Ayla sambil menjulurkan lidahnya.

Galuh tak bisa membalas. Hanya melototi adiknya saja. Dia ingin sekali menyanggah tapi mulutnya seperti terkunci rapat. Ada sesuatu di dalam dirinya yang tak ingin diungkapkan kepada siapapun sampai sekarang.

"Hush, Ayla. Kamu nggak boleh begitu sama kakakmu!" nasehat ibunya.

Ayla hanya nyengir kuda. Galuh membalasnya dengan menjulurkan lidah. Mereka kembali menikmati sarapan. Galuh benar-benar tak ingin menyia-nyiakan sarapan pagi ini. Sop buntut dengan secentong nasi dengan lauk tempe dan ikan asin ditambah sambal kecap nan mantab membuat perutnya sudah keroncongan. Ia tak mau berlarut-larut dengan debat antara saudara kandung yang kadang berujung hanya saling mengejek antara dia dan Ayla.

Keluarga Mansyur merupakan keluarga yang boleh dibilang keluarga kecil bahagia. Bapak Mansyur sendiri merupakan pegawai negeri sipil yang bekerja di Balai Kota. Beliau sudah bekerja cukup lama di sana. Bahkan orang-orang juga sudah mengenal dengan baik Bapak Mansyur sebagai keluarga teladan. Istrinya bernama Rohimah, merupakan ibu rumah tangga. Dia cukupkan semua rejekinya dari suaminya. Cukup tidak cukup setidaknya kedua anaknya bisa bersekolah. Sebagai ibu rumah tangga sebenarnya juga tak jelek-jelek amat. Sejak Galuh kecil hingga tumbuh dewasa ia awasi perkembangan putrinya itu. Dari belajar merangkak, berjalan hingga kemudian berlari. Mengajarinya mengucapkan kata-kata pertama kali. Sebagai orangtua wajar jika ia sangat takut akan pergaulan ibukota sebagaimana yang diberitakan di koran dan majalah merupakan pergaulan bebas. Obat-obatan terlarang, gengster, serta dunia malam yang melalaikan para generasi muda. Galuh sendiri punya jam malam. Dia tidak boleh keluar rumah kalau sudah jam sembilan malam.

Galuh merasa kenyang. Dia tak pernah sarapan senikmat ini sebelumnya. Persetan orang-orang yang mengatakan bahwa sarapan itu jangan terlalu kenyang karena nanti bikin mengantuk di sekolah. Serius? Ini sop buntut makanan kesukaan Galuh sejak kecil! Dia rela tidak makan selama seminggu gara-gara ingin makan sop buntut. Dilihatnya jam dinding di ruang makan itu. Masih jauh dari jam masuk sekolah. Dia pun mencuci piring di wastafel.

"Biar ibu saja yang mencuci. Kamu lebih baik berangkat saja daripada telat," ucap ibunya.

"Permisi!? Assalaamu'alaykum," sapa seseorang di luar mengejutkan semua yang ada di meja makan.

"Siapa itu?" tanya sang ibu.

Galuh mencuci tangannya sebentar kemudian mengelapnya dengan serbet yang ada di dekat wastafel. Setelah itu ia bergegas untuk menuju ke pintu. Ayla juga penasaran akhirnya mengikuti kakaknya. Galuh langsung membuka pintunya dan menjawab, "Wa'alaykumussalam...."

Bibirnya tercekat ketika melihat siapa yang ada di luar rumahnya. Seorang cowok yang baru saja dibicarakan oleh sang ayah. Teuku Samudra berdiri di depan rumahnya berseragam rapi dengan menenteng bungkusan plastik berwarna hitam di tangannya.

"Kau? Samudra?" Galuh nyengir.

"Oh, ini Mas Teuku Samudra yang diomongin ayah? Cakep. Wah, itu artinya jodoh tuh. Barusan saja diomongin," celetuk Ayla.

Galuh langsung menoyor kepala adiknya. "Apaan sih? Masuk sonoh!"

Samudra menyerahkan sesuatu kepada Galuh. Sebuah bungkusan tas plastik yang membuat Galuh penasaran dengan isinya. Gadis itu menerima bungkusan plastik itu sambil menimang-nimang. Samudra tahu rasa penasaran gadis itu ketika menerima bungkusan plastik tersebut.

"Apa ini?" tanya Galuh.

"Itu pesanan ayahmu," jawab Samudra.

"Apa isinya?" tanya Galuh.

"Buah naga," jawab Samudra.

"Buah naga?"

"Iya, di rumah kami ada buah naga yang sedang panen ternyata. Kebetulan kemarin malam ketika acara syukuran, ayahmu tertarik ketika kami tawari. Jadi di sinilah aku sekarang," lanjut Samudra.

"Oh, begitu?" Galuh mengangguk-angguk.

"Wah, buah naga. Asyiik!" seru Ayla yang langsung merebut bungkusan plastik tersebut lalu berlari ke dalam rumah. "Ayah, ibu dapat buah naga dari pacarnya kak Galuh."

"Eh, sembarangan! Pacarnya siapa?!" bantah Galuh dengan suara tinggi.

Samudra cuma nyengir mendengarnya.

"Ajak masuk saja!" ucap sang ibu.

"Ah, nggak. Aku mau cepet-cepet berangkat. Soalnya nggak pakai kendaraan," ucap Samudra. "Sampai nanti! Assalaamu'alaykum." Samudra langsung pergi begitu saja.

"Lho? Eh!" Galuh juga bingung kenapa dia berkata seperti itu padahal tak ada keperluan lagi yang bisa ia katakan kepada Samudra. Namun kata "lho" dan "eh" reflek saja terucap. Pemuda itu sudah menghilang dari pandangannya secepat itu menyisakan dirinya yang termangu di depan pintu rumah.

Galuh kemudian masuk kembali dan menutup pintu. Melihat Galuh masuk sendirian ibunya bertanya-tanya. "Lho mana anak itu?"

"Sudah pergi duluan bu," ucap Galuh.

"Wah, padahal ibu mau lihat bagaimana wajahnya," kata ibunya.

Terlihat ibunya sedang memasukkan buah naga ke dalam lemari es satu per satu. Sang ayah tampak sedang sibuk mengirim pesan melalui ponselnya. Galuh sedikit melirik ke layar ponsel ayahnya. Terlihat sang ayah sedang mengirim ucapan terima kasih ke seseorang. Mungkin ayahnya Samudra. Memang tadi malam ayahnya ke rumah keluarga Haryono untuk mengikuti acara syukuran pindahan ke rumah baru. Sepertinya ayahnya dan ayah samudra sudah mulai saling mengenal dan saling bertukar nomor telepon.

"Cakep lho bu. Mirip Aliando," celetuk Ayla.

"Masa'?" tanya sang ibu. Padahal siapa itu Aliando sendiri boleh dibilang sang ibu tak begitu tahu yang mana.

"Beneran, serius. Mungkin lebih cakep deh," jelas Ayla lagi.

"Udah ah, sok tahu ini adikku!" Galuh mencubit pipi Ayla dengan gemas.

"Aduh! Kakak jahat! Ntar aku jadi chubby loh!" gerutu Ayla sambil memegangi pipinya.

"Biarin!" ledek Galuh. Dia segera mengambil tas ranselnya. Kemudian menggamit tangan sang ibu. "Berangkat bu." Diciumnya tangan sang ibu.

"Eh, tunggu dulu. Sembarangan mau lari dari pertempuran!" cegah sang adik sambil menarik tangan kakaknya.

"Kakak udah telat dek. Ntar nggak boleh masuk gerbang loh!" ucap Galuh sambil mengibas-ibaskan tangannya.

"Ayla, sudah!" ucap sang ayah.

Ayla langsung diam. Setelah Galuh mencium tangan ibunya. Beralih mencium tangan sang ayah. Lalu dia mencium pipi Ayla.

"Jangan nakal ya, dek! Berangkat dulu. Assalaamu'alaykum," ucap Galuh seraya pergi keluar rumah.

Rohimah melihat kepergian putri kesayangannya itu dengan perasaan bangga. Sekarang Galuh sudah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik. Bisa jadi sekarang ini ujian dia sebagai seorang remaja akan dia hadapi. Sang ibu menoleh ke meja makan. Dia mendapati sebuah kotak bekal yang masih ada di sana.

"Lho? Anak itu kelupaan lagi tempat bekalnya," ujar Rohimah.

Pak Mansyur segera tanggap. "Biar aku saja yang membawakan, mungkin dia belum jauh." Segera dia mengambil kotak bekal itu. "Ayo Ayla, kamu nggak berangkat?"

"Iya ayah," sahut Ayla. Segera dia bersiap-siap untuk berangkat.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top